Damar Banten – Idul Adha sering disebut juga hari raya qurban, karena pada hari tersebut orang-orang islam yang telah mencapai kemampuan finansial akan menandainya dengan prosesi penyembelihan hewan, seperti sapi, kerbau, kambing atau domba. Para ulama sepakat bahwa hukum qurban adalah sunnah muakadah, itu artinya sangat dianjurkan.
Bagi seorang muslim yang memiliki finansial lebih dan berniat menjalankan tuntutan agama dengan khidmat, terutama menginsafi keimanan nabi Ibrahim dan kepatuhan Ismail yang telah berkorban di jalan Tuhan, tentu akan menjadi wahana sublimasi ketika menggapai ritus tersebut. Dan bagi orang-orang yang menerima daging hewan qurban, daging akan memiliki makna konotatif sekaligus mengoperasikan tindakan lanjutan berupa ucapan syukur atas rezeki yang diterima seraya mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang telah berqurban.
Sampai di sini, kita bisa membayangkan dimensi teks yang diproduksi oleh anjuran agama dan teks yang diproduksi oleh dua aktor sosial yang disebutkan di atas. Lebih lanjut, mari kita menimang konteks yang melingkupi produksi teks tersebut, yakni waktu dan tempat. Tujuannya untuk melihat sejauh mana urgensi qurban begitu mudah disusupi aktor-aktor yang beroriantasi bisnis.
Teks Pembukaan dan Aktor-Aktor Yang Berperan
Bagi orang yang sedang menuntut ilmu waktu dibayangkan seperti pedang yang tajam sehingga setiap saat harus dimanfaatkan dengan tepat, hal tersebut sejurus-sepukul dengan pebisnis, waktu harus dilihat sebagai peluang untuk menghasilkan uang, bukankah kita sudah menormalisasi bila ada teks “hewan qurban di bulan Haji (bulan hijriah) harganya mahal”, karena hukum ekonomi tentang supply and demand berlaku.
Variasi harga hewan qurban yang beredar di beberapa tempat pun berbeda, seperti di Ibu Kota, di Kota-kota besar, di Kabupaten dan Desa, perbedaan harga ini dipengaruhi oleh biaya sewa tempat dan setting yang digunakan, selain ada stereotipikasi yang melekat pada ruang-ruang tersebut, faktor lain variasi harga dipengaruhi oleh kemelekatan teks yang mengoperasikan asal-muasal dan bagaimana cara perawatan hewan qurban, serta teks sampiran yang mengaitkan hewan qurban dengan status seseorang yang telah membelinya supaya mendapatkan sensi yang sama dengan calon pembeli sebelumnya, tujuannya adalah permainan harga supaya meningkat tajam.
Dimensi peristiwa jual-beli adalah satu alur pembukaan yang begitu drama, karena koor yang berbentuk desas-desus adalah bagian dari media promosi yang efektif, sekaligus pengantar untuk teks kelimaks yang dibangun, yaitu hewan qurban diperoleh melalui tahapan yang kompleks, dramatis dan berharga.
Teks Klimaks dan Aktor yang Berperan
Susunan kepanitian di tempat penyelenggaraan qurban adalah keniscayaan untuk menciptakan teks keteraturan, seperti pengaturan prosesi, pendistribusian, pembagian peran dan lain sebagainya.
Dalam hal ini kita perlu membaca aktor penting selain orang yang hendak qurban, yaitu aktor yang mengeksekusi hewan kurban, bagaimana tidak, teks penting untuk menyengga kehadirannya adalah “apalah artinya hewan qurban bila tidak disembelih”, teks tersebut seakan mengafirmasi ketokohan yang mutlak hadir.
Di beberapa daerah, penyembelih hewan biasanya memiliki rekam jejak yang baik, bahkan ia akan dihubungkan dengan garis keturunan dan klan tertentu. Profesi ini pun sampai diabadikan pada nama tempat, yakni Jagalan yang artinya tempat memotong hewan, ada juga yang mengartikan barang jualan, diambil dari kata Jagal, yakni orang yang bertugas menyembelih binatang ternak. Profesi yang melekat pada aktor sosial ini sejatinya membentangkan permodalan yang berupa ilmu, alat sembelih, baju dan kini transportasi. Maka tidak salah jasanya sangat dibutuhkan. Dahulu bagian hewan qurban yang diberikan pada aktor ini adalah bagian kulit, karena bagian itu memiliki potensi untuk dijual. Namun, saat ini mereka lebih sering memilih “mentahannya” saja, untuk satu potong hewan qurban dihargai sebesar Rp, 200.000. Sekali lagi, hukum ekonomi berlaku: di mana ada permintaan di situ ada penawaran.
Konklusi
Rupanya kapitalisme itu sudah menjadi institusi dalam setiap kepala kita, lagi-lagi di mana ada peluang ekonomi-jasa, di situ hukum permodalan berlaku termasuk dalam idul qurban yang masih dipersepsi penyucian. Ya, kapitalisasi agama semakin niscaya. Begitulah.
Penulis : Peri Sandi Huizche
Seniman