Suatu hari, di tahun 1979, aku lupa tepatnya, ibuku Nurlem, sedang bersamaku menonton TV di ruang makan rumah kami di bilangan Utan Kayu, Jakarta Timur. Saat itu dr. Rosita Noer adalah bintang yang sedang menjadi sorotan di media-media Indonesia, sebagai generasi muda masa depan.
Aku jadi teringat, saat di Rumah Tahanan Militer POM ABRI Jln. Jawa Bandung, setahun lalu. Seorang tahanan yang menjadi pelanggan tahanan militer, Bapak Nafsirin Hadi, ketika melihat Rosita di TV, sempat memuji Rosita Noer sebagai gadis muda cantik berbakat pemimpin. “Dia harapan Indonesia nendatang.” cetusnya tanpa sebab. Karena tak ada yang bertanya dan berkomentar sebelumnya. Tiba-tiba saja komentar itu keluar dari bibir pak Nafsirin. Kemudian, tanpa ba bi bu pula, secara berkelakar pak Nafsirin menjodohkanku dengan Rosita Noer. Tentu saja jodohan anak bawang. Pak Nafsirin menjodohkan hanya karena aku dan Rosita, sama-sama orang Minang. Entah dari siapa pula pak Nafsirin tahu bahwa Rosita Noer adalah orang Minang. Aku sendiri saat itu tidak tahu, Rosita Noer sukunya apa.
Perlu diketahui, bahwa pak Nafsirin Hadi adalah pelaku penggeranatan (setidaknya begitulah pengakuannya) terhadap Bung Karno pada Peristiwa Cikini. Teman-temanku eksponen 77/78 Bandung-Bogor, pasti ingat pada pak Nafsirin Hadi, idola kami saat itu karena keberaniannya untuk menghadapi penjara dengan tegar. Ia pertama kali dipenjara saat tertangkap pada Peristiwa Cikini yang gagal, dalam rencana pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Dan ini, seingatku adalah kali ketiga, beliau dituduh makar terhadap pemerintah. Bersama kami, saat itu juga ditahan Dodo, yaitu putra Pemimpin NII Kartosuwiryo dan seorang fundamentalis Islam dari Cianjur yang aku lupa namanya. Itu semua kisah satu tahun yang lalu.
Saat itu, di tahun 1979, saat aku dan ibuku menonton TV bersama, muncul berita tentang Rosita muda yang cantik, anggun dan berkharisma. Aku lupa berita tentang apa persisnya. Tiba-tiba saja ibuku setengah berteriak berucap : “Itu Ita…!”
Aku terkejut. “Ita siapa Ma?”
“Rosita!” jawabnya mantap.
Aku bingung.
“Memang mama kenal dengannya?”
“Ya kenallah. Kalau memang Ita” jawabnya lagi.
“Namanya memang Rosita, tapi kan banyak orang bernama Rosita?” sanggahku.
“Ya, tapi dia pasti Ita!”
“Mama yang baiiik…, belum tentu juga nama panggilannya Ita?” bantahku lagi.
“Bisa saja Ros” sambungku. Nama Ros memang nama populer di ranah Minang. Bahkan tetangga belakang rumah kami di kampung, anaknya bernama Ros. Aku memanggilnya tek Ros.
“Perasaan mama itu Ita”
“Mama kenal di mana?” tanyaku penasaran.
Aku lihat mata ibuku mulai berlinang. Aku mulai percaya. Atau terpaksa percaya, karena tak mau menyakiti hati ibuku yang kucintai.
“Mama kenapa sih?”
Dia masih diam, seakan sedang mengenang sesuatu. Cukup lama momen ini, aku pun ikut diam.
“Mama yakin itu Ita!” ucapnya lagi, sepertinya ia berbicara kepada dirinya sendiri. Aku diam saja. Kulihat air mata ibuku semakin menggenang dan mulai mengalir ke pipinya. Aku tetap diam, berniat tak mengganggu kenangan yang sedang dinikmatinya.
