Damar Banten – Delapan laptop berjajar memutar video yang berbeda dan berulang-ulang. Bagian keyboard-nya tertutup oleh sebuah kertas yang berisi gambar poster dan kata-kata. Ruangan pintu masuk Gedung Teater Kecil ISI Surakarta disulap dengan dekorasi benda-benda yang ditata sedemikian rupa. Lampu berwarna ungu dan biru ikut menyumbangkan cahaya membuat suasana semakin berbeda. Tepat di depan pintu, terpampang lukisan yang di atasnya bertuliskan “Dalam Bayang Drama: Performance & Exhibition”.
Bila ada kata “drama” tentu akan terjawab pemilik acara tersebut ialah para mahasiswa teater. Namun pertanyaan akan muncul kembali ketika membaca kata “exhibition”. Apa yang mau dipamerkan? Padahal kalau dipikir, teater sudah jelas berhubungan dengan pertunjukan. Kalau pertunjukan pasti berada di panggung. Dengan dekorasi panggung dan musik latar.
Pameran yang diselenggarakan pada tanggal 11 sampai tanggal 18 Januari 2023 ini diadakan oleh mahasiswa Program Studi Seni Teater ISI Surakarta sebagai ujian akhir semester mata kuliah penyutradaraan. Arsip karya berupa video mereka presentasikan melalui laptop yang diputar berulang. Seperti halnya pameran, dibawah layar juga tertulis deskripsi karya mulai dari latar belakang hingga proses terciptanya karya tersebut.
Pameran berisi delapan karya dari delapan mahasiwa. “Look At You Now” oleh Agitha Martha, “Mangap” oleh Gilang Aditya, “Forgiveness” oleh Yossi Cadynsa, “Ngabu” oleh Indah Ayu, “Yang Terhembus” oleh Soleh Sudarsono, “Lempo” oleh Tania Syafitri, “A Day In My Life” oleh Rifqi Haekal, dan “Scrollllzzzz” oleh Irsan Sarashadi.
Mereka kebanyakan berangkat dari pengalaman dan keresahan pada diri. Lalu diolah dan diproses sehingga menjadi laku performatif. Seperti karya “Mangap” yang berangkat dari diri pengkarya sendiri sebagai seorang anak dari keluarga broken home, dimana dia selalu dikasihani oleh lingkungannya. Atau “Look At You Now” yang berangkat dari keresahan pengkarya terhadap fenomena beauty privillage yang kerap terjadi pada layanan publik. Bahkan tidak hanya keresahan, karya “Lempo” hadir sebagai perlawanan atas anggapan tentang standard tubuh penari yang harus memiliki bentuk tubuh langsing, tinggi dan berparas cantik.
Bukan hanya berupa video, mereka menghadirkan juga benda-benda yang ada dalam karya. Benda-benda itu mereka dekorasi sedemikian rupa sehingga terlihat seperti karya instalasi. Hadirnya benda secara langsung membuat pengunjung dapat mengetahui tidak hanya dalam video.
Dengan menggantung, menempel atau meletakkan benda-benda, mereka membuat ruangan sempit menjadi sebuah ruangan yang artistik. Seperti halnya karya “Yang Terhembus” yang menghadirkan puluhan kantong plastik besar berisi asap rokok lalu disusun seakan-akan seperti gumpalan awan. Atau karya “Lempo” yang meletakkan wajan pecah bekas sebagai alas laptopnya.
Sedari awal, kelas mata kuliah penyutradaraan memang dibagi menjadi dua fokus. Mahasiswa yang mempresentasikan karyanya adalah mahasiswa yang tidak memilih naskah drama populer, sehingga pada akhirnya karya mereka dipamerkan dalam bentuk arsip dan bukan pertunjukan konvensional.
Harapan dibukanya pameran selain untuk presentasi, juga agar menarik para penggiat seni untuk bertukar pandang dan memupuk tumbuhnya karya, mereka beranggapan bahwa karya tersebut belum selesai atau bahkan tidak akan selesai. (Rifqi Haekal & Peri Sandi)
Penulis : Peri Sandi Huizche