By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: 9 Penghambat Kemajuan Diaspora (Muslim) Indonesia: A Self Criticism
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
Kesra

9 Penghambat Kemajuan Diaspora (Muslim) Indonesia: A Self Criticism

Last updated: Januari 3, 2022 10:47 am
3 tahun ago
Share
6 Min Read
Foto : Imam Shamsi Ali
SHARE

Dalam beberapa kesempatan yang ada saya berkali-kali sampaikan kegalauan saya sebagai seorang putra (Muslim) Indonesia di luar negeri. Bukan saja karena kenyataan bahwa warga (Muslim) Indonesia manca negara itu tidak terlalu besar dibanding Komunitas Muslim lainnya. Tapi lebih kepada kurang signifikannya peranan Diaspora (Muslim) Indonesia di kancah internasional.

Padahal kenyataannya Indonesia dikenal oleh dunia luar sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia. Selain itu diakui atau tidak Muslim Indonesia memiliki kelebihan-kelebihan yang dapat menjadi modal dalam upaya mengambil peranan di kancah global. Satu di antaranya adalah kenyataan bahwa Indonesia mampu mengintegrasi antara dua komitmen yang kadang paradoksikal. Yaitu komitmen kebangsaan dan komitmen keagamaan.

Realita minimnya peranan Disapora (Muslim) Indonesia itu berakibat kepada penglihatan warga lain kepada Komunitas (Muslim) Indonesia dengan pandangan sebelah mata. Seolah menjadi sebuah kesimpulan umum bahwa Diaspora (Muslim) Indonesia memiliki kapasitan atau kemampuan yang diragukan. Sehingga dengan sendirinya orang lain kurang “confident” untuk melibatkan (Muslim) Indonesia dalam berbagai perhelatan yang berskala internasional.

Kenyataan di atas harusnya menjadi pendorong bagi Komunitas (Muslim) Indonesia untuk bangkit melakukan berbagai pembenahan diri. Melakukan koreksi terhadap kekurangan (self correction) dan melakukan perbaikan dan pengembangan diri (self development).

Dari pengalaman yang mungkin cukup panjang di luar negeri, (meninggalkan Indonesia sejak tamat pesantren), saya melihat ada beberapa faktor kenapa Komunitas (Muslim) Indonesia di luar negeri kurang maksimal dalam memainkan peranan globalnya secara signifikan.

Pertama, memang diakui bahwa secara umum baik secara kwanktitas maupun kwalitas Komunitas Indonesia memang rata-rata kurang dibanding Komunitas lainnya. Ambillah sebagai contoh Komunitas Bangladesh di Kota New York ada sekitar 100,000 ribuan. Di daerah Astoria, Queens New York ada sekitar 20-an masjid (salah satunya masjid milik warga Indonesia), 14 di antaranya diinisiasi dan dikelolah oleh Komunitas Bangladesh.

Kedua, masalah self confidence. Saya sendiri kurang tahu asal usulnya. Tapi diakui atau tidak ada semacam rasa inferioritàs di kalangan Komunitas (Muslim) Indonesia ketika berinteraksi dengan Komunitas lain. Mungkin ini karena memang realita kekurang mampuan. Atau juga karena memang ada suasana yang telah terbangun secara umum bahwa Komunitas (Muslim) Indonesia itu memang kurang mampu. Terkadang memang ada pembatas tipis (fine line) antara “being humble” (tawadhu) dan rasa inferioritas (rasa minder).

Ketiga, pergaulan yang terbatas. Entah apa penyebabnya seringkali warga Indonesia membatasi diri dengan pergaulan sebatas di antara sesama Indonesia saja. Sangat jarang warga (Muslim) Indonesia yang “go beyond national bound” dalam pergaulan. Ini yang mengakibatkan kurangnya “pengalaman dan informasi” tentang peluang-peluang yang ada di luar Komunitas (Muslim) Indonesia itu sendiri.

