Sepuluh tahun lalu koperasi kita isinya didominasi koperasi papan nama dan abal abal. Jumlahnya sekitar 70 persen dari 212.234 koperasi ( LSP2I, 2012). Sampai hari ini upaya untuk menertibkan koperasi abal abal ini belum ada. Padahal koperasi papan nama dan abal abal inilah yang memperburuk citra koperasi dan prakteknya banyak yang merugikan masyarakat. Â
Menteri Koperasi dan UKM diperintahkan oleh Undang Undang, Peraturan Pemerintah, dan bahkan punya Peraturan Menteri yang mengatur tata cara pembubaranya secara khusus. Tapi sampai hari ini pembubaran koperasi yang kewenanganya ada di tangan Menteri Koperasi dan UKM tidak dilakukan. Belum ada pengumuman di Lembar Berita Negara seperti yang diatur dalam UU Perkoperasian.
Padahal kita tahu, ibarat koperasi itu pohon jati tak akan bertumbuh baik di tengah kerumunan semak belukar yang liar di kanan kirinya. Belum lagi hambatan-hambatan regulasi sektoral dalam bentuk diskriminasi, subordinasi dan bahkan dieliminasi di berbagai undang udang soal ekonomi dan kemasyarakatan.
Untuk kasus diskriminasi sebut saja misalnya UU BUMN yang menyatakan semua BUMN wajib berbadan hukum persero, UU Rumah Sakit Privat wajib badan hukum persero, UU Penanaman Modal yang menyebut investasi asing wajib berbadan hukum persero.
Koperasi adalah badan hukum privat yang diakui negara dan disebut sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi oleh Konstitusi. Namun koperasi seperti sengaja dikeluarkan dari lintas bisnis modern dan dibiarkan kerdil dan ditaruh di buritan.
Itu baru di level regulasi, belum lagi berbagai bentuk diskriminasi lainya dalam kebijakan seperti misalnya yang terpenting adalah usulan pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bagi koperasi karena kontribusi bisnis koperasi di sektor keuangan itu yang dominan.
Usulan masyarakat sejak dua puluh tahun lalu ini sampai hari sekarang hanya jadi wacana semata. Padahal ini sangat penting untuk memberikan rasa aman anggota koperasi dalam menyimpan uangnya di koperasi selain tentu akan berdampak pada daya saing koperasi. Bahkan ketika kasus kasus koperasi gagal bayar menyeruak terus di permukaan pemerintah tetap tak bergeming.
Sudah lingkungan koperasi dibiarkan buruk seperti itu, lalu Kementerian Koperasi dan UKM ini hanya targetkan kenaikan kontribusi koperasi terhadap ekonomi kita atau Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 0.4 persen selama 5 tahun kedepan. Hanya 0,4 persen selama lima tahun dari capaian 5.1 persen pada tahun 2019 dan target 5,5 persen tahun 2024.
Ada satu hal yang mencegangkan, menurut perhitungan seorang peneliti koperasi Prof Johnny W. Situmorang dari Univeristas Indonesia, kontribusi Koperasi terhadap PDB kita tahun 2020 hanya sebesar 0,0038 persen. Ini jelas kondisi yang sangat memprihatinkan di tengah pidato para pejabat yang selalu katakan koperasi adalah sebagai soko guru ekonomi.
Soko guru itu adalah tiang utama, merupakan tiang terbesar. Jangankan sebagai soko guru, sebagai soko pinggiranpun tidak. Kementerian Koperasi dan UKM keberadaanya seperti justru sengaja posisikan agar koperasi tetap ada namun dalam posisi agar hidup segan matipun sungkan. Koperasi seperti sengaja diposisikan sebagai anak bawang dalam segala kebijakan ekonomi.
Keadilan Koperasi
Koperasi adalah merupakan bangun perusahaan yang demokratis, karena setiap pengambilan keputusan perusahaan itu mengandai ada keterlibatan setiap anggotanya dan dijamin menurut undang undang dalam hak satu orang satu suara. Melalui jalan koperasi juga transaksi ekonomi warga itu akan didistribusikan hasilnya secara adil sesuai dengan besaran partisipasinya. Sehingga tidak ada penumpukan pendapatan dan kekayaan pada segelintir orang.
Jika kita komitmen untuk membangun koperasi secara serius maka keadilan ekonomi itu akan tercapai, dan aleniasi terhadap yang lemah tidak terjadi seperti saat ini.
Bahkan sistem koperasi juga diharapkan akan membentuk wajah pembangunan kita menjadi ekologis. Profesor Murray Bookhin, ekolog ini katakan bahwa jantung dari krisis ekologi adalah karena orang mengekploitasi orang lain dengan instrumen modal. Sedangkan koperasi sebagai bangun perusahaan demokratis kita tahu, manusia di tempatkan supreme atau utama di atas keberadaan modal yang material.
Dikarenakan kita abaikan koperasi dan hanya berikan dukungan terhadap korporasi kapitalis maka kondisi kesenjangan ekonomi kita juga terlihat sangat buruk. Bahkan jika dibandingkan dengan rata rata dunia sekalipun.
