By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Menuju Kehancuran I (Pengkudetaan Demi Pengkudetaan)
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
BudayaFeatured

Menuju Kehancuran I (Pengkudetaan Demi Pengkudetaan)

Last updated: Desember 17, 2023 12:34 am
1 tahun ago
Share
10 Min Read
SHARE

Damar Banten – Atas restu dari Kompeni, Pada akhirnya Sultan Haji menjadi sultan Banten yang ketujuh dengan syarat yang sangat merugikan Banten. Dengan begitulah, kedaulatan atas Kesultanan Banten telah runtuh, terutama dengan ditandatanganinya perjanjian di antara Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17 April 1684, yang isinya sebagai berikut:

A. Perjanjian 10 Juli 1659 tetap berlaku dengan utuh, terkecuali beberapa hal yang diubah. Di samping itu, untuk kedamaian Banten dan Kompeni, Banten dilarang memberikan apapun kepada musuh Kompeni. Banten juga tidak boleh turut campur dalam politik di Cirebon,

B. Penduduk Banten tidak boleh datang ke Batavia. Demikian pula sebaliknya, penduduk Batavia tidak boleh datang ke Banten, kecuali ada keperluan khusus dan harus dengan surat izin dari yang berwenang. Orang yang masuk tanpa surat izin dapat dianggap musuh dan boleh ditangkap atau dibunuh,

C. Sungai Untung Jawa (Cisadane) serta garis sambungnya ke selatan dan utara sampai Laut Kidul menjadi batas Banten dan Kompeni,

D. Apabila ada kapal milik Kompeni ataupun milik Banten terdampar atau mendapatkan kecelakaan di laut atau di pantai Jawa dan Sumatera, kapal itu harus mendapatkan pertolongan, baik penumpang maupun barangnya,

E. Untuk kerugian perang dan perampokan oleh penduduk Banten terhadap Kompeni, Sultan harus menggantinya sejumlah 12.000 ringgit dan membayarkannya kepada Kompeni,

F. Tentara atau penduduk sipil yang melanggar hukum yang telah disepakati ini akan ditangkap dan diserahkan kepada Kompeni,

G. Sultan Banten harus melepaskan tuntutan atas Cirebon dan bersedia menjadi negara sahabat dan bersekutu di bawah lindungan Kompeni,

H. Sesuai dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal 4 yang menyatakan bahwa Kompeni tidak memberikan sewa tanah atau rumah yang digunakan untuk loji, maka menyimpang dari hal itu, Kompeni akan menentukan pembayaran dengan debet,

I. Sultan berkewajiban pada waktu yang akan datang tidak mengadakan perjanjian persekutuan/perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain, karena hal itu bertentangan dengan isi perjanjian,

J. Karena perjanjian ini harus terpelihara dan berlaku terus hingga masa yang akan datang, paduka Sri Sultan Abu al Nasr Abdu al Qahar beserta turunannya harus menerima seluruh perjanjian ini dan memaklumi, dianggap suci, dipercayai, dan benar-benar akan dipelihara dan kemudian oleh segenap pembesar tanpa penolakan sebagaimana juga dari pihak Kompeni.

Penandatanganan perjanjian tersebut dilakukan di Keraton Surasowan serta dibuat dalam tiga bahas—Belanda, Jawa, serta Melayu, yang maksud dan isinya sama. Penandatangan dari pihak Kompeni dilakukan oleh Komandan dan Ketua Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schauers, serta Kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus, sementara dari pihak Banten ditandatangani oleh Sultan Abdu al Qahar, Pangeran Dipaningrat, Kiai Suko Tajuddin, Pangeran Natanegara, serta Pangeran Natawijaya.

Dengan demikian setelah ditandatanganinya perjanjian tersebut, sirna sudah kemasyhuran serta kemajuan Banten, yang diakibatkan adanya monopoli serta unsur penjajahan Belanda. Bahkan, dengan begitu pula, pada akhirnya Kesultanan Banten hancur dan lenyap.

