Damar Banten – Pada awal abad ke-XIX, Keresidenan Banten dan Karesidenan Batavia kala itu letak yang cukup strategis, karena posisinya yang dilewati oleh jalan raya pos yang menghubungkan dari Serang, Tangerang, hingga Batavia. Disamping itu, ada perubahan mengenai hak milik atas tanah di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels pada 1808, perubahan tersebut merujuk pada tanah-tanah yang sebelumnya merupakan bagian dari Kesultanan Banten, yang dianeksasi oleh pemerintah kolonial, termasuk juga tanah di Cikande yang ikut dianeksasi oleh pemerintahan kolonial Belanda. Perubahan status atas tanah tersebut tentu membawa pengaruh yang cukup besar bagi penduduk yang berada di daerah tersebut. Hubungan primordial yang sudah dibangun antara penduduk Cikande dengan Kesultanan Banten pada akhirnya harus menjadi terputus.
Masyarakat sebetulnya sudah menyadari jika struktur masyarakat yang salama ini berlaku, sudah bergeser menjadi suatu hubungan dengan penguasa pemerintahan kolonial belanda. Ikatan primordial kemudian harus tergantikan dengan hubungan yang sifatnya eksploitatif. Akibat sudah bergesernya nilai-nilai adat yang digantikan dengan aturan-aturan formal, menyebabkan para elite bangsawan beserta agamawan dengan cepat menyadari munculnya berbagai gerakan sosial di tengah masyarakat Banten.
Wilayah Cikande yang pada akhirnya menjadi tana partikelir, kemudian muncul suatu masalah mengenai status hukum tanah beserta tempat tinggal yang ada di atas tanah-tanah tersebut. Kejelasan mengenai hukum pada tanah di Cikande yang oleh pemerintah kolonial dijual kepada perusahaan swasta bernama Jessen Trail and Co, hal demikian belum memiliki kejelasan atas legalitas, akibat pemerintahan Inggris yang belum sempat mengurusnya Karena harus meninggalkan Jawa, setelah sistem atas sewa tanah gagal diterapkan di seluruh Pulau Jawa, serta kemudian menyerahkan kekuasaanya kembali terhadap kolonial Belanda.
Karena hal tersebut, akhirnya menyebabkan semakin sulitnya hubungan antara penghuni dan pemilik tanah partikelir tersebut, alhasil pada tahun 1823, pemerintah Belanda kemudian mengeluarkan sebuah keputusan jika semua desa yang berada di dalam kompleks lahan 40 ribu bahu, menjadi miliknya serta berhak menguasai desa-desa tersebut termasuk struktur beserta penduduknya. Namun, keputusan dari Van der Capellen tersebut tidak memuaskan bagi pemerintah kerajaan di Belanda, akibat hutang publik Hindia Belanda yang terus meningkat pesat beserta hasil produksi tanaman ekspor yang terus-menerus menyurut. Selanjutnya, selama tujuh tahun pemerintahan administrasinya, Van der Capellen sudah menghabiskan 24 juta gulden, yang itu bahkan telah melebihi pendapatan pemerintah kolonial Belanda, dan langkah kebijakan yang dibuatnya tersebut juga sudah menimbulkan pecahnya perang besar di Jawa.
Hal tersebut yang akhirnya membuat Van der Capellen dipanggil untuk pulang oleh pemerintahan kolonial Belanda. Akhirnya kekuasaannya kemudian digantikan oleh Johannes Van den Bosch, guna mengatasi serta mengembalikan pemasukan kas kolonial Belanda. Van den Bosch sampai meyakinkan rajanya, jika dirinya bisa menemukan cara guna meningkatkan produksi tanaman ekspor di Pulau Jawa, hingga mencapai senilai 20 juta gulden pertahun. Cara dari Van den Bosch tersebut dinilai dapat menangani hasil panen yang terus merosot, yakni dengan cara menerapkan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel. Sayangnya, di berbagai wilayah di Pulau Jawa antara tahun 1830 hingga 1890, pemerintah kolonial Belanda sedang dihadapkan dengan sebuah gerakan ratu adil yang didasarkan pada perpaduan mistisme Jawa serta Islam, dalam setiap tahunnya administrator Belanda melaporkan jika adanya pertempuran dan gangguan disuatu tempat. Para tokoh agama banyak yang justru melawan dominasi politik serta ekonomi Belanda, guna mengganggu keseimbangan politik kolonial Belanda.
