Hari kamis 24 Juni 2021 adalah hari “kematian keadilan”. Kenapa sebagai hari kematian keadilan ? Sebab Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah memutuskan HRS dengan tuntutan 4 tahun penjara karena pelanggaran Prokes, lalu JPU menggunakan informasi sosial media sebagai informasi yang diyakini kebenarannya. Padahal informasi datang dari berita yang tidak jelas atau keluar dari para buzzer yang anti HRS. Sehingga HRS dituntut dengan pasal peninggalan kolonial. Pasal yang dicari-cari buat menjerat HRS. Sementara Hakim menggunakan istilah kebohongan dan keonaran kepada HRS terhadap kasusnya. Sehingga hakim memutuskan 4 tahun penjara.
Hal ini berbeda dengan kasus jaksa Pinangki yang dapat diskon 2 tahun dari majelis hakim karena membantu Djoko TJandra buron kasus BLBI, yang melibatkan para petinggi Polri atau direktur Garuda yang melakukan korupsi dengan hukuman 1 tahun Penjara.
HRS, Pinangki dan korupsi.
Sebagaimana kasus HRS adalah kasus prokes
berawal dari Wali Kota Bogor, Bima Arya mendapat kabar dari Direktur Utama Rumah Sakit UMMI Najamudin yang melaporkan bahwa ada pasien atas nama Muhammad Rizieq Shihab atau HRS dirawat di Rumah Sakit UMMI. Wali Kota Bogor yang juga Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Kota Bogor kemudian menyarankan agar pihak Rumah Sakit UMMI untuk meminta HRS melakukan swab test. Tapi Bia Arya justru melakukan konferensi pers di depan RS. UMMi, sehingga berita itu menyebar dan banyak spekulasi yang menyebutkan HRS sehat hingga sekarat. Lalu sebetulnya siapa yang membuat keonaran ?
Ujung-ujungnya Bima Arya melaporkan ke Polresta Bogor dan dirindak lanjuti kemudian menjadi tersangka, lalu dinaikkan menjadi terdakwa dalam sidang dan disangkaan sebagai pelanggar prokes. Padahal banyak pejabat, artis, bahkan presidenpun ikut melakulan pelanggaran, lalu para pejabat melakukan klarifikasi bahwa itu adalah tugas negara. Dalam perjalanan sidang kemudian HRS di putus hukuman 4 tahun penjara oleh majelis hakim.
Sementara kasus jaksa Pinagki Sirna Malasari diduga telah menerima uang sejumlah US$500.000 dari US$1 juta yang dijanjikan terpidana perkara korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra (Djoker). Banhkan Pinangki beberapa kali pergi ke LN untuk menemui Djoko Tjandra.
Penjelasan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, di Jakarta, Kamis (17/9/2020), mengungkapkan kronologi tentang uang tersebut. Menurutnya, itu sebagai imbalan bagi Pinangki untuk megurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejagung agar Djoker tidak bisa dieksekusi ke penjara.
Lebih lanjut Hari menuturkan, penyuapan terhadap terdakwa Pinangki berawal sekitar November 2019. Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H., selaku seorang Jaksa pada Kejagung bersama-sama dengan Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya bertemu dengan Joko Soegiarto Tjandra.
Hal diatas sangat jelas perbedaan kasusnya, dimana Pinangki adalah seorang jaksa yang dibayar oleh negara dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, apalagi dia tahu bahwa Djoko Tjandra adalah buron kasus BLBI. Dibanding HRS yang tidak sengaja melakukan pelanggaran prokes dan hanya mengatakan dirinya sehay yang seharusnya di hukum administrsi dengan melanggar UU Karantina Kesehatan dengan melanggar prokes dan hanya dihukum administrasi dengan denda seperti di Petamburan dan Megamendung.
Pengadilan minus keadilan
Dari semua itu kita harus memahami kembali istilah pengadilan yang
disebut dalam Pasal 4 UU Kekuasaan Kehakiman antara lain menjelaskan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang dan pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Dari istilah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengadilan adalah tempat mengadili dan membantu para pencari keadilan agar tercapai suatu peradilan.
Disisi lain Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem Peradilan yang dilaksanakan di Pengadilan adalah sebuah forum publik yang resmi dan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Disamping itu sebagai tempat mencari keadilan.
Sementara makna Keadilan ialah hal-hal yang berkenaan pada suatu sikap dan juga tindakan didalam hubungan antar manusia yang berisi tentang sebuah tuntutan agar sesamanya dapat memperlakukan sesuai hak dan juga sesuai kewajibannya.
Dari hal diatas kita bisa melihat bahwa keadilan akan didapatkan atau diperjuangkan di tempat pengadilan. Dimana hukum sebagai panglima tidak mendapatkan intervensi dari kekuasaan. Hal itu nampak berbeda dengan kasus HRS dan jaksa Pinangki.
Nampak sangat jelas bahwa kasus HRS kuat dengan muatan politis, disamping sentimen kekuasaan. Itu tampak ketika hakim menawarkan grasi ke HRS setelah membacakan vonisnya, padahal HRS masih bisa menggunakan banding untuk melanjutkan perjuangan hukumnya. Hal itu berbeda dengan kasus Pinangki dengan muatan transaksiinal semata. Keadilan ternyata masih dikuasai oleh kekuasaan untuk menyingkirkan lawan politik, dibanding transaksi hukum. Apapun yang diperjuangkan HRS tidak akan digubris karena sentimen politik mendominasi kasusnya. Yang menafikan keadilan itu sendiri dan hanya kepentingan penguasa. Bahkan HRS adalah sebagai target hukum penguasa selama ini.
Saya jadi ingat kata John Raws (Priyono, 1993: 35),keadilan adalah ukuran yang harus diberikan guna mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bukan negara kekuasaan seperti yang dikatakan Walter Nord menjelaskan kekuasaan sebagai kemampuan untuk mencapai tujuan tertentu yang berbeda dari tujuan lainnya.
Oleh Himawan Sutanto
Penggagas JaprakUsil
Depok, 25 Juni 2021