Damar Banten - Budaya patriarki menjadi suatu bagian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pada pelbagai pembahasan mengenai gender, wacana tentang patriarki menjadi pokok penting dalam pembahasan dikalangan akademisi dan aktivis gender pada kajian-kajian gender dan feminisme. Tak jarang dijumpai konsep patriarki menjadi perdebatan yang sering terjadi pada pihak yang pro terhadap patriarki dan kontra terhadap patriarki. Pihak yang pro patriarki merupakan mereka yang nyaman dengan segala ‘surplus’ yang diberikan oleh patriarki dalam artian kehidupan mereka. ‘surplus’ itu bisa berbagai macam ciri, mulai dari kekuasaan, peran, bahkan kontruksi hukum, serta norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Kubu kontra patriarki menganggap mereka lah yang dirugikan dengan adanya budaya tersebut, Kerugian yang dimaksud bisa berupa kekerasan (fisik,budaya,ekomoni.dll), penindasan, hingga diskriminasi. Pendukung patriarki lebih banyak didominasi oleh kaum laki-laki dari pada perempuan, sebaliknya juga yang kontra terhadap patriarki lebih banyak perempuan dari pada laki-laki.
Patriarki merupakan sebuah sistem di mana adanya relasi kuasa yang timpang, antara yang mendominasi dan yang didominasi—di mana yang mendominasi mengontrol secara penuh pihak yang didominasi. Hal ini Biasanya berkenaan dengan ekspresi gender di mana yang mendominasi merupakan kaum-kaum maskulin (superior), sedangkan yang didominasi adalah kaum-kaum feminim (inferior). Jika kita mengulas mengenai sejarah penindasan masyarakat menurut Fredrick Angel dalam bukunya 'Asal Usul keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara', maka dapat dilihat bahwasanya budaya patriarki ini muncul ketika masa peralihan—yaitu peralihan ke zaman paleolitikum dan zaman logam, yang ditandai dari adanya aktivitas bercocok tanaman holtikultura yang dilakukan oleh perempuan, hingga kemudian domestifikasi hewan buruan yang menjadi ternak, sampai ditemukannya baja/logam, serta api yang dibuat menjadi bajak sehingga dapat mengolah lahan tanah menjadi lebih luas.
Pembajakan tersebut dilakukan oleh kaum laki-laki, akibat dari kaum perempuan yang sudah tidak bisa lagi mengkombinasikan pekerjaan memelihara anak dengan produksi pertanian. Penyebab lain yang melatarbelakangi mengapa perempuan tidak lagi membajak, karena proses evolusi tubuh perempuan yang berubah pada zaman holtikultura. pembajakan yang mendapatkan hasil banyak oleh kaum laki-laki, mengakibatkan terjadi akumulasi modal serta menyebabkan surplus pada kaum laki-laki, sehinga munculah kepemilikan pribadi. Surplus tersebut lah yang memulai adanya budaya patriarki, di mana perempuan mulai didomestifikasikan dan hanya difungsikan sebagai alat reproduksi untuk menghasilkan generasi. Penghasilan terhadap generasi inilah yang nantinya akan dijadikan sebagai tenaga kerja. Di sisilain perempuan menjadi penting sebagai alat perdagangan karena memiliki rahim untuk memproduksi anak, akibatnya perempuan menjadi alat perdagangan. Oleh sebab itu maka munculah mekanisme pasar yaitu sistem jual beli perempuan yang kemudian disebut mahar atau mas kawin. Hal diatas lah yang pada akhir melatarbelakangi muncul patriarki di masyarkat. Sistem patriarki ini kemudian diadopsi dan dipraktikkan secara turun temurun hingga hari ini dikalangan masyarakat.
