By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Damar BantenDamar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama Damar Banten
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Video
Reading: Marhaenisme (3)
Share
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Damar BantenDamar Banten
  • Beranda
  • Utama
  • Seputar Banten
  • Ekonomi dan Bisnis
  • Wisata-Budaya
  • Olahraga
  • opini
  • Figur
  • Seputar Banten
  • Komunitas
  • Utama
  • Ekonomi – Bisnis
  • Wisata dan Budaya
  • Olah Raga
  • Figur
  • Sorotan
  • Contact
  • Blog
  • Complaint
  • Advertise
  • Advertise
© 2025 Damar Banten.
Polhukam

Marhaenisme (3)

Last updated: Mei 31, 2021 6:08 pm
4 tahun ago
Share
4 Min Read
Marhaenisme, Foto : (Sumber, pdiperjuanganbuleleng.com)
SHARE

Marhaenisme adalah nasionalisme versi Bung Karno. Dalam sebuah versi, Marhaenisme ini menjelaskan tentang konsep “self-reliance” (kemandirian), tentang sosok yang mengkonsumsi apa yang diproduksinya. Namun, versi lain, seperti dalam “Indonesia Menggugat” Marhaenisme juga merujuk pada buruh perkebunan gula yang tertindas. Kadangkala BK menggunakan istilah Kromo dan Marhaen sebagai substitusi, kadang keduanya eksis.

Marhaenisme dalam komparasi perjuangan kaum Buruh di Eropa, dalam pisau bedah Sosialisme ataupun Marxisme tidak berimpit namun BK memaksakan agar bisa diterima sebagai sebuah tesis. Memang kala itu Sosialisme di luar eropa, seperti di Rusia, apalagi di negara-negara jajahan, yang agraris, kesulitan merekonstruksi dialektika sejarah materialisme berbasis petani kecil (bukan buruh) versus kapitalis.

Dalam “Indonesia Menggugat”, dengan sekitar 70 pemikir Barat sebagai referensi, yang digunakan BK menjawab pertanyaan mengapa dia berjuang dan untuk siapa dia berjuang, BK menunjukkan vis a vis rakyat tertindas melawan kapitalisme dan imperialisme tidak menggunakan pisau analisa Marhaenisme.

Mayoritas pisau analisa yang digunakan adalah sosialisme dan Marxisme. Namun, ketika menjelaskan kaum Marhaen harus bergerak melawan penjajah secara radikal dan revolusioner, BK secara “self-proclaimed” coba mensejajarkan atau mengkomparasi perjuangan kaum buruh di Belanda dengan kaum Marhaen di Indonesia saat itu.

Misalnya, ketika BK menjelaskan soal upah, BK menunjukkan struktur Kapitalisme dan Imperialisme yang meletakkan buruh hanya sebagai penyedia tenaga kerja murah dan sebagai pasar/penyerap kelebihan pasar produk-produk Belanda.

Dalam struktur Kapitalistik, investasi/modal dan infrastruktur tidak dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat, melainkan hanya berfungsi untuk mempercepat eksploitasi sumber daya alam saja.

Sukarno memperlihatkan 70 persen hasil kekayaan penjajahan di bawa ke Belanda. Sebaliknya, upah buruh pabrik gula per hari saat itu 0,45 gulden untuk lelaki, 0,35 gulden perempuan dan harga beras 0,07 gulden per kg, artinya upah buruh setara dengan 6 kg beras.

Kejahatan imperialisme (tua dan modern) itu, selain soal akumulasi kapital, penindasan buruh dan pencarian pasar bagi “over supply” produk-produk di Belanda maupun negara barat, juga menghancurkan budaya rakyat. BK mengatakan Imperialisme memporak-porandakan seluruh sistem sosial. Dan kemudian dijustifikasi oleh ahli-ahli sosial barat, maupun kaum agamawan mereka bahwa sudah sepantasnya penjajahan itu diterima sebagai bagian mendidik bangsa rendahan seperti Indonesia.

Sukarno menolak persepsi “kasta rendah” yang coba dibentuk kaum penjajah terhadap rakyat Indonesia.

Dalam perspektif teori post-kolonial, intelektual barat memang dibiayai oleh kapitalis penjajah untuk melakukan stigmatisasi dan stereotifikasi bangsa kita sebagai bangsa inferior, kasta rendah, kanibal, tahayul, pemalas dan lainnya. BK, sebagaiman kemudian hari Edward Said, ahli teori postkolonial, menuduh argumen ahli barat itu, bahwa stigmatisasi itu memang diperlukan mereka untuk menciptakan ketergantungan permanen, dan kerusakan total budaya bangsa harus terus menerus dipelihara agar harga diri kita musnah dan kemandirian, apalagi rasa ingin merdeka, tidak pernah terpikirkan lagi.

Dari konstruksi di atas, di mana Sosialisme dipakai sebagai pisau analisa sedangkan Marhaenisme digunakan sebagai isme pemersatu rakyat kecil terjajah, maka Marhaenisme kemudian berkembang sebagai mixed atau bercampur antara Nasionalisme dan Sosialisme.

Teguh Santosa
Mantan Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK)

Baca Sebelumnya : nasionalisme

Baca Selanjutnya : anti kapitalisme dan oligarki

You Might Also Like

Gaji Hakim Naik 280 Persen
Tingkatkan Kerjasama, Prabowo Bertandang ke Thailand
Napak Reformasi’98: Mengenang Tragedi dan Menguatkan Komitmen HAM
Terima Bintang Kenegaraan Brunei, Prabowo Dijemput Putera Mahkota
Gerindra Banten Gelar Pertemuan Bakal Calon Kepala Daerah Se-Banten
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Find Us on Socials

Berita Terkait

Komnas Perempuan: Perempuan Penyandang Disabilitas Rentan Mengalami Kekerasan Seksual

1 tahun ago

Pembredelan Media Massa Oleh Pemerintahan Orde Baru Tahun 1994: Sebuah Tinjauan Historis

1 tahun ago

Andra Soni : Anak Petani Hingga Ketua DPRD Provinsi Banten

1 tahun ago

Perang Enam Hari: Konflik Singkat Yang Mengubah Peta Timur Tengah

1 tahun ago

Damar BantenDamar Banten
© 2025 Damar Banten | PT. MEDIA DAMAR BANTEN Jalan Jakarta KM 5, Lingkungan Parung No. 7B Kota Serang Provinsi Banten
  • Iklan
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?