Gedung Negara Banten Serta Jejak Para Penghuni

Damar Banten – Konon katanya menurut cerita, bahwa material serta struktur bangunan yang dipakai untuk membangun Gedung Negara Banten, sebagian besar diambil dari reruntuhan Istana Surosowan yang dihancurkan oleh Daendels pada 20 November 1808. Akan tetapi, menurut arsip-arsip kolonial yang disimpan di ANRI mengatakan sebaliknya bahwa material bangunan sebagian besar didatangkan langsung dari Batavia, yang dibeli dari dana hasil perkumpulan tender 32 pengusaha Tionghoa.

Letak dari Gedung Negara Banten sendiri, berada di jalan Brigjen K.H. Sam’un no 5 Kota Serang, yang adalah jalan utama yang berada di kota Serang. Gedung tersebut menghadap ke timur serta berseberangan langsung dengan sisi barat alun-alun kota Serang. Gedung tersebut terdiri atas beberapa gedung lama, serta beberapa gedung baru. Gedung lama yang dimaksud merupakan gedung utama yang menjadi kantor serta sekaligus rumah tinggal gubernur. Pada tahun 2000-an, gedung tersebut menjadi Kantor asda, biro hokum, biro umm serta keuangan, kantor humas dan gedung PKK. Serta Gedung baru yang dimaksud adalah bangunan lama yang sudah berubah bentuknya, yang saat itu berfungsi sebagai aula SETDA, biro kesra, biro organisasi serta kepegawaian, dan biro perlengkapan.

Di tahun 1596, Bangsa Belanda dengan pasukan armadanya yang berjumlah empat buah kapal dagang, tiba di Banten. Tujuan mereka tidak lain adalah untuk mengambil serta membeli rempah-rempah. Akibat tergiur oleh keuntungan yang sangat sebesar. Saat itu, Belanda perlu melakukan persaingan dagang dengan orang-orang dari Spanyol serta Portugis, akibatnya pada tahun 1603, para pedagang Belanda mendirikan kantor dagang bernama VOC di Banten, yang merupakan kantor dagang VOC pertama di seluruh kepulauan Nusantara, yang saat itu berada di bawah pimpinan Francois Wittert. Tujuannya tak lain adalah untuk memonopoli perdagangan di Banten.

Akan tetapi, sikap tegas dari Sultan Banten saat itu memaksa kantor tersebut agar dipindahkan ke Jayakarta pada tahun 1611. Alhasil, dari sinilah kekuasaan atas VOC terus berkembang dengan melakukan penetrasi terhadap perekonomian bahkan politik di Pulau Jawal, sampai pada akhirnya dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799.
Kekuasaan VOC akhirnya diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda, dengan membentuk pemerintahan Hindia Belanda di Nusantara. Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pertama merupakan H.W.Daendels, yang berkuasa dari tahun 1808 hingga 1811. Daendels tiba di Anyer pada 1 Januari, serta pada tanggal 5 Januari 1808, dirinya memutuskan bahwa Jayakarta menjadi pusat pemerintahan dengan nama Batavia.

Peralihan tersebut menciptakan sistem pemerintahan yang berbeda dari sebelumnya, yang bahkan secara administrasi banyak melahirkan kebijakan-kebijakan baru. Melalui sistem yang baru tersebut, Daendels bertujuan untuk menjalankan pemerintahan secara langsung. Daendels melakukan birokratisasi pada kalangan pemerintahan tradisional, sehingga para sultan serta bupati pada akhirnya dijadikan sebagai pegawai pemerintah dan menerima gaji.

Ketika terjadi dinamika politik tersebut, kondisi Kesultanan Banten dalam keadaan yang sangat lemah. Ditambah, Sultan Abunasar Muhammad Ishak Zainul Muttaqin tetap tidak mau mengakui kekuasaan Daendels. Sehingga pada puncaknya ketegangan antara Sultan Banten serta Daendels tersebut, terjadi pada 21 November 1808, ketika seorang utusan Daendels yang dikirim menuju Keraton Surosowan, yang bernama Philip Pieter Du Puy, dibunuh di depan pintu gerbang keraton tersebut. Kejadian tersebut akhirnya dibalas oleh Daendels dengan menyerang Keraton Surosowan pada hari itu juga. Pada akhirnya Keraton Surosowan berhasil dikuasai oleh Daendels, sehingga Sultan Banten ditangkap serta ditahan di Batavia, yang kemudian diasingkan ke Ambon.

Guna menjalankan roda pemerintahannya, Daendels kemudian mengangkat putra pangeran Ratu Aliyuddin sebagai sultan, dengan gelar Sultan Abunasar Mufakir Muhammad Aliyuddin II (1808-1810), atau biasa dipanggil dengan nama Sultan Aliyuddin II. Berlandaskan instruksi dari Gubernur Jenderal Daendels pada 27 November 1808, Sultan Banten dituntut agar setia, taat, serta mematuhi segala peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan hal tersebut, Sultan Banten Kemudian dijadikan sebagai pegawai pemerintah kolonial.

