Sementara, Onna Samada memaparkan pengalamannya mendampingi Kelompok Tani Perempuan Seroja untuk Desa Hutan di Parigi Moutong Sulawesi Tengah, yang memulai perjuangan dengan membentuk Kelompok Tani Perempuan Seroja, syukurlah sekarang menjadi perhatian pemerintah dan bisa bermitra dengan kelompok NGO untuk memetakan kebun sendiri.
Dari kegiatan kelompoklah, perempuan tersadar akan potensinya sebagai makhluk Tuhan yang tangguh dan kuat. Inilah yang kemudian membuat Onna melihat bahwa perempuan kalau sudah cinta akan melakukan apapun.
Senada dengan Sarwonor Kusumaatmadja diawal, Onna yang mendampingi 7 desa hutan untuk perhutanan sosial SDGs Kemendes ini mengatakan bahwa ada hal-hal yang ternyata tidak bisa dijangkau oleh laki-laki mengenai hubungan perempuan dan ekologi. Yaitu Karena sifat keibuan dan kasih sayang yang terberi dari Tuhan maka feel merawat bumi dengan sifat tersebut lebih mengena dibanding laki-laki.
“Terkait hubungan perempuan dan ekologi, ciptaan tuhan paling istimewa, perempuan itu serba bisa, banyak yg bisa dilakukan oleh perempuan tidak bisa dilakukan oleh laki-laki. Terutama dalam interaksi organisme dengan lingkungan sekitarnya. Nah perempuan ada didalam wilayah ekologi itu sendiri. Sebagai perempuan pelaku dan perawat cocok tanam dalam mengelola lahan. Kemudian Ikatan yang terjalin antara manusia dan alam lebih kepada jiwa keibuan seorang perempuan.” jelas Onna.
Keistimewaan perempuan lainnya, mungkin perasaan kasih sayangnya, perempuan lebih cepat dan sergap untuk melindungi dan mempelajari adanya ancaman bahaya dibanding laki-laki.
“Kepedulian bagaimana mewaspadai bahaya untuk keluarga, perempuan yang paling cepat dan tanggap.” ucapnya sambil berapi-api.

Selain itu, Onna menuturkan proses memperjuangkan desa hutan, ia bersama kelompok Tani Seroja membudidayakan jagung dan memberdayakan lahan. Ia memulai perjuangannya dengan melakukan audiensi dengan dinas kehutanan dan menyerap informasi sbeanyak-banyaknya yang dibawa NGO.
Selanjutnya, perjuangan seorang ekofeminis Nisa Wargadipura yang merupakan penggagas pesantren ekologi di Garut yang menawarkan berbagai edukasi pertanian di dalam pesantrennya yang juga merupakan pilihan politis bagi dirinya untuk banting setir menjadi seorang petani dan pembuat kebijakan dalam pesantren.
Keputusannya mengubah arah haluan hidup, karena dilatarbelakangi pengalaman panjang bagaimana kapitalis semakin mengeruk sumberdaya alam. Maka menggagas pesantren ekologi adalah pilihan politik bagi Nisa Wargadipura.

“Berawal dari refleksi dan evaluasi dari pekerjaan yang dilakukannya, advokasi reformasi agraria, perjuangan petani di bidang agraria. Sejak 10 tahun bergabung di Serikat Petani Pasundan, Forum Pelajar Ekologi, Pendamping Perhutanan Desa. Terlihat ada ketidak mandirian dan terus marginal, seolah terkungkung dalam lingkaran ketakberkuasaan. Katanya teman teman itu kapitalisme. Kemudian terpikir untuk menjadi petani sekaligus pembuat kebijakan, mulailah pesantren ekologi tahun 2008.” terang Nisa.
Sedangkan Nurka Cahyaningsih, Pegiat Perhutanan Sosial dan Anggota TP2PS mengatakan perempuan paling rentan terkena dampak kerusakan ekologi.
“Perempuan juga rentan terhadap kerusakan ekologi dan sumberdaya alam, kerusakan sumberdaya alam menyebabkan kerusakan hidrologi atau kekurangan air dan kekurangan udara segar pada perempuan.” Ujar Nurka yang akrab disapa Yaya ini.
Maka kemudian kata Nurka terobosan yang harus dilakukan adalah mempelajari pengetahuan-pengetahuan lokal dan warisan budaya yang ada di tangan perempuan. Seperti misalnya cara merawat dan memelihara lahan. Ini juga menjadikan perempuan dituntut tampil pada tiga akses yaitu Akses Kuasa, Akses Kelola dan Akses Kelembagaan Sosial.
“Perempuan harus tampil dalam 3 akses : Akses kuasa, akses kelola, dan akses kelembagaan/sosial.
- Akses kuasa: ikut andil dalam mengatur keibijakan (seperti Permen, Perda, sk dll) bagian dari pengambil keputusan, kepemilikan atas SDA dan lahan;
- Akses kelola: yaitu perempuan ikut andil menjadi bagian dari perencanaan, rencana dan kegiatan yang ramah perempuan (akses lokasi, penataan lokasi, pemilihan komoditas, dll);
- Akses kelembagaan: masuk dalam struktur kelembagaan, peningkatan kapasitas dan tim terpadu.” ucap Nurka.

Dari pemaparan para narasumber dan keynote, Swary Utami Dewi selaku moderator, tidak menyimpulkannya, melainkan memberikan closing statement bahwa merawat bumi dengan sentuhan-sentuhan kepedulian perempuan akan lebih terorganisir. Karena dalam melangkah
Perempuan perlu menyadari diri, kesadaran perempuan dahulu, baru kemudian kita perlu belajar dan sosialisasi, kita perlu berinovasi mengembangkan dirinya sendiri untuk lebih berguna bagi orang lain. jiwa keibuan jiwa mengasuh dan jiwa kepedulian perempuan itu sangat berpengaruh pada penjagaan alam.
Oleh karena itu, jika seorang perempuan menjadi pemimpin daerah ia juga harus menjadi pemimpin iklim. Karena kehidupan kedepan akan lebih berat dari saat ini, maka mari kita sama-sama memahami bahwa ilmu perubahan iklim, karena kedepan suasana akan sangat berubah dan belajar goverment saja tidak cukup. Semuanya dimulai dari komitmen yang kuat untuk pemulihan ekologi yang bisa dimulai dengan sesuatu yang kecil dan kesalingan melengkapi satu sama lain antar manusia terwujud. Kolaborasi yang baik dan masa depan juga akan menjadi lebih baik. Mari kita mulai dari diri kita betul-betul berkolaborasi untuk bumi yang lebih baik.” tutup Utami.
Penulis : Siti Mahfudzoh
Baca Sebelumnya : Perempuan dan Ekologi: Langkah Konkrit Merawat Bumi dengan Sentuhan Kasih Sayang (1)
[…] Baca Selanjutnya : Perempuan dan Ekologi : Langkah Konkrit Merawat Bumi dengan Sentuhan Kasih Sayang (2) […]