Damar Banten – Ketika Kompeni VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799, akhirnya kekuasaan atas VOC diambil alih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, yang kemudian membentuk sebuah Pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jendral Herman Willem Daendels merupakan Gubernur jendral pertama paca berdirinya pemerintahan Hindia Belanda. Dirinya kemudian mendarat di Anyer pada 1 Januari 1808, yang selanjutnya melanjutkan perjalanannya menuju Batavia pada 5 Januari 1808, sebagai Ibu Kota Hindia Belanda.
Pada 14 Januari 1808, Daendels menerima kekuasaan dari Gubernur Jendral VOC Wiese, yang akhirnya membuat dirinya berkuasa di Hindia Belanda pada saat negeri Belanda sudah menjadi sebuah bagian dari kekaisaran Prancis. Hingga diakhir masa kekuasaannya, baik Daendels maupun Raffles yang kemudian menggantikan kekuasaannya di Hindia Belanda, tetap saja gagal dalam melaksanakan sistem pemerintahan langsung. Hal tersebut diakibatkan karena pendeknya masa kekuasaan masing-masing dari mereka, ditambah kegagalan tersebut didasari akibat kuatnya ikatan foedal di antara Bupati serta rakyat.
Dengan adanya upaya dari Daendels agar mempertahankan Pulau Jawa, pada akhirnya ia bermaksud untuk membangun sebuah pangkalan laut di Ujung Kulon. Guna memperlancar proyek pembangunannya, Daendels kemudian memerintahkan kepada Sultan Banten untuk mengirimkan para pekerja rodi dengan jumlah yang banyak.
Akibat beratnya kerja rodi ditambah tidak adanya jaminan makan bagi para pekerja, akibatnya banyak di antara para pekerja yang meregang nyawa serta banyak juga yang kemudian melarikan diri. Akibat adanya kejadian itu, Daendels menuduh Mangkubumi Banten Wargadiraja sebagai dalang atas larinya para pekerja rodi. Akhirnya seorang utusan dari Sultan Banten diminta untuk datang ke Batavia, pada saat itu Daendels kemudian memberi sebuah ultimatum terhadap Sultan Banten yang di antaranya:
- Mengirimkan 1.000 orang pekerja setiap harinya untuk dipekerjakan di Ujung Kulon.
- Menyerahkan Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.
- Segera memindahkan keratonya ke daerah Anyer, karena di Surosowan akan dibangun benteng Belanda.
Dengan tegas, Sultan Banten menolak tuntutan Daendels tersebut. Akibatnya secara diam-diam Daendels yang kala itu memimpin lansung pasukannya menuju perbatasan ujung Banten. Dirinya terlebih dahulu mengirimkan Philip Pieter Du Puy sebagai utusan menuju Istana Surosowan guna menanyakan kembali kesanggupan dari Sultan Banten atas permintaan yang kemarin. Dengan tetap konsisten, Sultan Banten akhirnya marah dan menyuruh ajudannya agar membunuh Du Puy di depan gerbang Surosowan, peristiwa tersebut terjadi pada 21 November 1808.
Daendels kemudian membalas hinaan tersebut dengan cara menyerang Surasowan pada hari itu juga, tepatnya pada tanggal 21 November 1808. Serangan tiba-tiba tersebut sangat mengejutkan dan memang di luar dugaan, sehingga Sultan tidak sempat menyiapkan pasukannya. Namun, prajurit Banten dengan keberanian yang menggebu -gebu berusaha mempertahankan setiap jengkal tanah airnya.
Akan tetapi, pada akhirnya Daendels dapat menumpas dan merebut Surasowan. Sultan ditangkap dan kemudian diasingkan ke Ambon, sedangkan Patih Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke laut. Banten dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda, sedangkan Tangerang, Jasinga, dan Sadang dimasukkan kedalam teritorial Batavia.
Sebagai sultan ke-19, diangkatlah putera mahkota dengan gelar Sultan Wakil Pangeran Suramanggala, yang tidak lebih dari sekedar pegawai Belanda semata, akibat tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dan menerima gaji 15.000 real per tahun dari Belanda.
Oleh sebab banyak pekerja yang mati ditambah daerahnya yang berawa, pembuatan pelabuhan di Ujungkulon akhirnya dihentikan, sedangkan untuk pangkalan laut dipindahkan ke daerah Anyer.
Akibat kebencian rakyat Banten terhadap Belanda, akhirnya terjadi pengacauan yang kala itu digerakkan oleh para ulama. Mereka bermarkas di daerah Cibungur di pantai Teluk Lada. Belanda kemudian menyerang daerah tersebut, Akan tetapi tidak membuahkan hasil. Bahkan serangan yang dipimpin oleh Daendels sendiri dapat dipukul mundur.