Suatu sistem terlahir akibat kognitif manusia yang beragam, keberhasilan suatu sistem yang diterapkan pada kehidupan masyarakat, diakibatkan karena adanya relasi kekuasaan serta suara mayoritas. Mereka yang memiliki relasi kuasa dan mayoritas tadi akan merasa mendapat keuntungan dari sistem tersebut. Patriarki memberikan keuntungan kepada kaum laki-laki sebagai individu maskulin di dalam keluarga, misalnya saja si Ayah menjadi kepala rumah tangga, sehingga menjadi pemegang kekuasaan absolut dalam keluarga. Dalam hal pemerintahan juga misalnya, laki-laki akan lebih dipercaya dalam memimpin karena dalam sistem patriarki laki-laki maskulin lah yang menjadi jenis kelamin superior. dalam hal beribadah pun laki-laki lah yang akan ditunjuk menjadi imam yang memimpin ibadah, dll. Bagi kaum perempuan patriarki memiliki keuntungan sebagai rasa kenyamanan mereka yang didapatkan dari kaum laki-laki. Misalnya saja di dalam masyarkat banyak perempuan menggunakan sistem patriarki sebagai cara perlindungan diri, Contohnya jika ingin memanjat pohon besar, maka kaum perempuan akan mengatakan kepada kaum laki-laki agar memanjat karena dia hanya perempuan yang harus dilindungi, kemudian dalam hal pemenuhan ekomoni dalam keluarga, sering sekali kaum perempuan akan menyalahkan kaum laki-laki ketika tidak mampu memenuhi kecukupan hidup dan ekonomi keluarga, akibatnya sistem patriarki mengkontruksikan laki-laki sebagai penopang ekomoni keluarga.
Tidak hanya kaum perempuan, pada budaya patriarki, kaum laki-laki juga merasa dirugikan misalnya : ketika seorang laki-laki tidak mempunyai kesiapan sebagai imam dalam keluarga mungkin akibat dari faktor psikologis, maka si laki-laki tersebut akan dikucilkan. Laki-laki yang biasanya tidak bisa mengekspresikan gendernya menjadi maskulin, akan menjadi bahan olok-olokan serta mendapat soroton dari masyarkat yang mengatakan banci, bencong, cemen, dll, bahkan laki-laki yang memiliki sifat femimin sangat rentan menjadi korban kekerasan dan diskriminasi, karena patriarki mengharuskan laki-laki untuk maskulin dan kuat. Kerugian patriarki bagi kaum perempuan juga tidak kalah banyaknya, di dalam keluarga yang menganut patrilineal, biasanya akan mengutamakan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan untuk penerus marga. Sama halnya dengan pembagian harta warisan, kaum perempuan akan selalu mendapat bagian yang paling sedikit dibandingkan kaum laki-laki. kepemilikan atas perempuan (perempuan dijadikan hak milik laki-laki) dengan cara pembelian perempuan melalui mas kawin juga, membuat perempuan hanya sekedar dijadikan objek (barang).
Tubuh perempuan biasanya dipandang sebagai makanan empuk oleh kaum laki-laki. Secara politik, tubuh perempuan biasanya selalu terkekang kebebasannya dalam hal berbusana, stigma masyarakat selalu menganggap kaum perempuan adalah sumber dosa dan maksiat, karena dianggap tubuh yang dimilikinya seakan dapat memunculkan tindakan atas kriminal, seperti pelecehan seksual, pemerkosanaan, bahkan dalam sistem patriarki perempuan menjadi kelas nomor dua dalam masyarakat.
Menghilangkan sistem serta budaya patriarki dalam masyarakat, bukanlah suatu hal yang mudah. Budaya patriarki seolah sudah menjadi konsep, acuan, serta indikator pada segala aspek kehidupan masyarkat. Mulai dari agama, hukum, adat istiadat, norma, politik dan lain-lain. Kehadiran negara, pendidikan, serta kesadaran masyarakat, tentu menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan untuk dapat menghilangkan sistem serta budaya patriarki di dalam masyarakat.
Penulis : Ilham Aulia Japra