Damar Banten – Sebelum saya menyisir kepala Nanda Darius yang sedang menciptakan karya Opera Imamat Pembalasan, saya ingin memulai tulisan ini dari pelajaran menyisir, yang saya dapatkan dari Uyut (ibunya nenek), “heh, jang, mun sia nyisir bari ngaca teh bacakeun ieu: sisir aing, sisir gede, ditarik kumunding dua, ya, garu. Ya, garu. Ya, garu” Dalam bahasa Indonesia “nak, kalau kamu menyisir rambut sambil berkaca itu, bacakan ini (mantra): sisirku, sisir besar, ditarik dua kerbau, ya, garu. Ya, garu. Ya, garu”. Konon kata Uyut, kalau cara menyisir itu benar, kamu akan tampak bersinar.
Proses menyisir yang saya lakukan pada dasarnya mengikuti kebiasaan umum─dari depan ke belakang. Sambil membaca mantra tersebut, saya memproyeksikan keseimbangan wajah dan rambut. Belakangan saya mempertanyakan hubungan isi mantra yang diberikan Uyut dengan proses menyisirnya.
Mantra ini coba dibedah dari Tri Tangtu Sunda yang sering kali diuraikan oleh Jakob Sumardjo, bahwa Tri Tangtu adalah pola rasionalitas dari kosmologi masyarakat Sunda, yang merepresentasikan tiga susunan ruang: ruang atas (niskala), ruang bawah (sala) dan ruang tengah/antara (sakala-niskala). Tiga ruang tersebut menurut Jakob, terdistribusi dalam berbagai hal, harapannya ada kesatuan antara dunia yang dihidupi dengan dunia yang dikontruksi oleh pencipta, dengan kata lain, yang micro bersatu dengan yang macro atau yang wadag dengan yang halus. Dan ketika ada penyatuan, di situ ada keberkahan.
Misalkan pada kalimat: sisi aing, sisir gede bisa dipersepsi sebagai proses menyatukan objek aing (aku) dengan objek gede (besar), yang mana objek besar ini representasi dari keagungan-kebesaran yang dimiliki oleh pencipta. Sedangkan tarikan dua kerbau dan ya, garu adalah representasi proses membajak sawah dengan menggunakan kerbau. Kalimat ini sejatinya merepresentasi tiga objek yang bergerak, yaitu dua kerbau dan orang yang mengendalikannya. Posisi kerbau yang berada di depan (kanan dan kiri) ditengahi oleh orang yang mengendalikannya dari belakang, maka akan didapat tiga kesatuan yang selalu ada dalam proses membajak sawah dengan kerbau. Tiga kesatuan ini tentu bukan kebetulan, namun ia adalah kreativitas dalam meramu tiga kosmologi yang harus selalu ada dalam kehidupan masyarakat Sunda. Tujuannya mendapatkan keberkahan Tuhan.
Proses membajak sawah adalah satu tahapan dalam pertanian agraris untuk menanam padi dan menghasilkan beras. Dan jika kalimat tersebut diekuivalenkan dengan proses menyisir yang diberikan Uyut saya, maka menyisir adalah satu tahapan memantaskan diri dengan persepsi sosial yang menghendaki kerapihan, konsekuensinya adalah penerimaan dan keharmonisan.
Praktik menyisir Kepala Darius Dari Belakang Ke Depan
Dramaturgi yang saya gunakan dalam mengoperasikan karya yang dibuat oleh Nanda Darius diorder dari epistemik menyisir yang saya uraikan di atas, hanya saja, saya mulainya dari belakang ke depan. Darius saya bayangkan sebagai subjek “aku” yang menyisir dari belakang, proses ini saya maksudkan untuk melacak ke melekatan referensi yang tanpa sadar dia rujuk untuk karyanya.