Ibuku mulai bercerita.
“Saat itu, di tahun-tahun perjuangan kita melawan Belanda, datang serombongan tentara RI (mungkin lebih tepat pejuang-penulis) ke rumah kita di Balaitalang. Mak tuo dan datuk menyambut mereka dan mempersilahkan rombongan itu beristirahat. Pimpinan rombongan, Mayor Tonton, beristirahat di rumah tetangga, di belakang rumah kita. Rupanya Mayor Tonton adalah Kepala Regu Pengawal Presiden PDRI, Mr. Syafruddin Prawiranegara, yang dipersilahkan datuk untuk menginap di kamar depan rumah kita.” Ibuku berhenti sejenak untuk kemudian melanjutkan.
“Tampaknya Mayor Tonton memilih rumah kita sebagai Markas PDRI dalam perjalanan pengungsian, karena saran Datuk kamu, Kapten Suhaili, yang dalam perlawanan melawan Jepang dulu, sering menggunakan rumah kita itu sebagai Markas Pejuang RI (nenekku adalah kakak dari Kapten Suhaili-penulis). Bersama Mayor Tonton, mama sudah melihat ada gadis kecil, mungkin umur 1 atau 2 tahun, selalu melekat di tubuh Mayor Tonton. Mama merasa, gadis kecil itu putri Mayor Tonton.”
Ibuku diam lagi sejenak.
“Ternyata benar.” diam lagi. “Keesokan harinya, saat Mayor Tonton mengadakan rapat di atas rumah kita bersama jajaran Kabinet Darurat yang entah siapa saja namanya, mama gak tahu, gadis kecil itu diserahkan kepada mama untuk menemaninya, tepatnya mengasuhnya.” diam lagi.
“Tentu saja mama senang dipercaya mengasuh anak orang penting yang cantik dan baik.” sambung ibuku.
Aku mendengarkan dengan seksama.
“Sebetulnya tugas mama adalah memasak untuk semua pejuang yang menginap itu. Tetapi berhubung perintah komandan untuk mengasuh anaknya, ya mama senang saja. Lagipula mama dibebaskan dari pekerjaan memasak atau mencuci piring yang menurut mama menguntungkan, karena bisa bebas bermain bersama Ita kecil.”
“Alhamdulillah…” ucap ibuku lagi, tanpa disadarinya.
“Rasanya sekitar 1 minggu, rombongan pak Syafrudin menginap di rumah kita. Banyak tentara kita yang bolak-balik ke rumah, entah itu dari hilir ataupun dari mudik yang menghadap pada pak Syafruddin untuk melapor. Pokoknya kami semua saat itu sibuk melayani rombongan itu, yang belakangan baru mama sadari bahwa kami semua sesungguhnya melayani suatu “birokrasi pemerintahan” yang sedang mengungsi. Akibat dari itu semua, setelah kondisi aman, mama dan beberapa orang kampung kita mendapat penghargaan sebagai Veteran RI. Dan kami semua menikmati tunjangan veteran sampai saat ini.” kata ibuku dengan bangga dan kebanggaan itu turut merasuki jiwaku.
Menurut ibuku, Rosita Noer lahir di wilayah kampung kami, di Danguang-Danguang, 1 km dari rumah gedung kami itu. Ibunya meninggal dunia saat melahirkannya. Ayahnya bernama Mayor Tonton. Beliau adalah Komandan Pengawal Presiden Syafruddin Prawiranegara, saat Presiden Syafruddin menghindar dari penangkapan Belanda dan lari ke Koto Tinggi yang kemudian menjadi Ibukota Pemerintahan Darurat RI (PDRI). Hanya itu yang ibuku ketahui.