Laporan Suissie Credit tahun 2020 yang dirilis tahun 2021 menyatakan bahwa Rasio Gini Kekayaan kita adalah sebesar 0,77 dari skala 0 hingga 1. Angka 0 artinya setiap warga kekayaannya sama dan jika angka 1 berarti seluruh kekayaan hanya ada di tangan satu orang. Angka 0.77 ini tentu sangat buruk sekali.
Dilaporkan lebih lanjut, dari 83 persen orang dewasa Indonesia, kekayaanya hanya di bawah 150 juta. Sementara rata rata dunia adalah 58 persen. Sementara yang kekayaannya di atas 1,5 milyard hanya 1.1 persen. Sementara rata rata dunia adalah 10.6 persen.
Kondisi ekonomi kita ini kesenjangannya sudah sangat keterlaluan jika dibandingkan dengan rata rata dunia sekalipun. Bahkan menurut laporan Oxfarm tahun 2020 kekayaan 4 anggota keluarga di Indonesia itu sudah sama dengan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin!.
Kebijakan ekonomi kita terlihat menjauh dari koperasi dan tentu demokrasi ekonomi. Sebagai jalan moderatif, demokrasi ekonomi dengan sistem pembagian saham bagi buruh (employee share ownership plan-ESOP ) pun kita tidak pernah wacanakan apalagi serius untuk membangun koperasi. Bahkan praktek demokrasi ekonomi dan koperasi kita jauh lebih buruk dari negara yang sering kita tuduh sebagai jantungnya kapitalis, Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat misalnya, selain telah diterapkan UU pembagian saham sejak lebih setengah abad silam, koperasinya juga menunjukkan signifikansi nyata dalam kelola terutama ekonomi domestik mereka. Disana satu dari dua orang penduduknya adalah anggota koperasi. Ekonomi domestik mereka terutama pangan dan energi dikelola dengan basis koperasi agar rakyat seluruhnya ikut menikmati hasilnya.
Sebut saja misalnya, petani jeruk mereka di California Utara, Amerika Serikat mereka memiliki perusahaan jus yang mendunia yang bernama Sunkist, Koperasi Sunkist Cooperative Growers. Listrik mereka tidak dimiliki dan dimonopoli oleh negara melainkan oleh pelanggannya dalam koperasi National Rural Elextricity Cooperative Association ( NRECA) yang beroperasi di seluruh negara bagian. Jaringan rumah sakit terbesar mereka di kota Washington adalah Koperasi Rumah sakit Group Health Cooperative ( GHC) dan lain sebagainya. Belum lagi dibidang pertanian, peternakan, perdagangan, keuangan dan lain sebagainya.
Amerika Serikat menyumbang 26 persen dari total 300 koperasi besar dunia yang total kekayaannya sama dengan PDB dari Negara Spanyol. Namun, menurut laporan rilis International Cooperative Alliance ( ICA) tahun 2021 tak satupun yang berasal dari Indonesia. Kita kalah dengan negara tetangga kita Singapura yang berkontribusi 2 koperasi di sektor ritel dan asuransi, yaitu NTUC Fair Price dan NTUC Income.
Koperasi sebagai soko guru ekonomi adalah sistem ekonomi yang berikan partisipasi rakyat untuk ikut menjadi pemilik dari perusahaan perusahaan besar. Tapi celakanya dari 118 perusahaan BUMN dan kurang lebih 800 anak perusahaan BUMN kita itu ternyata hanya dimonopoli oleh negara dan bahkan saham saham publiknya dikuasai asing.
Sebut misalnya BRI yang saham publiknya 83 persen dimiliki asing. Padahal, praktek perbankkan di dunia ini ada yang telah membuktikan bahwa nasabah menjadi pemilik dari perusahaan, sebut misalnya adalah Koperasi Kredit Bank Desjardins yang dimiliki oleh jutaan anggotanya dan asetnya 4 kali lipat dari BRI. Koperasi Desjardin ini pernah jadi bank terbaik Canada atau Bank Of The Year 2010. Di Perancis juga Koperasi Kredit Bank Populaier juga menjadi Bank of The Year tahun yang sama. Di Jerman bahkan struktur keuanganya dikuasai koperasi hingga 74 persennya.
Kenapa BUMN, dan BUMD kita tidak ada yang dimiliki langsung oleh rakyat? Karena UU BUMN dan BUMD kita telah diskriminasi koperasi sebagai pilihan badan hukum. Di UU BUMN kita BUMN itu ” wajib badan hukum Perseroan”. Kenapa kalau koperasi itu kita sebut sebagai soko guru dan juga sistem ekonomi kita itu adalah demokrasi ekonomi tidak justru harusnya ” BUMN wajib berbadan Hukum Koperasi? “.
Baiklah, mungkin memang orientasi kita dan juga pemerintah kita memang sengaja untuk tidak membangun ekonomi rakyat. Tapi kenapa kita sebagai rakyat Indonesia juga hanya diam? Jangan jangan kita memang hanya suka slogan, bukan dalam tindakan. Koperasi sengaja diglorifikasi, tapi tidak dalam modus operandi.
Penulis : Suroto, Ketua AKSES ( Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis) dan CEO INKUR Federation (Induk Koperasi Usaha Rakyat).