Damar Banten – Setelah pemerintahan Belanda takluk tanpa syarat, terhadap pemerintah Jepang di tahun 1942, hal demikian membawa angin segar bagi seorang Tan Malaka. Bagaimana tidak, selama hampir 20 tahun hidupnya dihabiskan dalam pelarian, akibat selalu diburu oleh pemerintah Belanda, akhirnya setelah Belanda kalah tanpa syarat atas Jepang, dengan begitu Tan Malaka bisa dengan bebas untuk kembali ke negerinya. Dirinya sudah tidak lagi menjadi seorang pelarian politik yang dibuang oleh penguasa jajahan Belanda dari bangsanya. Akhirnya di bulan Juni 1942, Tan Malaka tiba di Indonesia, tepatnya diMedan.
Ketika di Medan, Tan Malaka kemudian mencari cara agar dapat pergi ke Pulau Jawa. Tentu saja, identitasnya sebagai Tan Malaka yang asli harus masih tetap dirahasiakan. Di
Medan jugalah, Tan Malaka mengetahui jika namanya digunakan oleh pemerintah Belanda agar dapat membohongi rakyat Padang. Tan Malaka disebut-sebut berada di pihak Jepang serta memiliki pangkat Kolonel. Akan tetapi tetapi, persoalan semacam itu tentu tidak akan dihiraukan oleh seorang Tan Malaka.
Akhirnya Tan Malaka pergi menuju Jakarta dengan cara menumpang truk ke Palembang, selanjutnya menyewa sebuah perahu dari Lampung menuju Banten, dilanjutkan dengan naik kereta api ke Jakarta. Ketika sudah sampai Jakarta, Tan Malaka tidak bergegas untuk langsung bergabung ke dalam barisan perjuangan para tokoh revolusioner lainnya. Dirinya justru masih tetap saja menyembunyikan identitasnya yang asli. Akhirnya, Tan Malaka memakai nama Ilyas Hussein dari Singapura. Tan Malaka beranggapan, jika dirinya ingin mengetahui serta ingin mempelajari terlebih dahulu kondisi sosial, ekonomi, bahkan politik di negerinya sendiri yang telah lebih dari dua puluh tahun ditinggalkannya, sebelum mengungkapkan identitas aslinya.
Selain itu, Tan Malaka justru ingin menulis sebuah buku yang dianggap olehnya sangat penting, guna dipakai sebagai pegangan bagi rakyat Indonesia. Akhirnya, Tan Malaka memilih sebuah tempat yang agak jauh dari keramaian kota, tepatnya pada sebuah desa bernama Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di Kalibata, Jakarta. Disitulah dirinya menyewa sebuah gubuk bambu serta di tempat inilah seorang Tan Malaka, merangkum gagasan-gagasan atas pemikirannya yang terwujud menjadi sebuah buku berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika).
Di keseharian seorang Tan Malaka, ketika menetap di Kalibata, dirinya menjalankan rutinitas yang cukup terjadwal serta relatif sama. Misalnya ketika pagi hari dari jam enam hingga jam dua belas/satu siang, waktunya akan dihabiskan untuk menulis, selanjutnya dirinya akan memasak, ketika waktu sore/malam, Tan Malaka biasa untuk berjalan-jalan di sekitaran Rawajati, serta akan bercakap-cakap dengan buruh, petani, dan pedagang kecil.
Dalam seminggu, setidaknya Tan Malaka tiga kali akan mengunjungi Museum Nasional dengan berjalan kaki, terkadang butuh waktu empat jam untuk sampai. Jika hendak ke sana, biasanya Tan Malaka bangun pukul setengah lima subuh, dan tiba sekitar pukul sembilan, terkadang , dirinya tidak lebih dari satu jam di perpustakaan. Sehabis mengamati dan mempelajari keadaan di kota sebentar, pada waktu sore dirinya akan kembali berjalan kaki menuju Kalibata.