Pada akhirnya semakin bertumpuk-tumpuk penderitaan rakyat Banten, bukan saja dikarenakan pembersihan dari para pengikut Sultan Ageng, melainkan juga diakibatkan Sultan Haji yang harus membayar biaya perang, serta akibat dari monopoli perdagangan Kompeni. Rakyat Banten dipaksa menjual hasil pertaniannya, terutama pada lada dan cengkih, kepada Kompeni melalui pegawai kesultanan yang ditunjuk dengan harga yang sangat rendah. Pada soal ini, Sultan Haji seakan hanya sekedar menjadi pegawai Kompeni dalam hal pengumpulan lada rakyat. Para pedagang dari bangsa Inggris, Perancis, serta Denmark, karena pada masa lalu dianggap banyak membantu Sultan Ageng dalam perang, akhirnya diusir dari Banten dan kemudian mereka pindah ke Bengkulu.

Tidak heran jika pada masa tersebut, terjadi banyak kerusuhan serta pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat. Perampokan serta pembunuhan sering terjadi kepada pedagang baik di luar maupun di dalam kota. Bahkan, pernah juga terjadi pembakaran yang menghabiskan dua pertiga bangunan di dalam kota. Situasi tersebut juga terjadi di laut. Banyak kapal Kompeni dirompak oleh bajak laut yang bersembunyi di sekitar perairan Bojonegara yang dalam operasinya banyak dibantu oleh pelaut asal Sumatera yang dipimpin oleh Ibnu Iskandar.

Pada akhirnya Sultan Haji berusaha memperkuat penjagaan di tempat kediamannya untuk keamanan dirinya. Demikian pula dengan Kompeni. Untuk keperluan pertahanan dan memperkuat kekuasaannya atas Banten, kompeni membuat benteng yang kokoh di pantai utara dekat Pasar Karangantu pada tahun 1682. Benteng tersebut diberi nama Speelwijk yang disempurnakan pada tahun 1685.

Akibat dari perang saudara berkepanjangan, banyak sekali bangunan di dalam kota rusak berat. Untuk memperbaiki semua itu, Sultan meminta jasa dari Pangeran Wiraguna (Hendrik Lukaszoon van Speelwijk Kardeel). Pada akhirnya terjadi perombakan atas bangunan kesultanan yang hancur. Semua bangunan bekas benteng dan istana diratakan dengan tanah, dan kemudian di atas fondasi yang lama dibangun kembali bangunan seperti semula. Pekerjaan tersebut berjalan dua tahun penuh.

Masa pemerintahan Sultan Haji banyak dipenuhi dengan pemberontakan dan kekacauan di segala bidang. Bahkan, sebagian besar rakyat tidak mengakuinya sebagai sultan. Mereka mengharapkan kedatangan ratu adil yang akan mengubah keadaan Banten.

Oleh karenanya, Sultan Haji selalu hidup di dalam kegelisahan dan ketakutan. Sebagai manusia, dirinya pasti mempunyai penyesalan baik terhadap ayah, saudara, sahabat, serta prajuritnya yang setia, akan tetapi semua penyesalan tersebut sudah terjadi. Kompeni yang dahulu dianggapnya sebagai sahabat dan pelindungnya, sekarang bahkan menjadi tuan yang harus dilayani segala kehendaknya.

Karena tekanan tersebut, Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal pada tahun 1687. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Saba Kingkin sebelah utara Mesjid Agung Banten sejajar dengan makam ayahnya.

Akibat kelakuan dari Sultan Haji yang sangat memalukan dan memprihatinkan tersebut, muncul bermacam cerita yang hampir semua jauh dari data sejarah. Di antaranya diceritakan bahwa yang melawan Sultan Ageng bukan Sultan Haji anaknya, akan tetapi orang lain yang berasal dari Pulau Puteri. Pada waktu Sultan Haji pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji yang kedua kali, ia singgah di Pulau Puteri atau Mejati. Di sana, ia bertemu puteri cantik. Ia jatuh cinta dan menikahinya. Atas permintaan sang puteri, semua perhiasan dan pakaiannya diserahkan sebagai mahar, yang kemudian Orang inilah yang berlayar ke Batavia dan mengaku bernama Sultan Haji. Karena pakaian dan wajahnya sangat mirip, rakyat pun mengakunya. Orang inilah yang kemudian memerintah Banten dan berperang melawan Sultan Ageng.