Atas kejadian itu, hal tersebut akhirnya menyebabkan perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Ahmad, putra dari Sultan Aliyuddin II. Atas perlawanan yang dilakukan oleh rakyat dibawah pimpinan Pangeran Ahmad teresebut, menimbulkan kecurigaan dari Daendels jika Sultan Banten berada di belakang itu semua. Pada akhirnya, Sultan Banten ditangkap serta kemudian dipenjara di Batavia. Akibat kejadian itu, Benteng serta Keraton Surosowan kemudian dihancurkan dan dibakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1808.

Guna melemahkan perlawanan dari rakyat, Daendels pada akhirnya membagi wilayah Banten menjadi tiga daerah, yang setingkat dengan kabupaten, yakni Banten Hulu, Banten Hilir serta Anyer, dan berada pada pengawasan langsung di bawah prefek yang berkedudukan di Serang. Sultan Muhammad Syafiudin (1809-1813), putra dari Sultan Zainul Shalihin kemudian diangkat pemerintah kolonial sebagai pengganti atas Sultan Aliyuddin II. di masa pemerintahan Sultan Syafiudin, pusat pemerintahan kemudian dipindahkan dari Keraton Surosowan ke Keraton Kaibon, akibat Surosowan yang sudah hancur.

Pada akhirnya, Daendel harus digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Willem Jansen, sayangnya Jansen tidak mampu untuk menghadapi serbuan dari armada Inggris ke Pulau Jawa, yang terjadi pada Agustus 1811. Alhasil, Belanda akhirnya menyerah kepada pihak Inggris serta menetapkan Thomas Stanford Raffles sebagai pejabat penguasa Pulau Jawa di tahun 1811. Beberapa istilah administrasi struktural kemudian mengalami perubahan, semisal prefektur diubah menjadi karesidenan, dan jabatan prefek diubah menjadi residen. Bahkan, dibentuk sebuah jabatan struktural baru, yakni asisten residen serta wedana yang mengepalai sebuah distrik.

Kesultanan Banten kala itu masih di bawah kekuasaan Sultan Muhammad Syafiuddin. Sayangnya, kondisi wilayah Banten saat itu jauh dari ketenteraman, sehingga pada 19 Maret 1813, Raffles kemudian datang ke Kaibon guna membuat sebuah perjanjian. Raffles memaksa Sultan Muhammad Syafiuddin agar menyerahkan pemerintahan Banten kepada pemerintahan Inggris, sehingga status Sultan kemudian diganti menjadi ‘bupati sultan’, serta mendapat tunjangan dari pemerintah Inggris sebanyak 10.000 ringgit dalam setahun. Atas tindakan dari Raffles tersebut, pada akhirnya berakhirlah kejayaan dari Kesultanan Banten. Seluruh daerah Banten saat itu telah dikuasai oleh pemerintah Inggris, serta dijadikan sebagai sebuah karesidenan. Sultan menjadi aparat pemerintah Inggris dengan status sebagai Bupati, yang berada langsung di bawah Residen, bahkan Hak dan kekuasaannya pun dibatasi.

Gedung Negara Banten pada saat itu merupakan Kantor Residen Banten. Kantor residen tersebut dibangun berlandaskan surat usulan dari Residen Banten terhadap Gubernur Hindia Belanda pada 26 Januari 1821, yang menyatakan bahwa perlu dibangun sebuah kantor residen di Banten, karena pada saat itu belum ada tempat yang menjadi representatif atas kantor seorang Residen di Banten. Akhirnya, perencanaan pembangunan kantor residen tersebut diusulkan oleh Direktur bangunan Sipil Hindia Belanda pada 31 Agustus 1821, nomor 56. Bahwa disebutkan mengenai rencana tata letak, bentuk, hingga biaya yang dibutuhkan guna membangun kantor Residen di Serang. Surat usulan tersebut akhirnya disetujui oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang tertuang dalam surat keputusannya pada 10 September 1822 nomor 7.

Surat keputusan tersebut berbunyi persetujuan atas usul pembangunan kantor Residen baik soal letak, bentuk, serta biaya yang dibutuhkan sebesar 155.752.23. Biaya pembangunan kantor tersebut sebagian dibebankan kepada Residen Banten sebesar f21.868 (Besluit tanggal 31 Agustus 1822 nomor 86).

Berdasarkan arsip surat yang ditandatangani oleh Direktur BOW pada 17 Agustus 1822, dapat disimpulkan jika biaya pembangunan kantor serta rumah residen tersebut tidak diambil dari kas Pemerintah Kolonial, akan tetapi dikumpulkan dari proses tender yang ditawarkan oleh Direktur BOW, terhadap 32 pengusaha Tionghoa yang diminta guna memberikan pinjaman dana dengan jumlah yang bervariasi antara fl. 3.000 hingga fl. 31.000.

