Catatan Bayu Krisnamurthi 7 Juni 2021
Ketika jalan pagi tadi ditemani lantunan musik dari ‘playlist’, agak merenung saat mendengar lagu Dewi Lestari “Malaikat Juga Tahu” terutama pada bagian lirik: …. namun tak kau lihat, terkadang malaikat tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan … Dan entah bagaimana, lagu itu kemudian mengantarkan pada ingatan tentang kisah wayang Sumantri dan Sukrasana.
Sumantri adalah kesatria gagah rupawan yang sangat sakti mandraguna, putra dari seorang begawan yang terkemuka arif bijaksana. Sedangkan Sukrasana adalah adik dari Sumantri, tetapi berbeda dengan kakaknya, memiliki wajah yang buruk dengan penampilan yang memalukan seperti raksasa kerdil.
Dikisahkan Sumantri lancang mengingkari tugasnya dan berkhianat pada kerajaan Maespati bahkan berani menantang perang sang raja Prabu Harjuna Sasrabahu yang notebene adalah ‘bossnya’. Perang tanding terjadi, dan Sumantri kalah. Dengan menghiba-hiba dia memohon agar diampuni. Sasrabahu kemudian mengabulkan dengan syarat: harus mampu membangun taman seindah Taman Sriwedari yang ada di khayangan.
Sumantri kebingungan dengan tugas maha sulit itu. Ditengah galaunya, Sukrasana datang menghampiri kakaknya. Sukrasana kemudian menyanggupi untuk membantu kakaknya dengan satu permintaan sangat sederhana: jangan ditinggal lagi, boleh ikut menemani sang kakak kemanapun. Sumantri menyetujui. Dengan kesaktian yang luar biasa dan tak lazim Sukrasana kemudian berhasil memindahkan Taman Sriwedari dari khayangan ke halaman kerajaan Maespati.
Namun sikap khianat Sumantri berulang. Dia masih malu atas adiknya yang buruk rupa itu, dan meminta Sukrasana bersembunyi saja dan melarang menemuinya ditempat umum. Sialnya, ternyata ada yang melihat dan menjadi ketakutan dengan sang adik yang buruk rupa, lalu meminta Sumantri mengusirnya. Sumantri menakuti-nakuti dengan mengancam mengarahkan panah, apa mau dikata tak sengaja panah terlepas dan membunuh Sukrasana yang lugu dan sederhana itu. Sumantri menangis, sebuah penyesalan diakhir yang tidak ada gunanya lagi.
Kehidupan memang banyak diwarnai dengan ‘the ugly truth’ seperti itu; bahwa yang benar itu kadang mempunyai rupa yang buruk, dan kita tidak menyukainya.
Misalnya, soal subsidi pupuk. Sudah sangat banyak hasil kajian ilmiah yang mengatakan bahwa subsidi pupuk sudah tidak lagi menambah produktivitas padi dan sebagian tanaman pangan lain. Subsidi pupuk hanya berguna untuk mempertahankan produktivitas yang ada. Ditengah fakta konversi lahan dan peningkatan permintaan – yang mengharuskan terjadinya peningkatan produktivitas, bukan hanya mempertahankan – kebijakan subsidi pupuk dengan dana yang sangat besar sudah semestinya benar-benar ditinjau ulang. Itulah ‘the ugly truth’, tetapi kita tidak menyukainya.
Contoh lain soal sertifikasi keberlanjutan yang sekarang banyak memperdebatkan hal legalitas lahan. Mungkin pertanyaannya: apakah yang dinyatakan tidak legal itu benar berkaitan dengan deforestasi? Lalu sekiranya memang terkait deforestasi, apakah sudah pasti berarti tidak berkelanjutan? Mungkin itu juga adalah pertanyaan-pertanyaan terkait ‘the ugly truth’, dan banyak yang sudah terlanjur tidak menyukainya sehingga tidak mau lagi mencari jawabnya. Padahal di Eropa yang sering mempeributkan hal ini saja sekarang sudah ada pendapat bahwa ‘memotong pohon itu baik bagi lingkungan’.
Atau pada soal Garuda, pendapat mendiang pak Robby Djohan– sebagaimana dikutip mas Sunarsip di Republika pagi ini – juga tampaknya dapat menjadi contoh bentuk lain dari ‘the ugly truth’. Pak Robby kira-kira mengatakan ‘alasan utama kenapa Garuda runtuh adalah karena bank memberi kredit untuk membiayai arus kas yang defisit’. Lalu pak Robby melanjutkan ‘silahkan ambil saja pesawat-pesawat terbang tak produktif yang telah menjadi jaminan kredit itu’. Tak banyak diantara kita tampaknya yang dengan tegas mau mengatakan ‘the ugly truth’ seperti pak Robby.
Atau ‘warning’ yang diungkapkan sahabat kita Prof Bustanul Arifin – yang baru saja dikukuhkan sebagai Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia – bahwa Covid telah menyebabkan terjadinya tambahan tiga jutaan orang miskin; yang diperberat dengan ancaman kenaikan harga pangan dunia terutama minyak makan, sereal, daging, dan gula. Bentuk ‘the ugly truth’ lain yang mengharuskan kita sigap untuk bersiap menghadapinya.
Diantara lirik lagu Dewi Lestari diatas ada bagian yang menyatakan “… kau slalu bercanda andai wajahku diganti …”. Tentu itu bukan pilihan yang benar dan baik: berpura-pura, menutupi atau mengganti kebenaran yang ada hanya karena kebetulan buruk rupanya. Mungkin yang lebih tepat adalah menyadari dan menerima sungguh-sungguh bahwa “…. terkadang malaikat (memang) tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan …. “, karena seberapa buruk-rupa pun kebenaran itu tetap adalah ‘malaikat’ yang layak untuk disambut dan diakui.
Kiranya kita selalu mendapat petunjuk jalan yang lurus, istikhomah dalam kebenaran meskipun terlihat buruk, dan sekaligus juga dapat meredam dan mengendalikan ‘bayang-bayang Sumantri’ dalam jiwa kita agar tak menyesal dikemudian hari. Semoga bisa.–