Selama ini kita tidak pernah memikirkan apa itu keadilan. Kita baru memikirkan tentang perlunya keadilan ketika ketidakadilan menimpa diri kita atau keluarga. Selebihnya, kita biasanya pasif dan menganggapnya sebagai kewajaran.
Kita baru memikirkan perlunya keadilan, misalnya bekerja sebagai buruh outsourcing, tiba-tiba tanpa alasan yang jelas perusahaan kita tidak memperpanjang kontrak kita.
Atau, kita baru memikirkan keadilan ketika kita diusir dari tempat tinggal karena dianggap penganut aliran sesat. Padahal keyakinan kita sama sekali tidak membahayakan masyarakat sekitar. Kita baru memikirkan perlunya keadilan, ketika menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan pelakunya justru orang terdekat dalam hidup kita. Kita baru memikirkan perlunya keadilan lingkungan, jika kehidupan sehari-hari kita tergantung dari sumber mata air di sekitar pegunungan kapur (karst), tapi kemudian dieksploitasi untuk tambang.
Persoalannya, kadang “ketidakadilan-ketidakadilan” tersebut yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari justru dianggap wajar dan diterima begitu saja di masyarakat. Alih-alih mendapat dukungan dari masyarakat luas, kadang untuk isu sensitif yang menyangkut masalah keyakinan dan budaya, misalnya korban intoleransi dan diskriminasi gender, justru seperti orang yang sudah jatuh ketimpa tangga pula.
“Orang-orang hukum” biasanya akrab dengan istilah dan konsep keadilan. Terutama, keadilan kerap disandingkan dengan istilah ‘pengadilan’ atau pengadilan tempat bagi pencari keadilan. Istilah pengadilan, apabila dicacah menjadi peng-“adil”-an mengandung kata ‘adil’. Dari situ, seolah-olah pengadilan “tempat untuk mencari,menemukan, dan mencapai keadilan”.
Kita juga sering mendengar kalimat “mengadili berdasarkan hukum”. Keadilan sering diidentikkan dengan hukum, sehingga menegakkan hukum seakan sama dengan menegakkan keadilan. Keadilan dalam konteks ini bermakna legalitas.
Klaim hukum identik dengan keadilan bukan tanpa masalah. Masalahnya, apabila hukum diidentikkan dengan keadilan, maka mengandung konsekuensi, pencarian keadilan di luar hukum akan dihentikan. Rasanya, keadilan tidak dapat diidentikkan dengan hukum, meski keadilan bisa didekati oleh hukum.
Kita memang tidak bisa menarik batas yang jelas dan pasti antara hukum dan keadilan, tetapi kita bisa menggambarkan bahwa keadilan adalah suatu konsep yang jauh melampaui hukum sehingga keadilan tidak bisa sepenuhnya dipastikan dalam rumusan hukum.
Jika demikian, keadilan adalah juga soal perspektif atau cara pandang. Keadilan seperti kaki langit yang apabila kita dekati, ternyata lebih luas dari apa yang kita bayangkan. Keadilan memang tidak dapat dikalkulasi, tetapi kita dapat menilai, meski tidak dapat dikuantifikasi tepat seratus persen. Kita bisa mengetahui apa yang memang tidak adil tanpa perlu menegaskan secara pasti tentang seperti apakah keadilan yang sempurna itu. ‘We can know what is plainly unjust without committing ourselves to declare with finality what perfect justice would be like’ (Fuller, The morality of law, 1969, 12).
Pemahaman tentang keadilan sangat penting. Keadilan merupakan salah satu ‘cardinal virtues’, keutamaan yang utama, di samping rasionalitas, penguasaan diri dan keberanian. Pemikiran tentang keadilan terus berkembang bersamaan dengan perkembangan zaman dan permasalahannya di masyarakat. Kita tidak boleh sama sekali mengabaikan perkembangan ini jika tidak ingin kena getah ketidakadilan.
Oleh: Widodo Dwi Putro (Dosen Fak. Hukum Universitas Mataram)