Indonesia telah memasukkan aspek perubahan iklim ke dalam prioritas nasional keenam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan tiga program prioritas, yakni peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon.
Untuk memenuhi komitmen dan target tersebut, peran APBN sangat vital sebagai instrumen fiskal dalam mendorong proses transformasi ekonomi hijau. Berdasarkan Second Biennial Update Report (2nd BUR) tahun 2018, Indonesia diperkirakan membutuhkan pendanaan untuk pengendalian perubahan iklim sebesar Rp3.461 triliun hingga tahun 2030.
“Berarti per tahunnya saja setidaknya kita memerlukan Rp266,2 triliun. Dari hasil penandaan anggaran perubahan iklim atau Climate Budget Tagging (CBT) sejak 2016 sampai dengan 2020, APBN hanya dapat memenuhi sekitar Rp86,7 triliun per tahunnya atau 34 persen dari kebutuhan tersebut,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, sebagaimana dikutip situs setkab.go.id.
Anggaran perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN. Selama lima tahun terakhir, 88,1 persen dari total anggaran perubahan iklim tersebut dibelanjakan dalam bentuk green infrastructure yang berfungsi sebagai roda penggerak perekonomian sekaligus modal utama transformasi ekonomi hijau di Indonesia.
Namun demikian, Indonesia masih memiliki financial gap yang besar untuk memenuhi target kebutuhan pendanaan. Diperlukan dukungan pendanaan yang sangat besar untuk meningkatkan ketahanan iklim di Indonesia.
“Untuk membantu pendanaan perubahan iklim, pemerintah menerbitkan Green Sukuk pertama kali di pasar global tahun 2018 dengan total sebesar USD1,25 milyar dengan underlying berupa proyek-proyek hijau di kementerian /lembaga,” ujar Menkeu.
Pengendalian perubahan iklim membutuhkan dukungan dan komitmen yang kuat. Kesungguhan dan keyakinan bersama untuk mampu melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi kunci utama keberhasilan upaya global ini. (TS)