Damar Banten - Pasca gencatan senjata pada 11 Agustus 1949, Pemerintah Daerah Banten kala itu mengerahkan masyarakat agar bersama-sama membenahi semua sarana yang rusak akibat perang. Masyarakat Banten bergotong royong memperbaiki jalan-jalan, jembatan-jembatan, kantor-kantor pemerintah daerah, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah, serta saluran-saluran irigasi. Sedangkan, para Polisi beserta pamong praja bertugas menjaga keamanan menggantikan TNI yang sudah diasramakan.
Pada minggu pertama bulan Oktober 1949, Laskar Bambu Runcing (BR) yang berjumlah sekitaran 400 orang yang dipimpin langsung oleh Khaerul Saleh, berangkat menuju Banten selatan dari Bogor Utara. Pada rombongan itu juga ada Syamsuddin Chan, Wim Mangelep, Sidik Samsi, serta Camat Nata. Muhidin Nasution, yang kala itu menjadi pimpinan BR Bogor, juga ikut serta bergabung bersama rombongan tersebut menuju Banten Selatan, karena di daerahnya dirinya dicurigai oleh TNI dan masyarakat.
Rombongan tersebut terus bergerak via Lebak Selatan, jalan tersebut dipilih guna menghindari pasukan Belanda serta TNI, mereka terus bergerak menuju ke Cibaliung Karena wilayah tersebut tidak terlalu ketat dijaga oleh TNI. Pada saat perjalanan menuju ke Banten Selatan, sempat terjadi kontak senjata dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo, juga dengan kesatuan-kesatuan khusus yang dibentuk Belanda untuk menjaga perkebunan.
Dalam perjalanan ke Banten Selatan itu juga, rombongan BR banyak melakukan aksi-aksi pembunuhan. Mereka dengan mudahnya dapat menguasai Malingping, serta kemudian terus bergerak ke barat menuju Cibaliung. Laskar BR juga dapat dengan mudah menguasai Cibaliung, karena pada saat itu TNI sedang melakukan perkumpulan kembali di bagian utara Keresidenan Banten.
Laskar BR melancarkan aksinya di daerah Cibaliung, aksi tersebut dapat dibilang sangat kejam, yang itu bertentangan dengan ajaran agama Islam, mereka melakukan pembunuhan kepada pihak-pihak yang dianggap menjadi lawannya. Pada saat berada di Purwakarta, musuh mereka merupakan tentara Belanda, akan tetapi setelah berada di Banten, musuh mereka selain Belanda justru merupakan pemerintah Republik Indonesia, beserta aparat keamanannya.
Akibat hal tersebut, membuat masyarakat Banten menjadi gelisah akibat perbuatan mereka, kala itu banyak korban berjatuhan, diantara dari kalangan sipil, polisi, serta militer. Dari korban-korban tersebut antara lain ada Wakil Residen Banten Ahmad Fathoni yang ikut terbunuh, sedangkan Kepala Kepolisian Keresidenan Banten Komisaris Polisi Yusuf Martadilaga, Letnan Dua Mukhtar, serta Lurah Halimi dari Cibaliung, mereka bertiga sempat ditawan terlebih dahulu selama satu malam, hingga akhirnya dibunuh pada Minggu malam.
Besoknya pada tanggal 9 Oktober 1949, di daerah Cikeusik, mayat mereka dikubur pada satu lubang di pinggir sungai kecil dekat Desa Dahu, Kawedanaan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang. Setelah beberapa hari, ketiga mayat itu bisa ditemukan. Jenazah dari Yusuf Martadilaga akhirnya dimakamkan di pemakaman keluarga di Kampung Ciherang, kota Pandeglang.
Kemudian Wakil Residen Ahmad Fathoni dimakamkan di Serang, serta Letnan Dua Mukhtar dibawa ke Yogyakarta. Pada waktu yang bersamaan, pasukan BR lainnya membunuh Letnan Suwarno beserta 27 orang anggotanya di Kampung Sawah, Cibaliung. Ketika berada di Banten Selatan, Laskar BR menamai diri mereka dengan ”Rakyat Berjoang”, atau ”Rakyat Indonesia Berjoang”. Pasca membunuh ketiga pejabat tersebut, pada suatu tempat di Jawa Barat, di tanggal 11 Oktober 1949, mereka memproklamasikan berdirinya ”Tentara Rakyat”.
Laskar BR yang mengatasnamakan ”Rakyat Berjoang” sebanyak 24 orang di antaranya sebagai pimpinan Khaerul Saleh, serta Muhidin Nasution, dan yang membingungkan ialah bahwa K.H. Akhmad Khatib, disebut-sebut sebagai latar belakang berdirinya ”Tentara Rakyat” di Banten, karena dinilai bahwa mereka berpandangan negatif terhadap pimpinan nasional RI.
Disebutkan juga jika Sukarno – Hatta tidak dapat memberikan tuntunan, bersikap tidak tegas, serta tidak teguh, sehingga menurut mereka rakyat Indonesia kala itu terancam bahaya, serta menuju kehancuran. Mereka menilai jika Persetujuan Linggajati, Renville, serta Rum - van Royen dapat membawa perjuangan rakyat Indonesia ke Konferensi Meja Bundar, yang bagi mereka itu merupakan jebakan untuk Indonesia masuk ke dalam lingkaran penjagalan nasib, serta kemerdekaan rakyat Indonesia.
Mereka tak bisa tinggal diam ketika perjuangan kemerdekaan rakyat menuju kehancuran. Mereka tidak sepakat dengan diberlakukannya gencatan senjata, serta menjuluki pimpinan nasional yang setuju dengan genjatan senjata sebagai ”Belanda irêng”. Mereka tidak mau membiarkan nasib, kepentingan, serta kebutuhan hidup rakyat Indonesia berada pada tangan pimpinan yang dinilai lemah, pimpinan yang tidak berlandaskan terhadap kekuatan rakyat sendiri.
Menurut mereka, tidak ada golongan atau pimpinan yang sanggup membela serta menjamin cita-cita, kepentingan, bahkan kebutuhan rakyat Indonesia, kecuali rakyat itu sendiri. Oleh karenanya, mereka yang menamakan dirinya ”Rakyat Indonesia Berjoang” yang kemudian mendirikan ”Tentara Rakyat”. Bagi mereka, ”Tentara Rakyat” akan menuntun, membela, serta menjamin cita-cita, kepentingan, bahkan kebutuhan hidup rakyat Indonesia. Dinyatakan jika ”Tentara Rakyat” tidak akan meletakkan senjata sebelum semua yang diinginkan rakyat Indonesia tercapai.
Penulis: Ilham Aulia Japra