Keempat, kemampuan bahasa yang biasanya sangat terbatas. Syukur bahwa saat ini anak-anak muda Indonesia banyak yang kemampuan berbahasa asingnya cukup baik. Tapi secara umum bahasa asing warga Indonesia di luar negeri sangat terbatas. Itupun dalam arti bahasa pasif. Sehingga untuk tampil di publik misalnya sangat terbatas.

Kelima, pasif dalam pengembangan wawasan. Biasanya dari pergaulan akan terbuka pengalaman. Dan pengalaman itulah yang akan banyak membuka wawasan dan meluaskan cakrawala berpikir untuk menangkap hal-hal baru di sekitar kita. Warga (Muslim) Indonesia biasanya puas dengan dengan zona nyaman yang ada. Sehingga cakrawala dan gagasan mereka pun dibatasi oleh zona nyamannya masing-masing.

Keenam, merasa sangat nyaman dengan “comfort zone” (zona nyaman) yang ada. Tentu tidak ada salahnya untuk senang dengan keadaan masa kini kita masing-masing. Tapi jangan sampai membatasi langkah-langkah selanjutnya untuk melakukan perubahan dan pengembangan. Masyarakat (Muslim) Indonesia di luar negeri biasanya merasa puas dengan zonanya. Sehingga ketika situasi tertentu menuntut untuk melakukan perubahan dan pengembangan mereka seolah tak berdaya untuk keluar dari zona nyaman itu.

Ketujuh, Komunitas (Muslim) Indonesia terkadang kalem, nampak seolah damai dan baik-baik saja. Kumpul-kumpul Paguyuban, ragam arisan, dan lain-lain sering dilakukan. Tapi di balik dari semua itu ternyata penuh drama. Satu faktor utama adalah ketidak dewasaan dalam menerima perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka.

Kedelapan, kegalauan dan ketidak menentuan di rantau. Banyak warga Indonesia, Muslim atau non Muslim, di luar negeri tidak menentu apakah akan tinggal selamanya di negara imigrasi atau kembali ke negara asal. Sehingga perencanaan di negara tempat mereka tinggal tidak stabil. Penghasilan yang kadang seadanya ditransfer ke tanah air setiap bulannya. Tapi pada akhirnya karena anak keturunan mereka lahir dan besar di negara imigrasi itu, akhirnya mereka menetap tapi tanpa perencanaan dan persiapan yang matang.

Kesembilan, diperlukan dukungan yang lebih maksimal dari pemerintah Indonesia. Tentu berbicara masyarakat di luar negeri (dikenal dengan kata diaspora) pemerintah yang dimaksud adalah perwakilan-perwakilan pemerintah yang ada. Selama ini dukungan itu sangat baik. Tapi akan lebih baik lagi jika ada inisiasi program-program yang lebih terarah untuk pengembangan diaspora di rantau.

NYC Subway, 29 Desember 2021

Presiden Nusantara Foundation

Penulis : Imam Shamsi Ali

You Might Also Like

Gila, Bill Gate Sumbangkan 99 Persen Kekayaannya Untuk Kemanusiaan
Pemerintah Apresiasi Gates Foundation
Prabowo: Minimal 100 Sekolah Berasrama Setiap Tahun
Jemaah Haji Delay 28 Jam, Kemenag: Garuda Tidak Profesional
Hari Bhayangkara ke-78, Al Muktabar Raih Penghargaan Atas Sinergi Dalam Membantu Tugas Polda Banten
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Pj Gubernur Banten Al Muktabar Ikuti Upacara Peringatan Hari Bhayangkara ke-78

11 bulan ago

Presiden Jokowi Tekankan Pentingnya Konsolidasi Seluruh Pihak Tekankan Angka Stunting

11 bulan ago

WALHI Gelar Pekan Rakyat Lingkungan Hidup 2024 di Banten: Peringatan Keras Bagi Pemerintah Terpilih

12 bulan ago

“May Day: Perjalanan Perjuangan dan Solidaritas Pekerja Menuju Hak-hak yang Adil”

1 tahun ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?