Damar Banten – Perkembangan Banten pada masa kesultanan menonjolkan tata kota Islam yang lengkap dengan segala sarana dan prasarana penunjang. Di masa Sultan Maulana Yusuf (1570-1580), aspek keagamaan dijadikan landasan dasar sebagai pondasi dalam setiap kebijakan pemerintahan, maka sangat tampak pada pengembangan pusat Kesultanan Banten yang sudah mengadopsi konsep kota Islam klasik secara umum. Konsep Kesultanan Banten sebagai kota bandar (harbour city), serta pusat pemerintahan (city state), di pesisir teluk Banten terdapat tiga unsur utama arsitektur kota yaitu masjid, istana, serta alun-alun.
Di alun-alun sendiri biasanya diselenggarakan sejumlah kegiatan seperti pertemuan dewan kerajaan, sidang pengadilan, dan kegiatan publik lainnya. Pada pagi harinya alun-alun digunakan sebagai pasar. Dengan perlahan, Sultan Maulana Yusuf menata Kota Banten yang semakin ramai oleh kegiatan perdagangan, dengan membangun dinding-dinding pelindung di sepenjang Kota Banten. Tujuan dibangunnya dinding kota atau benteng kota tersebut merupakan untuk melindungi objek-objek vital seperti halnya keraton, alun-alun, masjid, pelabuhan, dan pasar dari ancaman yang bisa saja sewaktu-waktu datang dari arah laut, seperti perompak.
Keamanan di dalam kota sangat diutamakan untuk mendukung kelancaran aktivitas perdagangan dan kehidupan sosial masyarakat di Kota Banten, yang berasal dari berbagai latar belakang ras, pekerjaan, budaya, dan lainnya. Inisiatif dari Sultan Maulana Yusuf untuk membangun Kota Banten yang dikelilingi oleh benteng, didasari oleh letak kota Banten yang berada di tepi pantai, serta termasuk sebagai kota-kota pantai pada umumnya yang menjadi lebih terbuka terhadap serangan musuh terutama dari arah laut.
Sultan Maulana Yusuf tidak saja mempunyai pasukan tenaga yang kuat untuk membangun kota, akan tetapi juga pemikiran yang sangat cerdas untuk merancang pengembangan dinding kota—yaitu dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di wilayah pesisir pantai seperti halnya karang dan batu-batuan (batu bata dan batu andesit), untuk kemudian nantinya digunakan sebagai bahan baku untuk pembangunan dinding pertahanan kota.
Konsep mengembangan kota dengan membangun benteng-benteng pertahanan tersebut kemudian diejawantahkan pada suatu semboyan yang dikenal dengan istilah, Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan kawis. Dalam bahasa Indonesia, semboyan tersebut berarti “membangun kota perbentengan dengan (batu) bata dan karang”. Semboyan tersebut juga memiliki makna yang sangat mendalam jika dipahami lebih lanjut. Ada dua konsep mendasar dari semboyan tersebut yang dapat ditelaah dari sudut historis dan simbolis (budaya).
Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis syarat akan makna penting dalam sejarah serta kebudayaan masyarakat Banten. Dalam konteks sejarah pada sumber Sajarah Banten mengatakan bahwa gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis, merupakan wujud dari kebijakan Sultan Banten, khususnya pada pemerintahan Sultan Maulana Yusuf (1570-1580), dalam membangun infrastruktur perkotaan, yang merupakan benteng pertahanan dengan menggunakan batu bata dan karang (kawis). Wujud kebijakan tersebut menunjukkan sebuah simbol perpaduan harmonis antara gatra alami (karang) dan sosial (batu bata) dengan memanfaatkan geopolitik Kesultanan Banten sebagai kerajaan maritim yang berjaya pada masanya. Semboyan ini juga merupakan cerminan dari tinggalan intangible Kesultanan Banten sekaligus juga cerminan kearifan lokal yang ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Dalam pandangan historis, Kota Banten yang menghadap ke arah laut serta menjadi kota bandar, yang tentunya memerlukan dinding-dinding pertahanan untuk keamanan dalam kota. Pembangunan dinding-dinding pertahanan pada kota di Kesultanan Banten pada masa Sultan Maulana Yusuf merupakan wujudan dari konsep “gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis”. Akar sejarah dari konsep “gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis” dapat ditemukan pada naskah babad Banten atau Sajarah Banten pada pupuh sinom
XXII.
“Sirna ilang iku tuwan,
ingkang yuswa kangjeng
gusti, sampurna ing dadya
nata, nulya mantuk ing
rahmat syih, gustining kang
winarni, kang putra rekeh
pukulun, Molana Yusup
panjenenge kangjeng gusti
tuan, sinung kuwat
dening Allah ta’ala”.
“Sirna ilang iku (100) tuan (Sultan Maulana Hasanuddin), itu usia baginda, (ketika) selesai menjadi raja, lalu berpulang ke rahmatullah, tersebutlah penggantinya, adalah putra Baginda, Molana Yusup nama baginda itu, (ia) dianugerahi kekuatan oleh Allah ta’ala”.
“lir kuwating wong sawidak,
lan kuwat alul ta’ati, rabina
wengi tan /117/ pegat, jeng
gusti denya ngabekti, sarta
puwasa malih, sunatnya
kalawan fardlu, lan kuwat
nambut karya, gawe dhukuh
gawe syabin, lawan murwa
sakehe kang padedesyan”.