Ketika sedang menulis Madilog, Tan Malaka sering sekali berdiskusi dengan sejumlah pemuda. Dirinya banyak bercerita mengenai kesengsaraan penduduk di bawah pendudukan Jepang. Tan Malaka sempat menghadiri sebuah rapat raksasa yang dilakukan di lapangan Gambir, yang kala itu tentu saja dihadiri oleh Soekarno, kedatangan Tan Malaka ke situ tidak lagi hanya untuk mendengarkan pidato Soekarno. Tan Malaka bersebelahan dengan pandangan Soekarno mengenai strategi politiknya dalam mencapai kemerdekaan, jika itu dilakukan dengan cara kerja sama dengan Jepang. Selain itu, Tan Malaka juga sering berdiskusi dengan para tokoh pemuda pergerakan revolusioner di Jakarta.
Akibat aktivitas mencurigakan yang dilakukan Tan, akhirnya Asisten Wedana Pasar Minggu sampai mendatangi hingga menggeledah gubuknya. Setelah dirasa tidak menemukan sesuatu, akhirnya Asisten Wedana itu minta maaf. Ternyata, Tan Malaka sebelumnya sudah menyembunyikan terlebih dahulu kertas-kertas yang berisikan tulisan-tulisannya di kandang ayam, serta sebagian lainnya disamarkan sebagai pengganjal kaki meja.
Akhirnya, Tan Malaka terus melanjutkan untuk menulis Madilog, dari 15 Juli 1942, hingga 30 Maret 1943. Madilog merupakan maha karya raksasa dan luar biasa.l dari seorang revolusioner. Ketebalan buku tersebut mencapai 462 halaman.
Dirasa perlu berpindah setelah menyelesaikan Madilog. Akhirnya Tan mencari Informasi mengenai lowongan pekerjaan, dirinya menemukan sebuah pengumuman lowongan untuk orang-orang terkemuka, yang nantinya akan disediakan oleh pemerintah Jepang, akan tetapi Tan tidak tertarik bekerja berbarengan dengan orang-orang terkemuka. Kemudian ketika Tan pergi ke perpustakaan, seorang pengawas perpustakaan sedang membutuhkan bantuan untuk menerjemahkan kalimat dalam bahasa Inggris pada sebuah buku untuk para pengunjung. Selanjutnya Tan menawarkan bantuan, karena benar-benar mumpuni, Tan kemudian ditanya oleh pengawas perpustakaan tersebut mengenai dirinya serta pekerjaannya. Pengawas tersebut selanjutnya menyarankan agar Tan pergi menuju kantor sosial, Tanah Abang Oost, bila ingin mendapatkan sebuah pekerjaan.
Saat mendatangi kantor sosial tersebut, Tan baru menyadari jika kantor tersebut Ternyata mengurusi masalah romusha. Pada akhirnya, Tan ditawari sebuah pekerjaan di pertambangan Bayah, Banten. Kereta Tan ingin mengetahui lebih dekat nasib dari rakyat yang terjebak dalam romusha, akhirnya Tan menerima pekerjaan tersebut. Kala itu, di
perusahaan Bayah sedang membutuhkan 30 pekerja non romusha. Tan kemudian melamar tanpa ijazah serta mengaku bersekolah di MULO (setara dengan sekolah menengah pertama) dua tahun, serta pernah bekerja sebagai juru tulis di Singapura. Akhirnya Tan berhasil lolos dengan menyisihkan 50 pelamar lainnya.
Sejak Jepang mengeksploitasi pertambangan batubara pada 1 April 1943, Bayah kemudian menjadi tempat bagi romusha untuk menderit. Pada akhirnya, sekitar 26.000 manusia didatangkan dari Jawa Tengah serta Jawa Timur. Di kawasan pesisir Banten itulah seorang Tan Malaka bersinggah serta bekerja sebagai juru tulis (kerani). Tan Malaka sendiri tiba di Bayah, pada Juni 1943, serta bernama samaran sebagai Ilyas Hussein.
