Dr Bayu Krisnamurthi
Siapa kah kita? Dan jawabannya bukan (hanya) siapa ‘nama’ kita. Pertanyaan itu – sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung – sebenarnya sering kita ajukan. Dan tampaknya tidak ada yang dapat menjawab hal yang sangat mendasar itu kecuali diri kita sendiri.
Nama atau tanggal lahir plus tempat tinggal, seperti yang tertulis di Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Keluarga (KK), memang merupakan identitas administratif dasar. Namun, identitas diri sebenarnya mencakup banyak unsur: tata-nilai, kebiasaan, bentuk fisik, kepribadian, karir, keluarga, organisasi, tujuan hidup, emosi, agama, ketrampilan, pendidikan, prinsip hidup, dan sebagainya. Dan komponen identitas itu dapat berubah dari waktu ke waktu. Bahkan juga dituntut untuk berubah, misalnya, soal kematangan berpikir sejalan dengan usia dan kedewasaan; atau karena menikah, pindah kerja, dan banyak alasan lain.
Carl Jung menyatakan ‘I am not what happened to me, I am what I choose to become’; aku bukan apa yang terjadi padaku, aku adalah apa yang aku pilih untuk menjadi. Tentu, pernyataan Jung, psikolog Swiss yang mengembangkan konsep psikologi analitik dan metode psikoanalisa 100 tahun lalu itu, bukan pernyataan yang bisa dibaca hanya secara tersurat, tetapi harus lebih dalam untuk mendapat makna sebenarnya.
Pernyataan Jung itu pun baru memberi satu dimensi saja dari identitas ‘aku’, yaitu identitas berdasarkan perspektif diri sendiri. Lebih lagi, pernyataan Jung mengacu pada sesuatu yang akan terjadi dimasa depan karena ada proses memilih dan kemudian ‘menjadikan aku’ (nantinya). Hal ini yang disebut, antara lain oleh, Marsshal Goldsmith, pelatih dan penulis kepemimpinan berkebangsaan Amerika, sebagai ‘created identity’.
‘Created identity’ adalah identitas yang kita sendiri ciptakan atau inginkan. Manusia memang satu-satunya mahluk Tuhan yang dilengkapi dengan keinginan, ambisi, kesungguhan dan kemampuan berusaha. Memang ada hal-hal pada diri sendiri yang tidak dapat diubah, tetapi sangat banyak hal yang dapat diubah dengan menggabungkan dua hal: kesabaran memanfaatkan waktu dan keinginan dan kesungguhan melakukannya. Identitas sebagai ahli pertanian atau agribisnis misalnya dapat ‘diciptakan’ (created) melalui pendidikan, keterlibatan, dan kerja keras.
Sebagai padanan ada juga ‘remembered identity’, apa yang kita kenang dan ingat tentang diri kita sendiri dari masa lalu. Kita adalah anaknya ayah ibu kita, atau cucunya kakek nenek kita, menjadi bagian dari komunitas kita, alumni dari SMA kita, dan sebagainya. Tentu identitas ini membentuk kita sekarang, tetapi sering kali apa yang terjadi dan menjadi bagian dari ingatan masa lalu itu tidak lagi relevan dengan kenyataan dan kebutuhan masa kini.
Ada lagi yang dikenal sebagai ‘reflected identity’. Ini adalah apa yang terjadi dimasa lalu dan bagaimana orang lain memandang kita atas masa lalu itu. Apakah orang akan mengingat kita sebagai seseorang yang ramah, penuh toleransi atau pemarah dan mau menang sendiri; sebagai seseorang yang pintar atau seseorang yang tidak dapat diandalkan. Mengingat kita hidup bersama orang lain, persepsi yang timbul dari masa lalu memang dapat mempengaruhi interaksi hari ini. Namun apa yang terjadi dimasa lalu tidak harus menjadi ‘ramalan’ atas siapa kita masa kini dan yang akan datang.
Bentuk identitas lain adalah ‘programmed identity’. Ini adalah identitas kita yang ‘dibentuk’ oleh orang lain. Masyarakat bisa berharap bahkan memaksa, orang tua bisa mendorong dan mendukung, pendidikan bisa membentuk dan memberi pengetahuan, tempat kerja bisa melatih dan menuntut; dan banyak faktor lain yang kesemuanya pada gilirannya dapat ‘membentuk’ perilaku bahkan identitas kita.
Dalam sebuah diskusi tentang memperkuat wawasan kebangsaan, terlontar pertanyaan serupa dengan awal tulisan ini. Untuk bisa memperkuat, harus disepakati dulu siapa kita? Jangan-jangan ‘bangsa Indonesia’ hanya jadi identitas diatas kertas paspor saja.
Ada yang lahir di Indonesia, besar di Indonesia, ber KTP Indonesia, berbahasa Indonesia tetapi sangat sulit melihat baiknya Indonesia dan hampir selalu mengungkap buruknya Indonesia. Sedangkan yang lain, tidak lahir di Indonesia, tinggal tidak di Indonesia, tetapi sangat mencintai Indonesia dan selalu berusaha banyak untuk Indonesia.
Atau yang berada diantaranya, lahir di Indonesia kemudian terpaksa pergi dari Indonesia, menjadi warganegara lain, tetapi tidak pernah putus berusaha memberi dan berbuat untuk Indonesia. Atau yang lahir di Indonesia, tinggal di Indonesia, berjuang dengan cucuran keringat dan kerja keras membuat harum nama Indonesia di panggung dunia, tetapi tetap tidak dihargai dan tidak diakui ke-Indonesia-annya.
Tampaknya ‘identitas’ adalah sesuatu yang perlu terus dicari, ditemukan, dan diperkuat. Berulang-ulang, berkelanjutan dari generasi ke generasi. Seperti halnya pepohonan, selalu perlu ada ‘replanting’, penanaman kembali identitas itu. Mungkin kita perlu belajar dari para ‘bapak-bapak pendiri‘ (founding fathers), bagaimana mereka bisa menjadi ‘programmer-programmer’ hebat yang mampu ‘menggali dan membentuk’ identitas bangsa yang demikian kuat dimasa lalu.
Sebagaimana manusia mendapat anugrah kemampuan untuk berkehendak dan berambisi, manusia juga punya sifat lupa, lalai, tak peduli, dan hanya berpikir jangka pendek. Mungkin termasuk untuk identitasnya sendiri. Semoga kita tetap dapat selalu ‘ingat dan waspada’.
Penulis adalah Dosen IPB, Mantan Wamen Perdag Kabinet SBY-Budiono.