Pembangunan atas gedung tersebut dirancang oleh arsitek Horst, sementara untuk ketua pelaksananya merupakan Letnan Haas yang berada dibawah pengawasan Komisaris Borneo Fabius, yang kala itu menjabat sebagai Residen Banten. Bahan-bahan bangunan sebagian didatangkan dari Batavia, sebagian laginya berasal dari Serang, sementara untuk pintu serta jendela berasal dari bangunan yang sebelumnya telah ada di Banten serta Anyer.

Gedung tersebut terdiri atas bangunan utama, rumah tinggal, dapur, rumah-rumah pembantu, beranda depan, ruang makan, ruang sidang, serta ruang penginapan. Pada perkembangannya, gedung tersebut menjadi kantor sekaligus kediaman Residen hingga masa pemerintahan Hindia Belanda berakhir. Di masa pemerintahan Jepang, gedung tersebut dipergunakan sebagai pusat pemerintahan Jepang di Banten. Pasca Indonesia merdeka, gedung tersebut kemudian kembali menjadi kantor Residen Banten, serta Inspektur Wilayah Banten di Jawa Barat, hingga akhirnya menjadi kantor Gubernur Banten setelah diresmikan menjadi provinsi pada 4 Oktober 2000.

Berikut daftar pejabat yang pernah mendiami Gedung Negara Banten:

  1. J. De Bruijn W.D. 1817-1818
  2. C. Van Wit 1818-1819
  3. J. De Puij 1819-1819
  4. Mr.J.H. Pebias 1819-1821
  5. P. Van De Poel 1821-1822
  6. A. Abrahami De Mulerde 1822-1827
  7. E.H. Smulders 1827-1835
  8. J.H.R. T.L. Herra Siccama 1835-1839
  9. J.H.R.C.F. Golman 1839-1843
  10. D.A. Bruijn 1843-1851
  11. GA.R. Wiggers 1851-1855
  12. C.P. Brest Van Kempen 1855-1857
  13. C.F. De Laneij 1857-1862
  14. O. Van Pelanen Petal 1862-1865
  15. J.H. Van Der Palm 1865-1872
  16. B. Van Baak 1872-1874
  17. F.E.P. Van Der Bosch 1874-1877
  18. W.F. Van Andel 1877-1878
  19. Mr. J.P.Metman 1878-1881
  20. A.J. Span 1881-1884
  21. E.A. Engger Brecht 1884-1888
  22. J.A. Pelders 1888-1892
  23. B.H.H.Bavenhaaij 1892-1893
  24. J.A. Pelders 1893-1895
  25. J.A. Hardeman 1895-1906
  26. F.R. Oferddiwijn 1906-1911
  27. C.W.A. van Rinsun. 1911-1913
  28. H.L.C.B. Fleulon 1913-1916
  29. Bijleveld 1916-1918
  30. W.C. Thime 1918-1920
  31. C.Came 1920-1921
  32. J.C. Bedding 1921-1925
  33. De Vries 1925-1925
  34. F.G. Putman Cramer 1925-1931
  35. J.C.Kanter 1931-1933
  36. A.M. Van Der Flast 1933-1937
  37. J.R. van de Buesekom 1937-1941
  38. Mr. W.H. Courts 1941-1942

Pembantu Gubernur Masa Pemerintahan Jepang:

  1. Letkol Onokuchi Sjuutyokan 1941-1942
  2. Kolonel Orio 1942-1943
  3. Watanabe Hirosji 1943-1944
  4. Ban Jokyjosji. 1944-1945

Pasca Kemerdekaan:

  1. Mas Tirtasujatna September-Oktober 1945
  2. KH. Tb. Ahmad Chatib 1945-1950

Masa Agresi Belanda I-II:

  1. N. Makkers 1948-1949
  2. Azikin Nataatmadja 1949-1949

Masa Setelah Pemerintahan RI Kembali:

  1. Tb. Bakri 1949-1951
  2. R. Basarah Adiwinata 1952-1955
  3. R. Achjad Penna 1955-1957
  4. R. Abdullah 1957-1960
  5. R.M. Nur Atmadibrata 1960-1966
  6. Tb. Hasan Sutawinangun 1966-1973

Inspektur Wilayah Banten:

  1. H.S. Ronggowaluyo 1973-1976
  2. Drs. H. Kartiwa Suriasaputra 1976-1983
  3. Drs. Mahfud 1983-1987
  4. Drs. H. Muhammad Samsudin 1987-1994
  5. H.Momon Gandasasmita 1994-2000
  6. Drs. H. Diding Kurniadi, M.Si. 2000

Gubernur Banten:

  1. Drs. H. Hakamudin Djamal 2000-2001
  2. Dr. H. Joko Munandar 2001-2005
  3. Rt. Atut Chosiah,S.E. 2006-

Penulis : Ilham Aulia Japra

BERITA TERKAIT

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Tulis Namamu Disini

- Advertisement -spot_img

PALING SERING DIBACA

- Advertisement -spot_img

Terkini