Saat itu Rosita Noer masih berumur antara 1 atau 2 tahun. Masih sangat kecil, tapi menurut ibuku, sudah tampak bijak. Bijak untuk anak, dalam bahasa Minang lebih mengandung arti, “pintar”. Setelah kira-kira 1 minggu Presiden Syafruddin menginap di rumah kakek/nenek sy (kini bernama Jln. Raya Tan Malaka km. 15), Presiden Syafruddin pun melanjutkan perjalanannya ke arah Suliki utk menuju Koto Tinggi. Dulu Pandam Gadang, yang kini masuk Kecamatan Gunung Mas (Omeh) di wilayah Koto Tinggi, adalah masuk Kecamatan Suliki, sebelum pemekaran. Pandam Gadang adalah tempat kelahiran Tan Malaka (Pahlawan Nasional) dan Koto Tinggi adalah ujung terakhir Jln. Raya Tan Malaka yg panjangnya mendekati 50 km dari ujung satunya yg dimulai dari Kota Payakumbuh. Mungkin Jln. Raya Tan Malaka adalah jalan raya terpanjang di Indonesia.
Rosita Noer, saat Mayor Tonton bertugas menjaga Presiden Syafruddin, berada dlm asuhan ibuku, Nurlem, yg sebenarnya petugas Regu Masak Pejuang RI di Desa Balaitalang. Mungkin memang takdir, di era 60-an aku ternyata berada di sekolah SR yg sama dengan Rosita Noer (sekarang disebut SD), yaitu SR Percobaan Cilacap, Menteng. Tapi beliau lebih dulu 4 tahun dariku, sehingga saat itu aku tak mengenalnya. Aku hanya mengenalnya melalui berita2 tentang dia, yang banyak bertebaran di media. Dan saat itu aku belum tahu bahwa kami satu sekolah di Sekolah Dasar yang sebelumnya bernama Sekolah Rakyat itu.
Setelah ibuku bercerita dengan mata berlinang, aku mulai sungguh-sungguh mempercayai keyakinannya, bahwa Rosita Noer adalah Ita yang memang beliau maksud. Lalu ibuku meminta aku untuk mencari alamat Rosita dan memintaku untuk menanyakan kepada Rosita, apakah dia adalah Ita putri Mayor Tonton. Akupun mulai menghubungi beberapa teman yang mungkin mengetahui alamat Rosita Noer. Aku lupa dapat dari siapa, tapi aku mendapatkannya. Mungkin juga dari sahabatku almarhum Farid Rasyid Faqih, yang bercerita bahwa saat ia bersama-sama teman-teman aktivis UI dan ITB membentuk DPRS di tahun 1977, dan saat dikejar-kejar ABRI, mereka sempat menetap beberapa hari di rumah uni Ita, itu panggilan teman-teman terhadap Rosita Noer. Nah… setidaknya panggilannya sama dengan panggilan yang digunakan ibuku, Ita…
Begitulah, setelah mendapatkan alamatnya, aku menulis surat kepada uni Ita sesuai permintaan ibuku. Tapi gayung tak bersambut, dan waktu pun menghapus ingatan terhadap Rosita Noer, sampai ibuku berpulang di tahun 2003. Penasaran itu terwariskan kepadaku. Tapi aku ikhlas, bahkan kuanggap tantangan. Sementara karier Rosita Noer semakin berkibar di Komnas HAM, TGPF Peristiwa Mei 1998, Ikatan Alumni Lemhanas dan Mastel (Masyarakat Telekomunikasi) serta lainnya.
Kira-kira di tahun 2012, seorang teman sesama alumni F IPB dari Medan yang bekerja di PTPN 2, berkunjung ke rumahku saat itu, di Komplek Bulog Jatiwarna. Ketika itu aku masih menjabat Komisaris Independen di PTPN 1, Langsa, Aceh. Nama temanku Irwan Saleh. Dia datang memperkenalkan sepupunya, Achmad Ismail atau Ima, mantan Ketua DM UI setelah sobatku, Biner Tobing lengser. Dari merekalah harapan bertemu dengan Rosita Noer tumbuh kembali. Meski saat itu ibuku telah almarhum, aku masih penasaran. Kenapa muncul harapan baru? Ternyata Irwan dan Ima adalah saudara sepupu Rosita Noer. Masya Allah, kebetulan yang sempurna.
