Salamuddin Daeng
Kasihan Sinuhun, malu kepada Internasional, dan tidak tau mau menaruh muka/wajah di mana. Persoalannya, semua janji beliau untuk menurunkan emisi terancam gagal total. Apa buktinya?
Target pengurangan penggunaan energi fosil melalui bauran energi Indonesia, sampai saat ini, masih berantakan., tidak ada kemajuan sama sekali, bahkan cenderung mengalami kemunduran dari waktu ke waktu. Mengapa bisa terjadi? Karena, BUMN –sebagai pelopor, sekaligus penentu keberhasilan target penurunan emisi– justru berjalan mundur. Perusahaan Listrik Negara (PLN)yang mendapat tugas besar untuk meraih komitmen ini malah melakukan langkah yang berlawanan dengan tujuan kesepakatan perubahan iklim.
Lihat saja, persentasi dari komposisi penggunaan batubara dalam pemenuhan listrik nasional malah meningkat. Sepanjang tahun 2016 – 2020, penggunaan batubara terus meningkat, sementara penggunaan Energi Baru Terbaharukan (EBT) dalam bauran listrik nasional pada periode yang sama tidak menunjukkan kemajuan yang berarti.
Padahal bauran (EBT) memegang posisi kunci dalam konteks pencapaian target penurunan emisi karbon Indonesia, sebagaimana dijanjikan Presiden Jokowi. Mengapa ? Bagi Indonesia– yang memiliki kekayaan sumber energi non fosil memegang peran utama dalam pencapaian komitmen bersama dalam isu perubahan iklim tersebut.
*Mengapa Penurunan Emisi Karbon Penting?*
Mungkin banyak orang bertanya ; Apa pentingnya penurunan emisi bagi Indonesia? Jawabannya, tentu saja sangat penting. Alasannya : Pertama, dari aspek global, masalah perubahan iklim ini telah menjadi komitmen utama lembaga keuangan multilateral dan bank -bank internasional terkait dengan pembiayaan ekonomi dan investasi internasional. Tahun 2025 adalah akhir dari pembiayaan fosil oleh perbankkan, dan tahun 2030 menjadi titik akhir dari pembiayaan fosil oleh seluruh institusi keuangan Internasional.
Kedua, presiden telah berjanji kepada masyarakat dunia dan bangsa Indonesia untuk menurunkan emisi karbon secara progressif. Salah satu caranya adalah} meningkatkan bauran energi. Janji ini erat kaitanya dengan usaha Indonesia menarik pinjaman luar negeri dan investasi. Jika tidak dipenuhi, maka sulit bagi Indonesia dalam melakukan recovery ekonomi.
*Ketiga*, Indonesia telah meratifikasi dan mengesahkan perjanjian perubahan Iklim COP 21 yang selanjutnya disahkan melalui UU. Jadi, kegagalan ini adalah pelanggaran terhadap UU. Dan kegagalan ini dapat dibuktikan melalui perkembangan tahunan sejak UU ini disahkan.
*Keempat,* tingginya tingkat pencemaran udara, bencana alam, akibat penggunaan energi fosil, terutama batubara untuk pembangkit listrik. Banjir Kalimantan yang sangat dahsyat baru baru ini merupakan akibat tingginya eksploitasi batubara disana.
Janji Jokowi
Presiden Indonesia telah membuat janji dalam forum Perjanjian _Conference of the Parties (COP) 21_ Paris. COP adalah perjanjian dibawah _United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)_ yang diselenggarakan pada tanggal 30 November hingga 12 Desember 2015 di Paris.
Selanjutnya, Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris ke dalam dokumen legal penyelenggaran pemerintahan pada tahun 2016, dan berkomitmen untuk melakukan penurunan emisi sebelum tahun 2030. Komitmen tersebut adalah sebesar 29 persen dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan bantuan dari pihak eksternal, seperti organisasi internasional maupun dari negara anggota UNFCCC lain.
Sebagai tindak lanjut dari komitmen Indonesia selama COP 21, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris ke dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 pada 19 Oktober 2016. Dengan demikian perjanjian ini telah bersifat mengikat atau legally binding. Jika pemerintah mengabaikannya, hal itu berpotensi melanggar UU yang berlaku.
Oleh karena itu, sebagai upaya mitigasi dan adaptasi , pemerintah Jokowi, telah berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan dari 17 persen menjadi 23 persen (dari total konsumsi energi pada tahun 2025) dan 29 persen pada tahun 2030.
Janji yang hebat pada dunia, namun upaya ke arah pencapaian itu belum menunjukkan hasil yang berarti. Banyak sekali aral melintang yang justru datang dari ketidakmampuan BUMN — dalam hal ini BUMN energi– mengikuti misi Presiden Jokowi.
Menyoal Inovasi
Sayangnya, BUMN yang menjadi tulang punggung Indonesia dalam peningkatan bauran energi ternyata tidak berbuta banyak, bahkan kehilangan inovasi dan terobosan. Sepertinya, BUMN energi Indonesia menaruh topeng buruk ke wajah Sinuhun dihadapan para pemimpin dunia lainnya.
Bayangkan saja, Perusahaan Listrik Negara (PLN) –sebagai pemegang kunci dalam isu ini– praktis tidak bekerja dengan baik. Kinerja mereka sangat buruk dalam mewujudkan harapan sinuhun, paling tidak sejak ratifikasi perjanjian COP 21 Paris menjadi UU. Buktinya, penggunaan energi fosil batubara di PLN praktis tidak tergoyahkan dan makin dominan.
Data menunjukkan, sepanjang tahun 2017 – 2020, penggunaan batubara di seluruh pembangkit meningkat dari 58,4 persen menjadi 66,3 persen, dan pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 70,1 persen. Sebaliknya, penggunaan Energi Baru Terbaharukan (EBT) malah jalan ditempat: pada 2024 diperkirakan hanya 13,7 persen, dibandingkan penggunaan di tahun 2020 (13,2 persen). Padahal, negara di belahan benua lain terus bergerak maju. Des kesimpulannya: semua janji Presiden Jokowi, gagal direalisasikan!
Sementara itu, dalam KTT virtual– yang dihadiri 80 negara, termasuk China– tahun lalu, Uni Eropa telah membuat kesepakatan mengikat untuk menurunkan emisi hingga 55 persen pada tahun 2030. Selanjutnya,  pada akhir tahun 2021 ini akan berlangsung pertemuan tindak lanjut COP 21 yang  akan berlangusng di Glasgow Scotlandia (COP 26). Pertemuan ini akan membawa kepada suatu komitemen yang lebih tinggi lagi, yaitu negara negara Uni Eropa akan mengakhiri sama sekali penggunaan batubara, dan sebuah konsensus baru yang ingin dicapai adalah mengakhiri pembangkit listrik batubara di seluruh dunia pada tahun 2050. Lalu, apa pandangan mereka terhadap  Indonesia, sebagai salah satu eksportir batubara di dunia? Mungkin pemerintah negara ini hanya akan dianggap gombal.
Penulis adalah Peneliti Senior AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia)