Narasi dari banyak tulisan propagandis yang beredar di sosial media setelah pelarangan eksport minyak sawit dan turunanya oleh Presiden Jokowi seakan tempatkan Jokowi sebagai seorang nasionalis pembela kepentingan rakyat kecil. Kebijakanya diagung agungkan setinggi langit oleh para pecinta Jokowi alias Cebongers.
Selanjutnya, dibangun cerita seakan para penentangnya adalah sebagai Kadruners yang tidak nasionalis dan malah dituduh sebagai antek asing. Orang orang cerdik pandai yang berusaha keras membangun kewarasan pikiran dikalahkan oleh banjirnya berita dan narasi puja puji penuh glorifikasi membodohkan.
Rakyat dibuat lupa substansi atau isi kebijakan sesungguhnya. Agar rakyat lupa siapa yang diuntungkan sesungguhnya dari kebijakan yang diambil. Rakyat atau konglomerat?
Sebelum minyak sawit dan turunanya dilarang Eksport, Jokowi telah biarkan industri sawit kita tanpa perubahan struktural apapun yang untungkan rakyat.
Industri sawit kita itu dibiarkan dibawah cengkeram konglomerat segelintir orang. Dari 5 pengusaha diantaranya kuasai lebih dari separo dari total produksi minyak sawit kita dan sebagian besar adalah investor asing Malasya. Mereka dibiarkan kuasai sektor hulu hingga hilir industri sawit kita.
Sebelum pandemi harga tandan basah sawit ( TBS) pernah jatuh di harga 800 rupiah dan bahkan pernah sampai 375 rupiah. Padahal harga Crude Palm Oil ( CPO) itu rata rata standard di angka sekitar 0,7 dolar amerika. Berapapun harga TBS di lapangan.
Siapa yang untung? adalah para konglomerat pebisnis sawit yang kuasai hulu dan hilir industri sawit yang kuasai sebagian besar kebun, pabrik pengolah, perdagangan eksport, sampai dengan industri turunan minyak sawit seperti minyak goreng. Teemasuk bisnis pendukung jaringan logistik dan distribusinya. Bahkan sampai dengan untung dari pupuk murah bersubsidi dan pestisidanya.
Rakyat kecil petani sawit yang hanya bergerak di sektor budidaya (on farm) dirugikan besar besaran. Mereka itu rugi besar karena untuk menutup biaya produksi sawit rata rata per kilo itu butuh biaya 1000 rupiah. Sementara pabrik kelapa sawit (PKS) milik konglomerat untung dapat harga murah dari petani kecil.
Konglomerat itu santai santai saja karena harga TBS murah itu hanya berarti menambah untung di harga CPO dan minyak turunan sawit yang mereka eksport dan termasuk kebutuhan dalam negeri minyak goreng.
Rakyat petani sawit dengan drama kejatuhan harga yang terjadi lalu meminta agar pemerintah membuat kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) alias membeli sawit untuk kebutuhan dalam negeri.
Perusahaan konglomerat sawit langsung merapat. Mereka minta agar kebijakan Biofuell alias bahan bakar minyak sawit campuran hinga 30 persen (B30) mereka yang kelola.
Jokowi diam diam buat proyek Biofuel itu untungkan lagi lagi para konglomerat itu dengan diberikan subsidi dari dana penyisihan hasil perkebunan sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPS) hingga habiskan porsi sebesar 80 persennya.
Rakyat petani sawit kecil lagi lagi dirugikan karena dana peremajaan kebun sawit dan tujuan alokasinya lainya yang harusnya didapat dari alokasi dana BPDPS dihabisi oleh para konglomerat itu.
Nah, setelah keruk untung besar di berbagai rantai bisnis sawit di semua lini, para konglomerat itu lalu ingin juga terus menikmati lonjakan harga minyak sawit yang meningkat tinggi akibat adanya krisis energi dunia akibat perang Ukraina dan juga mulai naiknya permintaan kembali dari minyak sawit dunia karena Covid 19 yang mulai mereda.
Drama minyak goreng mulai dibuat, minyak goreng menjadi langka di pasaran karena asumsinya bahan bakunya hilang di pasar dalam negeri karena dieksport.
