Damar Banten – Barangkali mengenai sejarah sosial di Banten, tidak akan bisa dilepaskan dari persoalan kaum jawara. Kemunculnya kelompok masyarakat yang hingga sekarang masih dikenal itu, tela melalui proses sejarah yang cukup panjang. Pada abad ke-19, ketika tekanan pemerintah kolonial terhadap masyarakat pribumi semakin besar, sehingga muncul perlawana-perlawanan dikalangan masyarakat. Pusat perlawanan ini berada di sekitar para kiai, dan para pemimpin. Sejak masa Sultan Ageng Tirtayasa, peranan para kiai ini begitu besar, termasuk dalam peperangan. kiai umumnya mempunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai dengan kemampuan meraka.
Yang pertama adalah yang mempunyai kemampuan ataupun bakat pada bidang ilmu agama, sehingga kelak bisa menjadi ulama seperti gurunya. Yang kedua, adalah para santri yang mempunyai bakat yang berkaitan dengan ilmu bela diri. Oleh karena itu, mereka akan dibimbing dalam hal kekuatan fisik. Golongan kedua inilah yang kemudian disebut jawara. Kedua kelompok santri ini juga diisi dengan ilmu hikmah, akan tetapi untuk golongan jawara ilmu hikmah yang mereka terima porsinya relatif lebih kecil dibandingkan dengan kelompok santri.
Pada salah satu sumber diceritakan bahwa Kiai Haji Wasid, pernah menaklukkan para jawara di Waringinkurung dengan ilmu hikmah yang dimilikinya. Selanjutnya, ada pendapat bahwa kaum jawara ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kaum jawara yang memegang teguh ilmu agama yang disebut "Jawara ulama", dan kedua, kelompok yang menggunakan "elmu hideung" (ilmu hitam). Penggunaan istilah "elmu hideung" bagi orang Banten adalah ilmu (kepandaian) untuk memperoleh kekebalan diri (kadugalan) yang tidak berdasarkan ajaran Islam. Ilmu ini biasa juga disebut "elmu rawayan".
Ketika terjadi wabah gerakan sosial di Banten pada abad ke 19, di mana para kiai dan santri serta jawaranya terlibat, muncullah tuduhan dari pemerintah kolonial, bahwa kaum jawara ini sama saja dengan "bandit sosial". Untuk memahami mengapa hal ini bisa terjadi, dapat dijelaskan demikian. Setelah Kesultanan Banten dihapuskan pada masa Daendels, keadaan menjadi kacau dan seluruh tatanan sosial sudah hampir ambruk. Dalam situasi ini muncullah para pemimpin dari kalangan kiai dan elite pedesaan lainnya. Mereka secara radikal membangkitkan semangat perlawanan terhadap penguasa asing dan juga terhadap pamong praja. Muncullah perlawanan-perlawanan yang melibatkan berbagai unsur masyarakat. Dalam situasi yang kacau, muncul pula perampokan, penyamunan, pembegalan, dan perbuatan-perbuatan di luar hukum lainnya. Tak jarang, di antara mereka ada yang tergolong orang kaya atau kelompok bangsawan lama, yang kehilangan haknya atas tanah, lalu menempuh jalur di luar hukum untuk mengambil kembali haknya. Dalam situasi tersebut seringkali mereka terpaksa bekerja sama dengan bandit-bandit atau perampok-perampok sesungguhnya.
Oleh sebab perlawanan yang bersifat terbuka, seringkal mereka mendapat simpati dari rakyat. Akan tetapi, pada perkembangannya, sekitar tahun 1880-an, yang muncul kemudian adalah para perampok dan bandit saja, yang melakukan penggarongan tanpa pilih bulu. Mereka inilah yang akhirnya membuat citra para jawara sesungguhnya terkontaminasi. Hal ini dimanfaatkan oleh pemerinta kolonial untuk meruntuhkan citra para pejuang sesungguhnya, dengan mencap bahwa meraka semua kaum jawara adalah bandit. Sehingga perlawanan dalam bentuk gerakan sosial, yang bermaksud melawan penjajahan asing (seperti perlawanan Petani Banten di Cilegon tahun 1888) pun dianggap sebagai onlusten (keonaran), ongeregeldheden (pemberontakan), complot (komplotan), woelingen (kekacauan), dan Onrust (ketidak-amanan).
Pada perkembangannya kemudian, kata “jawara” (juara) akhirnya dikonotasikan negatif, misalnya disebut sebagai singkatan dari “jalma wani rampog” (orang yang berani merampok) atau “jalma wani rahul” (orang berani bohong, menipu).” Akibatnya citra tersebut terus terbawa hingga abad ke-20, dapat dilihat dalam memorie van overgave (memori serah jabatan) Residen Banten, F.G Putman Craemer, 24 Februari 1931, yang melaporkan bahwa golongan jawan berasal dari apa yang disebut orok lanjang yang ada di Distrik Menes. Orok lanjang adalah organisasi pemuda yang awalnya bertujuan untuk tolong-menolong, semisal bila ada orang mengadakan hajatan, mereka membantu penyelenggaraannya. Lama-kelamaan, bila ada orang menyelenggarakan hajatan, mereka harus diundang dan diserahi tugas penyelenggaraannya. Bila tidak demikian mereka akan mengacaukan pesta. Organisasi semacam ini kemudian meluas hingga ke luar Menes, dan menjadi organisasi tukang pukul yang disebut jawara. Mereka menjadi kelompok yang ditakuti masyarakat, kaum pamong praja pun tidak berani bertindak keras terhadap mereka. Menurut Residen Banten, sejak tahun 1916 para pejabat pangreh praja bila datang ke pesta mesti membawa senjata api karena takut diganggu mereka. Akibatnya, etos “kejuangan, membela kebenar kepahlawanan”, yang sebenarnya dimiliki kaum “Jawara” terkontaminasi deng etos “premanisme”.
Seorang jawara yang kemudian mendalami agama disebut jawara ulama, sedangkan ulama yang merangkap menjadi jawara, kemudian disebut ulama jawara. Tokoh-tokoh semacam inilah yang disegani masyarakat Banten, sehingga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Kepemimpinan didasarkan atas konsensus di antara para jawara. Umumnya senioritas menentukan siapa yang akan menjadi yang dituakan" atau "kokolot".
Sumber : Sejarah Banten – membangun Tradisi dan Peradaban
Penulis : Ilham Aulia Japra