Ketika di Bayah, Ilyas Hussein kerap kali menjelajahi pelosok, termasuk Pulo Manuk, sebagai lokasi paling matikan akibat penyakit kudis, disentri, bahkan malaria yang mewabah. kalan itu, penyakit serta kelaparan menjadi penyebab utama atas kematian romusha di Bayah. Suatu ketika, Tan Malaka sempat diminta untuk mengurusi data dari para pekerja, sehingga Tan sering berhubungan langsung dengan para romusha serta mencatat jumlah kematian mereka. Karena para romusha sering Keluar-masuk terowongan, Tan sering memberikan nasihat tentang pentingnya kesehatan dan keselamatan. Oleh para romusha Ilyas Hussein dikenal sebagai kerani yang baik hati, sering sekali membelikan makanan untuk romusha dari upahnya sendiri.
Ketika berada di dalam perusahaan, Ilyas Hussein acapkali mengusulkan agar meningkatkan kesejahteraan bagi para romusha. Ilyas Hussein termasuk orang yang anti-Jepang, akan tapi tetap mencoba untuk bergaul dengan mereka, termasuk terhadap pejabat Direktur Kolonel Tamura. Ilyas Hussein mencoba untuk berbicara mengenai kesejahteraan para romusha, sayangnya sia-sia. Ilyas Hussein kemudian mencoba untuk menggalang kekuatan pemuda agar memperbaiki nasib para romusha, dengan cara melakukan propaganda terhadap para pemuda di bawah serikat romusha yang dipimpin olehnya, guna menjadi pemuda yang revolusioner. Ilyas Hussein juga memberikan arahan tentang strategi kemerdekaan, serta menunjukkan kelemahan-kelemahan dari Jepang.
Kemudian Ilyas Hussein menggagas sebuah dapur umum yang menyediakan makanan untuk seribu romusha. Bahkan, Ilyas Hussein dengan para pemuda kemudian membangun sebuah rumah sakit di Cikaret. Ilyas Hussein juga membuka perkebunan kebun sayur dan buah-buahan di Tegal Lumbu, 30 km dari Bayah. Sekali waktu Ilyas Hussein ditunjuk sebagai Ketua Badan Pembantuk Keluarga PETA, yang kemudian makin memperbesar peran serta namanya. Sebab itu, Ilyas Hussein menjadi lebih leluasa untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti pertunjukkan sandiwara dan pertandingan sepak bola.
Kelompok sandiwara serta sepak bola tersebut bernama Pantai Selatan. Pertunjukan sandiwara yang dilakukan pun banyak bercerita mengenai nasib para romusha. Pantai Selatan juga pernah memainkan Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, hingga Puputan Bali. Untuk Tim sepak bola, bahkan pernah bermain di kejuaraan Rangkasbitung. Ilyas Hussein kemudian menggagas pembangunan lapangan sepak bola di Bayah (saat ini menjadi terminal). Ilyas Hussein ketika bermain bola, sering menjadi pemain sayap, akan tetapi tapi lebih sering menjadi seorang wasit. Selesai bertanding, Ilyas Hussein sering mentraktir para pemain.
