Sukarno yang memproklamasikan dirinya dan PNI radikal serta revolusioner di dalam pledoi “Indonesia Menggugat”, faktanya belum mempunyai basis massa yang jelas. Sebab, PNI baru saja akan berkembang saat itu untuk menjadi gerakan massa rakyat, meniru metoda Komunis dan Syerikat Islam. Belanda sendiri menuduh Sukarno dan PNI nya merupakan kelanjutan PKI (Partai Komunis Indonesia), yang baru saja dibubarkan Belanda, karena memberontak (1926).
Namun, kehadiran PNI tentu penting untuk mengkonsolidasikan kekuatan massa aksi di luar penggalangan berbasis Komunisme dan Islamisme. Hal ini pula yang menjadi kekuatan posisi tawar BK menggalang kekuatan perlawanan terhadap imperialisme Belanda.
Massa aksi yang dibayangkan BK tentunya bukan massa aksi kaum proletar yang dilukiskan Karl Marx di Eropa. Tesis Sosialisme atas perebutan kekuasaan akan terjadi sendirinya dengan bersatunya kaum buruh dan merebut kekuasaan dari kaum kapitalis, pada fase Kapitalisme yang matang. Atau juga tidak sama dengan yang dianjurkan Trotskyism untuk kerjasama buruh (dominan) dengan massa petani, dalam konsep “permanent revolution”, di negara model Rusia atau negara lainnya yang belum berada pada fase industrialisasi.
Jadi, karena jalan revolusi yang dibayangkan BK harus melalui perebutan kekuasaan atau merdeka dengan pemerintahan sendiri, semua kekuatan revolusioner atau radikal tidak boleh saling melemahkan. Ini adalah strategi dua langkah (two stage revolution) yakni bersatu padu merebut kemerdekaan, lalu, langkah selanjutnya, berkompetisi mendominasi arah revolusi kemerdekaan. Jadi persatuan antara ideologis ini bersifat sementara.
Lima hal uraian di atas, “Nasionalisme, Marhaenisme, Anti Kapitalisme dan Oligarki, Sikap Terhadap Islamisme dan Persatuan Nasional Yang Temporer” merupakan fenomena ideologi Bung Karno muda yang dapat kita rekam.
Dari paparan di atas, diperlihatkan apa yang perlu diteladani dan apa yang menjadi critical issue dari fenomena ideologi BK tersebut. Kita perlu meneladani perjuangannya terhadap kaum buruh dan rakyat miskin. Kita perlu meneladani perlawanannya pada Kapitalisme dan Oligarki.
Kita perlu meneladani kegigihannya meletakkan ruang bersama bagi kepentingan atau misi perjuangan dari kelompok ideologis yang bertentangan. Kita perlu mengapresiasi kemampuannya menganalisis problematika persoalan bangsa dan ketertindasan. Namun, kita perlu mewaspadai beban historis yang berat untuk menyatukan kepentingan kelompok ideologis yang selalu ada di Indonesia.
Lalu apakah ideologi Sukarno muda ini masih relevan dengan nasib dan arah Marhaenisme dan kaum Marhaen ke depan?
Apakah tafsir pertarungan Puan Maharani versus Ganjar Pranowo terwakili dalam fenomena nasib kaum buruh, tani dan nelayan yang semakin miskin di era pandemi? Apakah bangsa ini paham tentang perjuangan Sukarno muda? [] *
Penulis adalah mantan Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK)
Baca Sebelumnya : sikap-terhadap-islamisme
[…] Baca Selanjutnya : persatuan nasional yang temporer […]