Dalam penelitian penulis tentang perjalanan peranan pemerintah dan terutama dalam pengembangan koperasi di Indonesia jatuh pada satu kesimpulan sederhana : peranan pemerintah bagi gerakan koperasi adalah sebagai creator dan destroyer sekaligus. Sebagai pengkreasi dan sekaligus perusak! (PRISMA, Vol 39, Eds 3, 2020 Hal 66 – 77).
Kondisi ini terjadi hampir sepanjang sejarah perkoperasian Indonesia, dan berlangsung hingga saat ini. Pemerintah masih terus berperan sebagai pencipta program koperasi, menutup aspirasi anggota dengan agenda agenda nasional yang bersifat top-down.
Pemerintah hanya pandai bermain dengan slogan bukan memperbaiki berbagai sumbatan yang menghambat tumbuh dan berkembanganya koperasi.
Seperti saat ini misalnya, Kementerian Koperasi dan UKM masih terus sibuk membentuk tagar #koperasikeren tapi tidakkanya tidak ada yang menunjukkan kekerenan sama sekali bagi koperasi.
Paradigma koperasi bukan diakselerasi melalui perbaikan regulasi yang diskriminatif terhadap koperasi, tapi malahan secara terang terangan turut membunuh koperasi secara langsung dengan memberikan dukungan kepada pembentukkan Holding Ultra Mikro yang jelas menggencet koperasi Simpan Pinjam / Koperasi kredit.
Padahal kita tahu, satu sektor pokok koperasi yang baru hidup di Indonesia adalah usaha simpan pinjam. Kontribusi koperasi Simpan Pinjam ini angkanya kurang lebih 80 persennya dari keseluruhan sektor ekonomi koperasi. Jadi jangan harap koperasi sektor lain akan berkembang karena sektor keuangan itu adalah sebagai sektor pendukung/penyanggah bagi kekuatan sektor riil dari koperasi Indonesia.
Menteri Koperasi dan UKM juga telah gagal untuk memperbaiki ekosistem koperasi. Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang katanya bertujuan untuk ciptakan lapangan kerja itu juga tidak memuat sedikitpun perbaikan bagi lingkungan perkembangan koperasi. Justru dirusak secara lebih fundamental.
Kelemahan UU Perkoperasian yang tidak imperatif tidak terkoreksi. Lalu Undang Undang sektoral yang membuat koperasi kerdil tidak tersentuh sama sekali.
Berlapis lapis produk regulasi yang jelas dan terang hambat terhadap pengembangan koperasi seperti UU BUMN, UU Penanaman Modal, UU Rumah Sakit, UU Perbankkan, dan segudang UU perekonomian lainya tak tersentuh sama sekali. UU Omnibus Law tentang Harmoni Perpajakan Nasional juga tidak menghadirkan keadilan bagi koperasi dan berlalu begitu saja.
Kementerian Koperasi dan UKM justru memasukkan design paradigma lama lebih kuat lagi untuk melegitimasi model pembina(sa) an koperasi. Ingin mengulang kesalahan lama dengan posisikan pemerintah sebagai pembuat proyek bagi pengembangan koperasi yang ujungnya kita bisa baca selain akan hasilkan pemborosan anggaran juga kerusakan bagi koperasi.
Di tengah mimimnya literasi masyarakat terhadap koperasi, Menteri Koperasi sebagai pejabat publik yang bertanggungjawab terhadap koperasi palsu yang rugikan masyarakat juga tak memiliki sense of crisis untuk segera menanggulanginya. Koperasi abal abal dan papan nama di biarkan begitu saja merusak terus citra koperasi. Padahal perintah UU, PP dan bahkan Permen telah mengatur tentang pembubaran koperasi koperasi palsu tersebut oleh pemerintah sebagai salah satu wujud tanggungjawab menjaga kepentingan publik. Apalagi untuk memperjuangkanya agar koperasi sebagai ilmu pengetahuan itu diajarkan di sekolah dan kampus.
Koperasi tak hanya dibiarkan rusak citranya di masyarakat. Tapi gagasan koperasi yang baik itu sengaja diaborsi sebelum masuk ke dalam alam pikir masyarakat.
Kementerian Koperasi dan UKM adalah sebuah kementerian yang dibentuk awalnya sebagai sebuah jawatan di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tepatnya tahun 1930. Kementerian ini disebut sebagai Jawatan Koperasi yang dipimpin oleh seorang Profesor yang sangat terkenal di masa itu. Profesor JH Booke. Kementerian ini hadir untuk tujuan mempertinggi peranan koperasi Indonesia terutama dalam mengembangkan ekonomi rakyat.
Pada masa itu, koperasi memang baru mulai dikembangkan. Ide koperasi itu mendapat dukungan dari hampir seluruh kalangan. Profesor David Henly dalam buku “Adat Recht” menyebutnya secara bombastis sebagai kalimat pembuka ” Tidak ada gagasan ataupun cita cita yang menyatukan para elit politik di Indonesia kecuali ide koperasi…” ( David Henly, 2010).
Tapi koperasi di Indonesia ini seperti terus menerus menemukan takdirnya, takdir warisan yang didesign oleh pemerintah Kolonial agar koperasi dalam posisi “La yamutu wala yahya”, dibuat hidup sungkan mati segan. Hidup di bawah sebuah sindrom, sindrom ketergantungan terus menerus terhadap proyek pembina(sa)an yang terus dilanggengkan.
Jakarta, 15 Januari 2022
Penulis : Suroto, Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)