Swary Utami Dewi
Pegiat Perhutanan Sosial dan Tim Climate Reality Indonesia
Indonesia memiliki falsafah hidup bangsa yakni Pancasila. Pancasila digali dari nilai-nilai
luhur yang dimiliki manusia Indonesia sejak lama. Sebagai falsafah hidup, sejatinya
Pancasila telah merasuk ke pikiran, rohani, sikap dan tindakan setiap manusia Indonesia.
Namun, nyatanya kita sering mendengar kritik dan menemukan fakta bahwa Pancasila tinggal
slogan semata. Dalam konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA), penguasaan
kelompok yang memiliki akses modal dan kuasa masih sering ditemui. Pada gilirannya ini
membuat jurang kaya dan miskin makin menganga lebar dan lingkungan rentan kerusakan.
Apakah ada yang salah dengan pemahaman kita tentang Pancasila sehingga Pancasila yang
hakiki kerap tidak muncul dalam PSDA? Bagaimana seharusnya ini dilihat dari sudut
pandang Pancasila?
Tulisan ini mengulas kealfaan kita sebagai bangsa dalam memahami Pancasila. Pancasila bisa
jadi tidak menyentuh hal mendasar dari diri manusia Indonesia, yakni spiritualitas, baik
sebagai individu maupun bangsa. Sisi hakiki inilah yang selama ini kerap luput dan tidak
dihidupkan, baik dari cara kita memahami, kemudian mengejawantahkan Pancasila dalam
kehidupan kita. Dalam konteks PSDA, saya meyakini bahwa tanpa pemahaman spiritualitas
dalam Pancasila, maka praktik di lapangan akan meminggirkan yang lemah, memperkuat
yang sudah mampu/kaya serta menimbulkan kerusakan lingkungan. Intinya semua praktik
yang tidak tepat yang akan berlangsung dan terus berlangsung.
Saya memulai tulisan ini dengan memberikan makna sederhana dari spiritualitas. Dewit-
Weaver (dalam McEwen, 2004) mendefinisikan spiritualitas sebagai bagian dari dalam diri
individu (core of individuals) yang tidak terlihat (unseen, invisible). Meski tidak terlihat
namun ia berkontribusi terhadap keunikan. Selain itu, ia juga mampu mendekatkan manusia
dengan nilai-nilai transendental serta kekuatan yang Maha Tinggi (High Power). Ini
selanjutnya akan memberikan makna, tujuan, dan keterhubungan atau koneksi antara manusia
dengan Yang Ilahi tersebut. Jadi pada saat spiritualitas ini diraih, manusia dapat terhubung
dan mendekatkan diri dengan Tuhan dan menemukan makna serta tujuan hidup yang
transendental dan hakiki. Juga, manusia akan merefleksikan spiritualitas ini dalam kehidupan
sehari-hari.
Lalu, bagaimana menghubungkan antara spiritualitas ini dengan Pancasila? Saya menemukan
paparan menarik dari seorang sahabat, Dr. Yudi Latif, tentang Pancasila, dalam diskusi
virtual ahun lalu, bertemakan Pancasila, yang digelar oleh Kedutaan Besar Indonesia di
Singapura, pada 31 Mei 2020. Yudi, panggilan akrabnya, menjelaskan hakikat manusia
dalam Pancasila, yang dibedahnya dalam masing-masing sila. Hakikat ini dikaitkan dengan 3
dimensi atau kodrat manusia. Pertama adalah dimensi fisik – biologis (tingkat otak, kedirian
atau selfness). Kedua, dimensi rohani yang berkaitan dengan akal, etika, moralitas dan
kebijaksanaan. Terakhir adalah dimensi sosial, berkaitan dengan relasi antar sesama manusia.
Tiga dimensi inilah yang melekat pada hakikat manusia Indonesia dalam Pancasila.
Pertama, Sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Hakikat manusia dalam Sila Pertama ini harus
dilihat dari pemahaman bahwa manusia adalah mahluk yang diadakan oleh Maha Pengada
yang penuh kasih. Ada dimensi rohani dan spiritual di sini. Karena diciptakan oleh Tuhan
yang penuh kasih sayang, maka manusia hakikatnya juga merupakan mahluk yang penuh
welas asih. Saat mendekatkan diri dengan Tuhan, manusia melakukannya dengan penuh
kasih. Demikian pula selanjutnya, welas asih direfleksikan oleh manusia terhadap sesama.