Sultan Haji yang asli baru beberapa saat kemudian pulang ke Banten. Saat melihat keadaan demikian dan untuk menjaga agar tidak terjadi keributan, dirinya pergi ke Cikadueun, Pandeglang. Dirinya aktif menyebarkan agama Islam sampai meninggal di sana. Ia dikenal dengan nama Haji Mansyur atau Syekh Mansyur Cikadueun.

Dalam cerita lain disebutkan, pakaian Sultan Haji bukan diserahkan sebagai mahar. Alan tetapi orang asing dari Pulau Puteri atau Mejati itu merampasnya. Dengan demikian, orang asing itu dapat menyamar sebagai Sultan Haji.

Tetapi, cerita semacam itu sangat lah lemah, tidak sesuai dengan akidah sejarah, serta hanya dianggap sebagai dongeng yang mengandung nilai dan maksud filosofis.

Sumber lain menyebutkan, Syekh Mansyur Cikadueun merupakan ulama besar yang berasal dari Jawa Timur yang hidup sezaman dengan Syekh Nawawi Al-Bantani. Kedua tokoh tersebut terlibat langsung dalam Perang Jawa atau Perang Dipanegara pada tahun 1825-1830. Setelah Pangeran Dipanegara ditawan oleh Belanda, Syekh Mansyur dikejar-kejar oleh Belanda dan akhirnya menetap dan membuka pesantren di berbagai tempat dan wafat di Kampung Cikadueun. Syekh Nawawi pergi lagi ke Makkah, membuka pesantren, dan mengajar di Masjidil Haram. Pada setiap kesempatan, muridnya selalu diindoktrinasi agar sepulangnya dari Makkah membantu para pejuang muslim membebaskan Banten dari penjajahan. Murid dari kedua tokoh tersebut tersebar di berbagai pelosok Tanah Air.

Dari permaisuri, Sultan Haji mempunyai beberapa anak, di antaranya Pangeran Ratu serta Pangeran Adipati. Dalam Babad Banten, tercatat bahwa Sultan Haji mempunyai 10 anak, di antaranya:

  1. Pangeran Ratu (Sultan Abu al Fadhal).
  2. Pangeran Adipati (Sultan Muhammad Zainu al Abiddin).
  3. Pangeran Muhammad Thahir,
  4. Pangeran Fadliddin,
  5. Pangeran Ja’faruddin,
  6. Pangeran Muhammad ‘Alim,
  7. Ratu Rahimah,
  8. Ratu Hamimah,
  9. Pangeran Kesatrian,
  10. Ratu Mubayan.

Setelah Sultan Haji meninggal, terjadilah perebutan kekuasaan di antara anaknya. Barulah setelah Van Imhoff turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut, diangkatlah Pangeran Ratu menjadi sultan yang kedelapan dengan gelar Sultan Abu al Fadhal Muhammad Yahya.

Penulis : Ilham Aulia Japra

You Might Also Like

Debus Banten Di lirik Tamu dari Jepang
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 8 Tampilkan Permainan Tradisional di Seba Baduy
Lomba Teater Boneka menjadi arena untuk membuka ruang yang Inklusif untuk Sekolah Khusus se Banten
IPSI Banten Tampilkan Debus Pada Peringatan 500 Tahun Kesultanan Banten
Hari Purbakala 14 Juni: Merayakan Warisan dan Kekayaan Masa Lampau
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Tragedi Holocaust: Genosida Paling Kelam dalam Sejarah Modern

12 bulan ago

Sejarah Berdirinya Budi Utomo: Dari Inspirasi Hingga Pergerakan Nasional

12 bulan ago

Seba Baduy 2024, Pj Gubernur Banten Al Muktabar Titipkan Tumbuh Kembang Anak

1 tahun ago

Pj Gubernur Banten Al Muktabar Sambut Masyarakat Adat Baduy

1 tahun ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?