Suatu ketika di Bulan September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah. Ilyas Hussein kemudian menjadi anggota panitia penyambutan tamu. Kala itu, Soekarno berpidato mengenai Indonesia bersama Jepang yang akan mengalahkan Sekutu. Sebagai hadiahnya Jepang akan memberikan kemerdekaan untuk Indonesia. Soekarno meminta agar para romusha tambang agar membantu berjuang dengan meningkatkan produksi batu bara. Selesai berpidato, moderator kala itu, Sukarjo Wiryopranoto, mempersilakan para hadirin bertanya. Kala itu, Ilyas Hussein sedang menyiapkan kue serta minuman untuk para tamu. Ilyas Hussein gusar dengan atas suasana ejekan berupa guyonan sinis untuk para penanya. Seperti misalnya kepada Son-co (camat) Bayah, Sukarjo saat itu mengejek supaya Son-co untuk ikut kursus “Pangreh Praja”. Ilyas Hussein pun langsung menyimpan talan kue serta minuman di belakang;
Ilyas Hussein kemudian langsung menyanggah, ”Apakah tidak lebih tepat kemerdekaan Indonesia kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?”,
Soekarno kemudian menjawab bahwa Indonesia perlu menghormati jasa Jepang dalam menyingkirkan tentara Belanda serta Sekutu. Ilyas Hussein langsung membantah, menurutnya, rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada, daripada yang dijanjikan. Ilyas Hussein melihat wajah Soekarno yang jengkel. Baginya, Soekarno mungkin tidak pernah didebat saat melakukan pidato di seluruh pulau Jawa, lebih-lebih bantahan tersebut datang dari Bayah, sebuah kota kecil di pesisir selatan Banten, yang hanya dikenal karena urusan romusha dan nyamuk malaria.
Pada Juni 1945, sebagainya ketua Badan Pembantu Keluarga PETA di Bayah, Ilyas Hussein kemudian diundang oleh Ketua BPP yang ada di Rangkas Bitung, agar ikut serta dalam rapat untuk menentukan sikap dalam masalah kemerdekaan, serta memilih wakil yang nantinya akan dikirim menuju Jakarta dalam konferensi para pemuda. Konferensi tersebut digagas serta diselenggarakan oleh Angkatan Baru (bentukan Jakarta) serta Angkatan Muda (bentukan Bandung), dalam rangka usaha untuk menentukan arah kemerdekaan Indonesia.
Pada rapat tersebut, Ilyas Hussein kemudian dipilih agar mewakili para pemuda Banten. Saat itu, para pemuda menentang dengan keras kebijakan para Pemimpin Tua (resmi), yang menunggu kemerdekan dari pemberian Jepang. Maksud para pemuda adalah mereka menginginkan agar segera merdeka tanpa harus menunggu janji
kemerdekaan dari Jepang. Pada saat itu, Tan memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hussein, datang dari Bayah, Banten Selatan, saat bertamu di rumah Sukarni yang berada di Jl. Minangkabau, Jakarta, pada Juni 1945. Di situ sudah ada Chaerul Saleh, B. M. Diah, Anwar, serta Harsono Tjokroaminoto. Ketika akan berangkat untuk menghadiri kongres pemuda di Jakarta, Ilyas Hussein memakai baju kaus, celana pendek hitam, serta topi perkebunan yang ditenteng di tangan.
Ilyas Hussein selalu digambarkan memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina di tahun 1925-1927. Pada 6 Agustus 1945, dirinya datang untuk menemui B.M. Diah, seorang tokoh yang dikenal sebagai pimpinan kelompok pemuda radikal Angkatan Baroe. Ilyas Hussein membawa tas berisi celana pendek selutut, kemeja, serta kaus lengan panjang kumal ke rumah B.M. Diah. Diah yang bersama kawan-kawannya yang lain, saat itu meninggalkan sidang pertama Gerakan Rakjat Baroe (GRB), karena dengan tegas mereka menentang pemerintah Jepang serta para pemimpin tua Indonesia yang dianggap labil, dan penurut.
Kala itu, Diah merupakan redaktur satu-satunya koran yang terbit di Jakarta pada masa itu, bernama ‘Asia Raya’, Diah memang yang paling tahu tentang perkembangan mutakhir situasi peperangan dibanding dengan tokoh-tokoh yang lainnya. Ilyas Hussein kemudian menyatakan dukungannya atas gerakan pemuda. Baginya, pimpinan revolusi untuk kemerdekaan wajib ada di tangan kaum pemuda. Ilyas Hussein kemudian menjanjikan dukungan dari para pemuda Banten. Ilyas Hussein memberikan kesan intelektual nan cerdas kepada Diah. Besok harinya, Diah ditangkap oleh Jepang akibat menuntut kemerdekaan serta menentang sikap lunak Soekarno-Hatta.
