Persentuhan politik BK di awal kehidupan remajanya menghasilkan pluralisme keyakinan politiknya. Pluralisme bukan pluralistik. Arfandi Cenne dalam Pemikiran Politik Soekarno Tentang Nasakom (2016) mengatakan itu sebagai eklektik, tapi saya lebih memilih pluralisme.
Pluralisme artinya Sukarno benar-benar percaya bahwa ada tiga “isme” yang mampu bersatu membebaskan Indonesia, yakni Islamisme, Marxisme, dan Nasionalisme. Islamisme tentu merupakan isme awal interkasi BK dengan Tjokroaminoto, guru politik pertama dan mertuanya diusia belia. Tjokro mengajar Islam sebagai alat pembebasan atas penderitaan rakyat dan perjuangan pembebasan itu bersifat internasional.
Bersamaan dengan Islamisme, BK berinteraksi dengan senior-senior anak kos di kediaman Tjokroaminoto, di Surabaya, yang tumbuh kemudian dalam isme lain, yakni Sosialisme. Tokoh-tokoh utama Sosialisme adalah, Muso, Sneevliet, Alimin, Tan Malaka, dan Samaun, yang gigih menggerakkan massa buruh pelabuhan, kereta api dan perkebunan saat itu, sebagai aktifis Sarekat Islam (SI).
Dalam tubuh SI saat itu ada tokoh-tokoh yang hanya memanfaatkan SI sebagai “kuda Troya” untuk memasarkan Sosialisme yang dibawa Henk Sneevliet sebagai ideologi penggerak, namun ada juga yang meyakini Sosialisme itu sama dengan Islamisme, seperti Haji Misbach di SI Solo. Di sisi lainnya, Tan Malaka yang komunis, meminta sinergitas politik Islam dan Komunisme terjadi.
Soekarno ketika mahasiswa di Bandung berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang juga beragam. Selain tokoh-tokoh Islam, seperti A. Hassan, Persis, bertemu juga tokoh2 nasionalis, seperti pendiri Indische Partij, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara. Tentang nasionalisme ini juga mungkin karena bersentuhan dengan organisasi Budi Utomo, Jong Java dan situasi dunia paska perang dunia pertama. Untuk yang terakhir ini, kekalahan Dinasti Ustmaniyah Ottoman, telah membuat negara-negara Islam di Arab dan Asia terbagi dalam satuan negara berbasis nasional maupun tanah air. Istilah cinta tanah air menjadi gerakan di mana-mana melawan penjajah.
Nasionalisme bagi Bung Karno sesungguhnya kurang memiliki batas yang jelas. Di satu sisi Bung Karno merujuk pada Ernest Renan bahwa Nasionalisme terjadi karena kesamaan sejarah dan kesamaan cita-cita. Dalam terminologi Ben Anderson atau Ernest Gellner, merujuk pada teori modernitas, kebangsaan itu hanyalah produk modernisasi atau industrialisasi. Namun, ketika Sukarno menulis “Naar Het Bruine Front” di tahun 1927, Sukarno merujuk pada pembedaan warna kulit, kulit putih (asing) versus kulit cokelat (pribumi).
Hal ini merujuk pada teori biologi atau sosio-biologi. Hitler dulu menggunakan teori biologi ras, yang menerangkan usul Bangsa Jerman sebagai ras Aria, untuk membangun nasionalisme Jerman. Namun, menurut BK nasionalisme Hitler adalah fasis dan Jingoisme, yang dia tidak sepakat.
Nasionalisme digunakan BK untuk mengikat kelompok ideologis lainnya, dalam persatuan perjuangan. Namun, dalam versi lain berimpit sebagai Marhaenisme.
Teguh Santosa
Mantan Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK)
Baca Sebelumnya : mengenang ideologi soekarno muda
Baca Selanjutnya : marhaenisme
[…] Baca Selanjutnya : nasionalisme-2 […]