Pemerintah Jokowi ada dimana? dia pura pura seperti orang bodoh dan biarkan kebijakan menteri perdagangan lumpuh di hadapan mafia kartel sawit selama hampir 6 bulan.
Menteri perdagangan dibiarkan saja memgambil kebijakan gak karu karuan seperti berikan subsidi selisih harga pasar domestik dan internasional, dan kemudian disusul dengan kebijakan domestic market obligation (DMO) alias pemaksaan pemenuhan kebutuhan bahan baku dalam negeri terutama minyak goreng. Disusul lagi penetapan harga eceran tertinggi (HET) di angka 14 ribu per liter.
Rakyat kecil konsumen minyak goreng dibiarkan sengsara mengantri minyak goreng yang mahal dan langka dimana mana. Menteri perdagangan yang anak buahnya diduga lakukan korupsi dalam kebijakan DMO dibiarkan begitu saja. Menteri Perdagangan ini tidak dipecat atau ditindak tegas.
Padahal kita tahu, peribahasa ikan busuk itu mulai dari kepalanya. Tapi kebusukan itu dibiarkan menjalar terus. Kebijakan yang jadi bulan bulanan dan juga kelangkaan dan harga minyak goreng yang mahal tetap terjadi dibiarkan saja. Rakyat kecil dibiarkan sengsara.
DRAMA KOLOSAL dimulai lagi. Jokowi melarang seluruh eksport minyak sawit dan turunanya seperti CPO, RBD Olien, POME, Used Cooking Oil. Kebijakan ini berlaku sejak 28 April 2022.
Sudah terang kebijakan ini akan mengguncang dunia. Sebab kita suplai 60 persen minyak sawit dunia. Tapi apakah kepentingan di balik kebijakan ini akan untungkan rakyat? No way! Harga minyak goreng yang katanya bahan bakunya melimpah ruah itu tetap di atas 14.000 per liter di pasaran dan Jokowi tahu ini.
Sementara konglomerat sawit itu masih nikmati untung karena ada proyek Biofuel dan subsidinya dari dana BPDPS dan seluruh untung dari rantai nilai industri sawit dan termasuk nikmati gain di pasar modal dari setiap aksi korporasinya.
Intinya rakyat petani kecil sawit yang mau menikmati untung tetap dijadikan bulan bulanan. Kalau tidak mau permainkan petani sawit kecil kenapa tidak dinaikkan saja tarif eksport para konglomerat eksportir minyak sawit dan turunanya itu dengan kebijakan ambil marjin besar dari eksportasi dalam model kebijakan windraw? .
Pemerintah Jokowi itu bekerja untuk kesejahteraan petani sawit dan rakyat konsumen atau konglomerat sawit segelintir???
Tidak usah drama lagi lah Pak Jokowi ….rakyat tidak butuh drama tapi butuh menyambung hidup di tengah ekonomi sulit yang semakin melejit akibat kebijakan anda.
Kalau memang anda itu nasionalis, dan sampai dibilang mirip Soekarnois? Kenapa anda biarkan konsesi lahan besar itu terus tetap ada dalam kuasa konglomerat mafia kartel sawit dan biarkan petani sawit menderita terus?. Kenapa anda terus pertahankan model pola kerjasama PIR ( Perkebunan Inti Rakyat) yang justru perkuat konglomerat dan sengsarakan rakyat banyak?.
Dari 15,08 juta hektar, Perkebunan Besar Swasta menguasai seluas 9,30 juta ha (59,5%), Perkebunan rakyat hanya seluas 6,08 juta hektar atau (40,34%). Total produksi sebanyak 49,57 juta ton.
Perkebunan plasma rakyat yang diharapkan dominan kalah oleh perkebunan besar inti milik swasta.
Kenapa tidak buat petani dan konsumen minyak goreng berdikari ekonominya dan kuat seperti di Malasya melalui kebijakan Koperasi Sawit FELDA ? Petani diberi tanah 10 hektar, pabriknya dikuasai perusahaan koperasi milik rakyat petaninya dan nikmati seluruh nilai tambah dari bisnis sawit. Sementara rakyat konsumen minyak goreng tetap dapat nikmati harga murah.
Anda bekerja untuk siapa Pak Jokowi? Rakyat banyak atau jaga kepentingan konglomerat segelintir?
Jakarta, 3 Mei 2022
Penulis : Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)