Inilah yang disebut sebagai Ketuhanan yang berdasarkan pada welas asih.
Terkait dengan Sila Kedua, manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang selalu harus
ada bersama yang lain, tidak hidup sendiri. Ada dimensi sosial pada diri manusia. Perlu
dicatat bahwa “yang lain” di sini berarti cakupannya tidak hanya hidup dengan sesama
manusia, tapi juga dengan mahluk lainnya. Hidup bersama mahluk lain dengan sesungguhnya
hanya mungkin dilakukan jika manusia mengembangkan cinta kasih. Kita tidak mungkin bisa
hidup bersama dengan dasar kebencian. Inilah yang disebut sebagai perikemanusiaan.
Ketiga, manusia sebagai mahluk sosial memerlukan pergaulan dan ruang hidup. Karena perlu
ruang hidup, maka manusia butuh mengembangkan kebangsaan atau nasionalisme.
Mengingat begitu kayanya keragaman Indonesia, maka yang diperlukan di sini adalah
nasionalisme yang inklusif (civic nationalism), yang mampu merangkul semua.
Keempat, manusia sebagai mahluk sosial pasti berpotensi mengalami konflik dengan yang
lain. Jika terjadi konflik tentu saja harus diselesaikan, tidak dibiarkan. Penyelesaian konflik
dilakukan dengan cara yang penuh cinta kasih, sesuai dengan kodrat manusia sebagai mahluk
welas asih yang diadakan oleh Sang Maha Kasih. Selain itu, manusia sebagai mahluk sosial
juga perlu mengambil keputusan bersama dalam banyak hal. Pengambilan keputusan bukan
untuk menang-menangan, bukan dengan mengutamakan otot dan kekerasan. Maka sejatinya,
pengambilan keputusan ini dilakukan dengan dasar cinta kasih, yakni musyawarah.
Pengambilan keputusan penuh cinta kasih ini tentu saja memerlukan orang-orang arif
bijaksana, yang mau mendengar perkataan dari siapapun, yang bersifat tidak apriori, yang
mampu mengambil keputusan terbaik bagi semua.
Terakhir, terkait Sila Kelima, perlu dipahami bahwa manusia adalah mahluk rohani yang
menjasmani. Ada jiwa, ada raga. Maka tentunya, ada kebutuhan jasmani yang diperlukan
manusia. Untuk memenuhi keperluan jasmaniah, manusia sebagai mahluk welas asih,
sejatinya melakukannya dengan dasar cinta kasih. Karenanya, tidak boleh misalnya ada yang
menguasai sumber daya alam dengan serakah yang membuat orang lain menderita, yang
membuat banyak orang tidak sejahtera. Tidak boleh ada yang menguasai sendiri sumber-
sumber hajat hidup orang banyak. Dalam hal ini, tepatnya, cara cinta kasih manusia untuk
memenuhi kebutuhan jasmani tersebut adalah dengan menjalankan keadilan sosial, keadilan
distributif atas dasar kreativitas dan keberhasilan seseorang. Keadilan ini tentunya juga tidak
melupakan kebaikan dan kesejahteraan semua manusia dan mahluk lainnya di bumi ini.
Dari penjelasan Yudi tersebut, saya melihat bahwa spiritualitas yang menjiwai setiap sila dari
Pancasila akan menimbulkan implikasi yang berbeda dibandingkan dengan pemahaman semu
dari Pancasila. Dalam konteks “Adaptasi Kebiasaan Baru” masa pandemi, pemahaman
mengenai Pancasila secara spiritualitas sangat perlu dibangkitkan dan dikuatkan kembali,
untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika tidak, maka kita akan
masuk dalam adaptasi baru yang semu belaka, di mana praktik yang tidak tepat bisa terus
berlanjut.
Dalam lingkup “adaptasi semu” itu, kita bisa jadi hanya akan peduli dengan diri sendiri
sebagai efek dari jaga jarak misalnya, dan menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan kita.
Kemudian bagi mereka yang berkecukupan hanya peduli dengan kebutuhan diri dan
keluarganya dan melupakan kelompok yang paling terdampak. Bisnis baru terkait barang-
barang kebutuhan dalam era “Adaptasi Kebiasaan Baru” malah akan membuat yang kaya
menjadi kaya dan yang miskin semakin termarjinalkan. Harga Alat Pelindung Diri (APD),
desinfektan, vitamin dan suplemen misalnya pernah sangat membumbung tinggi. Harga

berbagai barang kebutuhan dasar dipatok melambung oleh pasar sehingga konsumen dari
ekonomi lemah tidak mampu menjangkaunya.