Tetapi begitulah takdir, jarang bekerja sesuai keinginan kita. Meski aku telah bertitip salam untuk Rosita Noer kepada mereka berdua, Irwan maupun Ima, tanggapan tak pernah kunjung datang. Aku pun pasrah, biarlah pertanyaan ibuku menjadi tanya tanpa jawab, pikirku. Toh hidup tetap berlanjut. Dua kesempatan berlalu sia-sia.
Aku lupa tepatnya, mungkin sekitar tahun 2015, aku diundang teman-teman sekelas waktu di SR, untuk menghadiri re-uni kelas di Pacific Place, di kawasan Sudirman. Akupun datang bersama anakku terkecil, Ledi Andamdewi, menghadiri re-uni kelas tersebut. Dari situlah kesempatan bertemu Rosita Noer membuncah kembali. Kenapa? Dari pertemuan teman-teman SR Cilacap itulah, aku diajak masuk WAG Alutji (Alumni Tjilatjap), tempat bercengkerama alumnus SR Percobaan Cilacap, Menteng.
Sungguh tak dinyana, dari dalam grup itu aku baru mengetahui bahwa Rosita Noer ternyata juga anggota WAG Alutji, dari WAG itulah aku mengetahui bahwa aku pernah satu sekolah dengannya. Pucuk dicinta ulam tiba. Setidaknya si Pungguk ini bisa kembali merindukan Bulan yang sudah di depan mata, tidak lagi jauh di luar angkasa. Terima kasih ya Allah, semoga penasaranku dan mama almarhum, bisa terlampiaskan. Aku pun mulai merancang interaksi.
Kali pertama, ku coba berinteraksi dalam grup. Kuperkenalkan namaku Indra Adil dan bertanya apakah kak Ita berasal dari Danguang-Danguang Payakumbuah? Tak ada reaksi atau jawaban. Terus terang saja aku kecewa. Sempat terlintas, ini pasti akibat gaya anak Menteng, maklum murid-murid SR Percobaan Cilacap itu memang didominasi anak Menteng, karena letaknya di wilayah Menteng dan persis berseberangan dengan Kantor Pusat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Biasa, anak Menteng, mungkin sampai saat ini, memiliki “pride” atau kebanggaan gue anak Menteng. Elu emang dari mane? Tentu saja anak Utan Kayu, bertolak belakang dengan anak Menteng…? ðŸ¤
Tapi aku tak putus asa. Maklum, aku ditempa kecuali sebagai Pramuka, juga sebagai aktivis mahasiswa dan preman. Aku akan datang pada Re-uni Akbar yang pasti akan diadakan pada tahun-tahun mendatang, pikirku. Dengan sabar aku menunggu. Benar saja, kalau tak salah di tahun 2018, Pengurus Alumni Cilacap mengadakan Re-uni Tatap Muka di Hotel Amarosa, di kawasan Jln. Pangeran Antasari, Cipete. Aku hadir bersama istriku, tapi Rosita tak hadir. Kembali kekecewaan menggelayut. Kuhibur diriku, mungkin kak Ita memang sibuk, atau sakit. Tapi aku tak berharap dia sakit.