Darius mempertegas rujukan karyanya dari karya-karya yang dibuat oleh Giuseppe Fortunino Francesco Verdi, seorang komposer Opera asal Italia yang lahir pada tanggal 9 atau 10 Oktober 1813 dan wafat pada tangga 27 Januari 1901. Berikut hasil cuplik dari beberapa sumber tentang kontribusi Verdi pada Opera: pertama, pengembangan struktur opera, Verdi mengembangkan dan menyempurnakan struktur opera tradisional, terutama dalam hal pengaturan drama dan musik. Ia dikenal karena menciptakan karya-karya dengan narasi yang kuat dan karakter yang mendalam; kedua, kualitas melodi yang tinggi, Verdi dikenal dengan melodi-melodi indah dan mudah diingat. Aria-aria dalam operanya sering menjadi bagian paling populer, seperti “La donna è mobile” dari Rigoletto dan “Va, pensiero” dari Nabucco; tiga, eksplorasi tema, Verdi mengeksplorasi berbagai tema, termasuk politik, cinta, dan tragedi manusia. Karyanya seperti Il Trovatore, La Traviata, dan Aida menunjukkan kemampuannya untuk menggabungkan tema-tema kompleks dengan musik yang mengesankan; keempat, inovasi orkestrasi, Verdi memperkenalkan teknik orkestrasi baru yang lebih kaya dan kompleks, memberikan warna dan dinamika baru pada opera. Dia sering menggunakan orkestrasi untuk mengekspresikan emosi dan menggambarkan suasana hati. kelima, pengaruh sosial dan politik, banyak opera Verdi memiliki elemen politik dan sosial yang kuat. Contohnya, Nabucco yang terkenal dengan paduan suara “Va, pensiero” menjadi simbol perjuangan kemerdekaan Italia; keenam, pengembangan karakter, Verdi sangat memperhatikan pengembangan karakter dalam operanya, memberikan kedalaman psikologis dan emosi yang realistis. Ini menjadikan karakternya lebih manusiawi dan dapat dipahami oleh penonton. ketujuh, kontribusi pada repertoar opera, banyak opera Verdi tetap menjadi bagian penting dari repertoar opera internasional hingga saat ini. Karya-karyanya sering dipentaskan di teater-teater opera terkemuka di seluruh dunia. Selain Verdi, saya minta Nanda untuk menguraikan karya-karya Opera yang telah diciptakannya, baik sebagai sutradara atau pun pemain, lalu muncul beberapa judul, diantaranya: Opera “Sangkuriang”, Opera “Lutung Kasarung”, Opera “Ciung Wanara”, Opera “Jogja Bay” dan beberapa karya yang telah diproduksi.
Proses menyisir refrensi Opera yang dimiliki Darius, sejatinya saya tujukan untuk menempatkan referensi pertunjukan pada ruang ekternal dirinya, sehingga pada praktik penciptaannya, Darius dapat mengkurasi kemelekatan atau bahkan menggugurkan kemelekatan tersebut. Sedangkan ruang internal yang saya maksudkan adalah proses Darius bermigrasi ke berbagai daerah, seperti Surakarta, Bandung, Yogyakarta, Bogor, Tanjungpinang, Riau, Jambi dan kini kembali ke Surakarta. Hal ini perlu diurai karena menyangkut strategi dirinya dalam memberdayakan ekosistem. Terutama kecenderungan penonton, cara-cara memperlakukan pemian/aktor dan proses alih wahana naskah dari kitab Yunani yang berjudul Henokh.
Dari dua epistemik ini (referensi eksternal dan internal) saya bayangkan sebagai mantra Uyut di atas, yang juga bisa diuraikan oleh Darius sebagai pra-konsepsi atau amunisi dalam mendesign karya Imamat Pembalasan fragmen, Trilogi Dosa Besar yang akan dipentaskan di Taman Budaya Jawa Tengah-Surakarta untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Studio-Dua minat penciptaan Pasca Sarjana ISI Surakarta.
Proses Menyisir Kepala Darius Dari Depan Ke Belakang
Design pertunjukan saya bayangkan dalam pelajaran menyisir di atas sebagai upaya memantaskan karya dengan realitas sosial, bagian ini akan berisi tentang penegasan strategi dalam memproyeksikan internal teks dan eksternal teks yang ditempuh oleh Darius.
Proposisi sebagai pernyataan utuh pengkarya, rupanya akan diorder Darius dari keadaan psikologis yang dirasakan dirinya, yaitu perasaan kembali ke kota, di mana ibunya tinggal; sublimasi diri yang kembara, kini pulang ke pangkuan ibunya. Jika disederhanakan menjadi kalimat “Di luar itu gaduh | Aku akan kembali ke rahim Ibu”.
Persoalan bentuk, gaya, metode dan teknik saya tahu kapasitas dirinya, bahkan sebelum tulisan ini selesai, Darius sudah mengarahkan dirinya. Sedangkan persoalan penonton, saya curiga Darius perlu melakukan negosiasi bahkan mengorder narasi penciri dari ISI Surakarta yang mendunia.
Penulis: Peri Sandi Huizche (Seniman Banten, berdomisili di Kentingan Surakarta)