Tiga hari selanjutnya, Ilyas Hussein terlibat dalam rapat rahasia dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Pertemuan satu setengah jam tersebut dilaksanakan di rumah M. Tachril, seorang pegawai Gabungan Perusahaan Listrik Bandung dan Sekitarnya. Di situ, Ilyas Hussein kemudian mengobarkan pidato yang menggelora. Potongan pidatonya antara lain :
“Kita bukan kolaborator!, Kemerdekaan harus direbut kaum pemuda, jangan sebagai hadiah. Sebagai rakyat Banten dan pemuda yang telah siap merdeka, kami bersumpah mewujudkan proklamasi itu!”
Kemudian Ilyas Hussein diminta untuk kembali ke Jakarta guna menjalin kontak dengan Sukarni dan Chaerul Saleh. Peserta rapat yang lain kemudian mengantarnya ke stasiun Saketi, Pandeglang. Hussein naik kereta menuju Jakarta. Akan tetapi, ternyata saat itu kondisi Jakarta sedang tidak menentu. Kebenaran serta desas-desus berkelindan satu sama lain. Para Kempetai, polisi militer Jepang, mengintai di mana-mana. Akhirnya para pemuda melakukan pergerak bawah tanah, bersembunyi dari satu rumah ke rumah lainnya. Kesulitan Ilyas Hussein kemudian bertambah tatkala kehadirannya tempo hari di rumah Sukarni menyebar serta menjadi pergunjingan. Para pemuda semakin bingung siapa sebetulnya sosok Ilyas Hussein sehingga mereka sampai jaga jarak bila Hussein muncul.
Peluang bagi Ilyas Hussein untuk menjalin kontak dengan pemuda kian menipis akibat sikapnya yang hati-hati secara berlebihan, mengingat sebagai bekas orang buangan dan lama hidup dalam pelarian, Ilyas Hussein tentu masih tetap merasa di bawah bayang-bayang penangkapan. Ilyas Hussein kemudian berhasil menemui Sukarni di rumahnya di 14 Agustus pada sore hari. Tan mengusulkan untuk massa pemuda dikerahkan. Akan tetapi saat itu kondisi Sukarni sedang sibuk. Di rumahnya banyak sekali orang keluar-masuk, banyak juga hal yang disembunyikan, termasuk berita takluknya Jepang. Ilyas Hussein juga merasa khawatir jika rumahnya digerebek oleh Kempetai. Karena itu, Sukarni pergi meninggalkan Hussein.
Seperti sebelumnya, Ilyas Hussein diminta untuk menunggu di kamar belakang bersama Khalid Rasyidi, aktivis pemuda Menteng 31. Menurut Khalid, Hussein sempat bertanya di mana letak penyimpanan senjata Jepang. Kahild mengakatan jika Ilyas Hussein mengusulkan untuk melakukan perampasan. “Ia menganjurkan perampasan senjata dalam rangka perjuangan kemerdekaan,” kata Khalid pada sebuah ceramah yang diselenggarakan di Gedung Kebangkitan Nasional, Agustus 1978 (Jalan Sunyi Tamu dari Bayah, 2008).
Akibat Sikap dari Tan yang suka bergerilya serta sembunyi-sembunyi, mengakibatkan dirinya memiliki relasi yang cukup sulit dengan para pemuda sampai perannya terbatas dalam peristiwa proklamasi. Saat proklamasi, seorang Ilyas Hussein tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya.
“Rupanya sejarah proklamasi 17 Agustus tidak mengizinkan saya campur tangan, hanya mengizinkan campur jiwa saja. Ini sangat saya sesalkan! Tetapi sejarah tidak mempedulikan penjelasan seorang manusia atau segolongan manusia.”
Penulis : Ilham Aulia Japra