Pancasila yang dimaknai secara spiritualitas akan membuat era “Adaptasi Kebiasaan Baru”
sebagai era yang benar-benar baru. Dekonstruksi pemahaman yang tepat akan terwujud
dalam sikap dan tindakan yang tepat (termasuk juga kebijakan penyelenggara negara).
Pemaknaan Ketuhanan tidak hanya berhenti pada masalah ibadah ritual, tapi juga terkait
dengan hubungan dengan sesama manusia. Ini juga menempatkan adanya penghargaan yang
tulus terhadap keyakinan yang berbeda dan merefleksikannya dalam segala tindakan berbasis
welas asih terhadap sesama. Tindakan welas asih ini diterapkan melalui laku-tindak dalam
berbagai sendi kehidupan oleh pihak manapun di masa adaptasi ini.
Penerapan Sila Kedua misalnya, akan mengubah cara menetapkan dan membagi dukungan
bagi mereka yang paling terdampak pandemi oleh penyelenggara negara. Dukungan tersebut
tidak kemudian menjadikan mereka tergantung tapi memuliakan martabat mereka sebagai
manusia. Bisa jadi bentuk penerapannya adalah pemberian bibit organik kepada masyarakat
terdampak disertai panduan tanam untuk menjamin keamanan dan kemandirian pangan
mereka, sebagai pelengkap pemberian kebutuhan pokok. Bisa pula dalam bentuk dukungan
terhadap berbagai hal terkait lainnya ternasuk proses distribusi yang adil dan cepat ke
konsumen.
Dalam konteks Sila Ketiga, bantuan ini sejatinya tersedia bagi siapapun yang membutuhkan
tanpa membedakan agama, ras dan etnis, ataupun golongan tertentu (termasuk mereka yang
memiliki afiliasi politik yang berbeda dengan rezim).
Dalam konteks Sila Keempat, adaptasi baru yang sesungguhnya, akan termanifestasi
misalnya dalam berbagai pengambilan keputusan di era adaptasi ini. Jangan dilupakan bahwa
mereka yang dimandatkan untuk mengambil keputusan dengan cara musyawarah tadi adalah
para “wakil”. Sejatinya para wakil ini dengan arif bijaksana, menghasilkan keputusan untuk
kepentingan terbaik bagi semua yang diwakilinya, dengan tidak melupakan juga asas
keadilan dan kemanusiaan bagi semua. Misalnya manakah kebijakan yang sekarang harus
lebih menjadi prioritas dan adil bagi semua dalam konteks kehidupan adaptasi baru ini?
Mendorong pertumbuhan mall dan retail besar ataukah pasar rakyat yang menampung
pedagang-pedagang kecil yang mengambil produk dari para petani? Manakah keputusan yang
lebih bijak dan berkeadilan, membuka keran impor pangan ataukah mendorong upaya-upaya
kemandirian pangan berbasis komunitas yang tentunya akan menjamin ketahanan pangan
lokal dalam menghadapi berbagai krisis, termasuk krisis di masa pandemi ini?
Terakhir, prinsip keadilan dalam “the true new adaptation” adalah keadilan yang seadil-
adilnya. Prinsip ini menantang kita untuk berani mengkoreksi keadilan semu dalam
mengelola negara, misalnya, yang bisa jadi selama ini hanya menguntungkan sekelompok
elit, baik disadari ataupun tidak. Ini bisa terjadi baik dalam lingkup kebijakan maupun
praksis. Penggunaan dan pengelolaan tanah untuk penghidupan misalnya akan lebih
terdistribusi dengan adil, utamanya bagi para petani kecil yang memproduksi pangan sehat
dengan berbagai variannya untuk Indonesia.
Sebagai penutup, merekatkan kembali spiritualitas dalam memahami Pancasila adalah
kebutuhan sadar dan mendesak yang perlu segera dan terus menerus dilakukan sehingga era
Adaptasi Kebiasaan Baru yang sudah kita jalani betul-betul merupakan ajang perubahan
hakiki bagi kita semua.
Baca Selanjutnya https://damarbanten.com/?p=3267