Karena kesultanan Banten semakin tidak berdaya. Akhirnya di Pandeglang mulai dilancarkan gerakan guna melakukan pemberontakan kepada pemerintah kolonial Belanda. Di antara peristiwa gerakan sosial yang dilakukan oleh rakyat Banten, pada rentang tahun di awal Daendels berkuasa adalah, Bajo Laut—menentang kerja paksa serta pembangunan pelabuhan di Ujung Kulon di tahun 1808 hingga 1809, dan perlawanan di Pasir Peteuy Pandeglang di tahun 1810.
Gerakan tersebut dipimpin oleh Nuriman, yang merupakan bentuk upaya dalam memaksa pemerintahan Kolonial Belanda, untuk menobatkan kembali Sultan Banten, akan tetapi usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Kemudian di tahun 1811, Ki Jakaria melakukan Pemberontakan kepada Kolonial Belanda serta berhasil menguasai hampir seluruh Pandeglang.
Sayangnya, ketika sudah berhasil menguasai hampir seluruh Pandeglang, Ki Jakaria tertangkap serta kemudian ditawan oleh pemerintah Kolonial Belanda, pasca pertempuran yang sangat sengit terjadi, akhirnya Mas Jakaria dipenjarakan. Namun, di tahun 1827, Ki Jakaria berhasil untuk meloloskan diri serta di tahun itu juga, Ki Jakaria mendulang kesuksesan karena mampu menghimpun kekuatan kembali, dan kemudian menyerbu kembali Pandeglang. Sialnya, setelah penyerbuan tersebut terlaksana, Ki Jakaria kembali tertangkap oleh pemerintah Kolonial Belanda. Pada akhirnya Ki Jakaria dijatuhi hukuman mati dengan cara dipenggal bahkan mayatnya ikut dibakar.
Setelah kejadian pemenggalan Ki Jakaria, eskalasi perlawanan terus bermunculan di setiap tahunnya, perlawanan tersebut di pimpin oleh para ulama beserta jawara. Seperti perlawanan yang di pimpin oleh Ngabehi Adam, Haji Yamin, Ngabehi Utu, serta Ngabehi Ikam. Di tahun 1815 serta pada awal tahun 1819, Haji Tashin, Moba, Mas Haji, serta Mas Rakksa, berhasil memimpin perlawanan di Banten Selatan bahkan berhasil membunuh beberapa orang Pangreh Praja di Lebak.
Di abad ke-19, pemberontakan demi pemerontakan terus terjadi bahkan semakin memanas, di tahun 1836 muncul pemberotakan yang dipimpin oleh pemimpin perempuan yakni, Nyai Gumparo atau Nyai Gamparan di Balaraja dan Cikande. Perempuan yang dijuluki sebagai “kepala keraman Balaraja" tersebut berhasil ditangkap oleh Demang R. Karta Natanegara.
Karena jasanya tersebut, Demang Natanegara kemudian diangkat menjadi Bupati Lebak, sebagai imbalan dalam menangkap Nyimas Gamparan. Sekalipun pemberontakannya dapat di tumpas, namun para pengikut-pengikutnya berhasil meloloskan diri serta berusaha meneruskan kembali perlawanan.
Putra dari Ki Jakaria, yang bernama Mas Jabeng kemudian melancarkan pemberontakan di tahun 1839, bersama dengan Ratu Bagus Ali, serta Pangeran Kaldhi. Namun, Bupati Serang kala itu berhasil menggagalkan perlawanan tersebut. Mas Jamin, putra Ki Jakaria yang lain, di tahun 1840, juga melakukan perlawanan bersama dengan para pengikutnya yang dulu pernah terlibat pada pemberontakan di tahun 1836-1839. Mas Jamin kemudian tertangkap lalu dihukum buang, setelah perlawanan mereka yang berhasil membunuh seorang Belanda, pemilik perkebunan Nopal di Pandeglang.
Di tahun 1846, pemerintah Kolonial Belanda memerintahkan untuk: “Kiara Caringin” atau phon beringin Kurung di kampung Kadu Hejo (Banten Tengah), supaya ditebang karena di tempat tersebutlah rakyat Banten sering bermusyawarah dan bersumpah. Kolonialisme yang menyengsarakan rakyat, dengan memanfaatkan elit pribumi sebagai kaki tangan mereka, semakin berjaya.
Salah satu peristiwa yang menyedihkan yang sempat terjadi pada kurun waktu di tahun 1848-1850, adalah adanya bencana kelaparan di Banten. Hal tersebut semakin mengakibatkan rakyat menjadi tertekan serta resah, situasi tersebut telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat untuk terus melakukan pemberontakan.
Penulis: Ilham Aulia Japra