Akhirnya kuberanikan japri untuk berkenalan langsung dengannya. Terus terang saja, aku tidak pede. Alhamdulillah… dia balas japrianku. Setelah satu dua kali basa-basi, aku masuk ke persoalan pokok, apa dia putri Mayor Tonton? Dia menjawab ya. Masya Allah… terima kasih Allah, penasaranku terpuaskan. Lalu mulai aku lebih pede, apa dia ingat di mana ia dilahirkan. Ia jawab di salah satu desa di Payakumbuh dalam masa-masa perjuangan melawan penjajah Belanda, begitu kata ayahnya. Meski dalam catatan pribadinya, tempat kelahirannya tertulis, Padang. Firm…! Tak diragukan lagi, ibuku 100 % benar! Tanpa terasa air mataku menggenang. Begitupun saat aku menulis ini.
Tapi Rosita menambahkan bahwa ia tidak ingat sama sekali masa-masa itu karena masih sangat kecil. Jadi ia juga tak ingat pada ibuku, Nurlem. Ia tak merasa punya kenangan pada masa-masa perjalanannya ke Koto Tinggi, perjalanan sejarah yang terlupakan. Karena itu pula, ia selama ini tak tahu harus merespon apa terhadap pertanyaan-pertanyaanku dalam surat maupun WA. Ia tahu bahwa ibunya meninggal saat melahirkannya, dari ayahnya. Selebihnya yang dia ingat adalah masa kecil dengan keluarga Irwan Saleh di Bukittinggi dan keluarga Ima di Kalimantan. Dan tentu saja masa kecil yang ceria semasa di SR Cilacap.
Aku betul-betul puas mendapatkan informasi langsung tentang apa yang ku ingin tahu, dari yang bersangkutan. Semoga ibuku di alam sana mengetahui prestasi anaknya ini. Sukses mendapatkan informasi yang sangat diinginkannya. Tidak salah getaran hati yang membisikkannya siapa Rosita Noer. Padahal saat itu terjadi, ibuku sudah 30 tahun tak mengetahui berita tentang anak asuh 1 minggunya. Ya, hanya 1 minggu, tapi berkesan sangat dalam bagi ibuku.
Begitulah, akhirnya obsesi berkenalan dengan idola ibuku ini kesampaian. Idola yang tanpa kusadari menjadi idolaku juga. Seorang pejuang yang lahir dalam perjalanan panjang ayahnya dalam mempertahankan kesatuan Republik Indonesia. Juga ikut dalam perjalanan panjang Birokrasi Republik Darurat RI dari Bukittinggi ke Koto Tinggi untuk memperlihatkan kepada dunia Internasional bahwa Negara Republik Indonesia masih eksis. Tak salah lagi, Rosita Noer memang memiliki darah pejuang, bukan saja dari ayahnya, Mayor Tonton, tetapi juga dari kakeknya, Tan Malaka. Pamannya, Bagindo Hadjrad Noer, adik dari Mayor Tonton (Bagindo Sofyan Noer), yang menjadi Pengawal Pribadi Tan Malaka dalam masa-masa perjuangannya, adalah kemenakan Tan Malaka sendiri. Artinya, nenek Rosita Noer beradik kakak dengan Tan Malaka.
Terakhir aku berkomunikasi dengan uni Ita, adalah saat meninggalnya sepupu kesayangannya, Ima, pada 23 Januari yang baru lalu. Kata-kata terakhir yang kuterima melalui komunikasi WA dari uni Rosita Noer adalah : [23/1 19.49] Rosita Noer Alutji: Dear Indra, terima kasih untuk doanya atas kepergian Ima Suryokusumo. Semoga Allah SWT Menempatkannya ditempat terbaik disisi-Nya Aamiin
[23/1 20.31] Rosita Noer Alutji: Aamiin aamiin aamiin
Pergi dengan husnul khotimah semoga segala dosa alm diampuni-Nya.
“Selamat jalan uni yang cantik dan baik. Terlalu banyak amal baik uni kepada keluarga, masyarakat dan bangsa, yang tidak mungkin diabaikan Allah Azza wa Jalla untuk menaruh uni di Syurga Jannah”
(catatan ttg Dr.dr. Rosita Noer)
Oleh : Indra Adil.
Cibubur, 13 Juli 2021.