“seperti kekuatan enam puluh orang, (ia) juga kuat dan taat, siang malam tak putusnya,
Baginda beribadat, dan puasa, sunat maupun wajib, dan kuat bekerja, (ia) membuka desa dan sawah, dan juga membuka banyak pedesaan.” (Pupuh Sinom XXII Sajarah Banten).
kathah karya kabecikan, asusuk ambendhung kali, karana aweh manpa’at, gawe buluwarti, bata kalawan kawis, ngumpulaken sanjata agung, lan marekaken ika, sekehe wong alim-alim, ingkang sidik lan ngumpulaken parwira
“(ia) banyak melakukan karya yang baik,(membuat) terusan (dan) membendung sungai,
karena memberi manfaat, membuat baluwarti, (dari) bata dan karang, mengumpulkan senjata besar, dan memerdekakan, semua orang alim, yang tajam pandangannya dan mengumpulkan perwira.
Kutipan naskah tersebut kemudian banyak dikaji oleh para sejarawan sebagai salah satu sumber utama untuk merepresentasi kemajuan Kota Banten di masa Sultan Maulana Yusuf. Peran Kota Banten sebagai kota pelabuhan, yang secara geografis berada di tepian teluk Banten dengan didukung sungai Cibanten merupakan atribut alamiah yang sangat menguntungkan bagi pengembangan Kota Banten. Usaha pembangunan kota benteng (kuta baluwarti) banyak memanfaatkan sumber daya yang berada dalam disekitar Kota Banten, semisal bahan baku dasar yang digunakan dalam pembangunan benteng, merupakan sumber daya karang (kawis), sumber daya batu andesit, dan sumber daya tanah liat (batu bata).
Sedangkan dalam konsep simbolis Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan kawis, sangat berhubungan erat dengan konsep manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Kebudayaan sendiri merupakan kumpulan atas gagasan-gagasan, simbol-simbol, serta nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia. Sehingga begitu eratnya kebudayaan manusia dengan simbol-simbol, hingga manusia pun disebut sebagai makhluk homo simbolikum. Manusia berfikir, berperasaan, serta bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Ungkapan-ungkapan simbolis tersebut merupakan ciri khas dari manusia, yang membedakannya dari hewan.
Setiap kebudayaan, atau pun aktivitas kebudayaan, tentu akan memiliki simbol-simbol sebagai sarana atau media untuk menyisipkan pesan-pesan atau nasehat bagi bangsanya. Secara simbolis, konsep gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis merupakan refleksi kontemplatif yang dilakukan Sultan Maulana Yusuf dari hasil sosio-kultural antara masyarakat dengan lingkungan alam di Kesultanan Banten. Interaksi lingkungan alam dengan lingkungan buatan tersebut, telah memunculkan kesadaran atas penataan arsitektur Kesultanan Banten yang memerhatikan segala aspek dan potensi alamiah.
Ide serta konsep memang merupakan sesuatu yang abstrak, yang hanya bermuara di dalam pikiran dan pengetahuan seseorang. Begitupun sebaliknya, konsep gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis juga terkesan abstrak dan sukar untuk didefinisikan. Akan tetapi. Konsep mengenai gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis, akan berbeda jika diartikan di antara seorang sejarawan yang melihat dari sudut pandang kronik, dengan pandangan seorang budayawan yang melihat sisi simbolis serta filosofis. Namun jika dilingkungan masyarakat Banten, gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis, bukan
saja sekadar konsep dan simbol semata, akan tetapi juga merupakan pandangan hidup,
kearifan lokal, nilai, serta norma yang melambangkan nilai-nilai baik dan ideal sebagai
warisan budaya.
Kalimat “Gawe kuta baluwarti” tentu bukan saja sekadar makna membangun kota dan benteng pertahanan semata, akan tetapi memiliki makna sebagai sebuah kebudayaan (culture), atau peradaban (civilization). Sedangkan “bata kalawan kawis” harus ditafsir tidak saja sebatas makna bata dan karang dalam artian denotatif. “Bata” merupakan majas untuk unsur buatan hasil kreativitas tangan manusia yang melibatkan materi-materi lain beserta berbagai peralatannya. “Kawis” merupakan majas untuk unsur asali yang kokoh. Dari dua unsur yang saling bersinergi inilah (asli-buatan, pesawahan-pesisiran, pribumi-pendatang, lelaki-perempuan, otot-otak, sains-seni, rakyat-pemerintah, kyai-jawara, golok-pena, dan lain sebagainya), kota dan peradaban Banten didirikan. Hasilnya ialah kegemilangan Banten pada masa-masa tersebut.
Konsep mengenai historis serta simbolis pada gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis, telah merepresentasikan bentuk usaha yang dinamis antara Sultan Maulana Yusuf dengan masyarakat Banten, dalam membangun Banten sebagai kota pelabuhan yang kokoh. Dengan memanfaatkan ekosistem alam, menjadi ekosistem buatan. Dengan ciri khas
tembok pertahanan yang terbuat dari bata serta karang, merupakan bentuk arsitektur yang mendominasi pada zamannya.
Penulis : Ilham Aulia Japra