Koperasi Simpan Pinjam / Koperasi Kredit di Indonesia seringkali mengalami gagal bayar. Kasusnya, selalu anggota yang menyimpan dananya tak kembali. Ketika masalahnya sampai ke pengadilan biasanya anggota tetap saja jadi pihak yang dirugikan.
Sebut saja misalnya kasus Koperasi Maju Bersama, Koperasi Pandawa, Koperasi Langit Biru, Koperasi Cipaganti dan sederet kasus besar lainya yang telah membuat ribuan anggotanya harus gigit jari. Kasus yang sedang ramai di media saat ini misalnya Koperasi Sejahtera Bersama (KSB), Koperasi Indosurya.
Padahal, mereka yang menyimpan adalah masyarakat kecil yang biasanya sumber dananya berasal dari usahanya bertahun tahun untuk mengumpulkan tabungan tersebut dan bahkan ada yang sengaja melakukan mobilisasi dana dari sanak familinya karena distimulasi kompensasi berupa fee tertentu yang diberikan kepada mereka.
Koperasi gagal bayar yang terjadi berulang ulang itu sebetulnya sebuah fenomena gunung es. Kasus kasus dengan korban dengan jumlah dana dan anggota lebih kecil sebetulnya terlalu sering terjadi di berbagai daerah.
Kenapa Gagal?
Merebaknya koperasi gagal bayar sebab utamanya karena tidak adanya Lembaga Penjamin Simpanan ( LPS ) untuk koperasi seperti yang dibentuk oleh pemerintah untuk bank.
Tidak adanya penjaminan simpanan ini mendorong pelaku koperasi akhirnya terpaksa berkompetisi dengan bank dengan cara memberikan iming iming tingkat bunga simpanan yang tinggi kepada calon anggotanya.
Tingkat suku bunga simpanan koperasi yang tinggi tersebut menyebabkan tingkat “spread” atau selisih bunga simpanan dan pinjaman koperasi menjadi tidak kompetitif jika dibandingkan dengan bank.
Akhirnya, kondisi yang ada mendorong munculnya spekulasi tinggi manajemen koperasi untuk mendorong produktifitas pengelolaan dana ke portofolio yang beresiko tinggi tanpa sepengetahuan anggota. Ketika portofolionya gagal, maka merembet kepada masalah likuiditas koperasi yang jeblok.
Ketika likuiditas koperasi tak lagi dapat melayani penarikan dana anggota akhirnya memunculkan ketidakpercayaan anggota koperasi dan berujung pada munculnya “rush” atau penarikan dana besar besar ke koperasi.
Pihak manajemen koperasi yang tidak pernah melibatkan dan memberikan pemahaman tata kelola koperasi kepada anggotanya secara baik akhirnya berujung pada munculnya konflik antara manajemen koperasi dan anggotanya. Bahkan manajemen dalam hal ini pengurus dan karyawan bertindak seperti pihak yang lebih berkuasa ketimbang anggotanya.
Anggota koperasi yang tidak memahami masalah keamanan dana dan juga pengetahuan koperasinya yang rendah dan hanya tergiur oleh tingkat pengembalian yang tinggi akhirnya terjebak menjadi korban koperasi gagal bayar.
Siapa Yang Bertanggung Jawab?
Fenomena koperasi gagal bayar itu memang tidak berdiri sendiri sebagai kesalahan internal manajemen koperasi sebagaimana diuraikan di atas. Faktor eksternalnya juga disebabkan tindakan diskriminatif kebijakan pemerintah terhadap koperasi dibandingkan dengan perlakuanya terhadap bank dan juga pengabaian tugas pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah.
Berbeda dengan apabila masyarakat menyimpan dananya di bank. Bank berikan jaminan pengembalian dana nasabahnya melalui Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dengan batasan dana simpananya hingga 2 milyard rupiah apabila bank tersebut bangkrut sekalipun.
Tak hanya penjaminan simpanan, tapi pemerintah bertindak tidak adil terhadap koperasi dengan berikan fasilitas penyaluran kredit program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diberikan subsidi bunga, jaminan apabila terjadi kemacetan oleh pemerintah dalam bentuk dana penempatan yang dimasukkan ke rekening Jamkrindo dan Askrindo.
Selain itu bank masih mendapat fasilitas berlebih lainya seperti modal penyertaan dan dana penempatan langsung untuk mempertahankan likuiditas bank. Bahkan ketika bangkrut pun masih dimungkinkan untuk mendapatkan dana talangan (bailout) seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dikemplang dan Bank Century yang hingga saat ini belum jelas kasusnya.
Jadi, kenapa koperasi kemudian begitu mudah mengalami gagal bayar pada intinya karena pemerintah itu telah banyak berikan fasilitas dukungan kepada bank dan tidak kepada koperasi. Koperasi dilemahkan dengan perlakuan yang tidak adil dari kebijakan pemerintah.
Selain itu, dalam berbagai kasus yang muncul pada koperasi gagal bayar yang cukup besar anehnya seringkali pemerintah baik itu Kementerian Koperasi dan UKM dan dinas koperasi di daerah justru sering memperlihatkan adanya peran sebagai “endorser” bagi koperasi potensi gagal bayar tersebut. Biasanya mereka sering mendapat kunjungan pejabat dan mendapat predikat sebagai koperasi yang baik.
Masyarakat akhirnya berbondong bondong menyimpan dananya di koperasi karena gimmick yang dimunculkan. Pemerintah dalam hal ini utamanya Kementerian Koperasi dan UKM seringkali abaikan fungsinya yang telah memiliki fungsi pengawasan koperasi. Koperasi sebagaimana prinsip prinsipnya direkoginisi dalam Undang Undang Perkoperasian tidak dijadikan patokan untuk lakukan pengawasan dan tindakan preventifnya.
Menurut peraturan perundangan yang berlaku, tugas pengawasan koperasi itu ada di dua lembaga. Pertama adalah Kementerian Koperasi dan UKM dan yang kedua adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tapi dua lembaga ini ketika terjadi kasus isinya justru saling lempar tanggungjawab dan bukanya bersinergi memperbaiki fungsi pengawasan dan kembangkan tindakan preventif.
Dalam kasus koperasi gagal bayar yang sudah tidak dapat dimoderasi dan tinbulkan konflik manajemen dengan anggotanya, maka pihak yang paling bertanggungjawab pertama adalah Kementerian Koperasi dan UKM. Mustinya atas nama menjaga kepentingan publik, menteri koperasi mengambil tindakan tegas dengan melakukan tindakan pengamanan dengan menunjuk manajemen “care taker” demi pengaturan skema penyelesaianya. Bukan tidak mungkin justru dengan kehadiran pemerintah sebagai pihak yang neteal tersebut memungkinkan terjadinya konsolidiasi dan perbaikan manajemen.
Masalahnya sekarang, Menteri Koperasi dan UKM serta jajaranya itu sedang berkepentingan untuk menjaga citra koperasi atau bekerja untuk kepentingan yang lain? Sebab baru baru ini di media Menteri Koperasi dan Pejabatnya justru berikan dukungan secara membabi buta kepada pembentukan Holding Ultra Mikro dari Pembankkan yang jelas membunuh koperasi.
Jakarta, 11 Januari 2022
Penulis : Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)