Ternyata, doktrin agama justru dijadikan sebagai media perlawanan yang dilakukan oleh para tokoh pemberontakan, guna mengobarkan semangat perlawanan ketika melawan penguasa kafir. di tahun 1830, untuk pertama kalinya masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa dimulai, dan untuk pertama kalinya pemerintah kolonial Belanda sanggup untuk mengeksploitasi bahkan menguasai seluruh Pulau Jawa, dengan tidak ada satu pun tantangan yang berarti terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Pada saat Johannes van den Bosch menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dirinya sudah menyampaikan usulannya terhadap Raja Belanda mengenai kebijakan sistem cultuurstelsel di seluruh wilayah kekuasaan kolonial Belanda. Rencana dari van den
Bosch pada sistem tanam paksa merupakan agenda pada setiap desa yang wajib untuk menyisihkan sebagian tanahnya, guna ditanami komoditas ekspor, seperti nila, tebu, serta kopi agar dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan.
Selanjutnya, dalam pemikiran seorang Van den Bosch tentang cultuurstelsel tidak pernah dirumuskan secara eksplisit, namun nampaknya sistem dar Van der Bosch didasarkan pada prinsip umum yang sederhana. Desa-desa yang ada di wilayah Jawa dianggap berhutang pajak atas tanah terhadap pemerintah kolonial sebanyak 40%, dari hasil panen utama desa tersebut. Sebetulnya, pada sistem cultuurstelsel tersebut, pemerintah kolonial Belanda menerapkan dua tuntutan, pertama pembayaran sewa tanah yang terdiri atas dua perlima hasil panen, kedua, penggunaan seperlima tanah sewa agar membudidayakan tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah kolonial. Produksi atas Gula, kopi, serta nila merupakan produk utama yang disediakan Pulau Jawa selama periode sistem tanam paksa berjalan.
Selama kepemimpinannya, Van Den Bosch terus menerapkan sistem monopoli produk yang hal tersebut membuat pemasukan kas Belanda terus meningkat, yang itu berasal dari hasil menjual tanaman-tanaman komersil, dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Pada teorinya, sebtulnya setiap pihak tentu akan mendapatkan keuntungan atas sistem tanam paksa tersebut, bahkan desa-desa masih tetap memiliki tanah yang lebih luas guna dipergunakan sendiri, bahkan mendapatkan penghasilan yang cukup besar dalam bentuk tunai. Kendati demikian, pada praktiknya, sistem tersebut justru memperkenalkan pajak baru yang akan dibayarkan dalam bentuk rodi, yang tujuannya ialah agar mengeksploitasi Jawa sebagai perkebunan besar milik pemerintah kolonial Belanda. Konsep mengenai akan didapatkannya keuntungan oleh semua pihak, justru malah menjadi sebuah kisah tragis terhadap pemerasan yang lebih besar pada sejarah penjajahan.
Kolonial Belanda juga justru meminta bantuan terhadap para Bupati guna mengatur tenaga kerja lokal, dan mereka jug diberikan hak untuk menetapkan taksiran besar atas pajak tanah atau banyaknya komoditi ekspor terhadap setiap desa, bahkan memaksa setiap desa agar merealisasikan hal tersebut. Pemasukkan utama pada sistem cultuurstelsel, dihasilkan oleh tenaga kerja Jawa dan Sunda yang kala itu dipaksa supaya menanam tanaman komersial semacam gula, kopi, serta nila. Untuk Kopi, sebagian besarnya diproduksi di wilayah Priangan yang tumbuh di tanah pemerintah di luar sawah penduduk, alhasil hanya 6% yang dijadikan tanah garapan di seluruh Pulau Jawa. Pada wilayah yang masyarakat terkena sistem penanaman paksa, sudah dapat dipastikan telah mengalami banyak penderitaan, terutama sangat terbebani atas pembayaran pajak yang sangat tinggi, kondisi tersebut barang tentu telah menimbulkan gejolak sosial di kalangan masyarakat Jawa.
Penerapan atas sistem cultuutstelsel, telah membuat Pemerintah kolonial Belanda memperoleh banyak keuntungan yang sangat besar, yang itu bahkan mampu melunasi hutang-hutang yang pernah dilakukan VOC. Bahkan, di tahun 1831 hingga 1877, perbendaharaan Belanda menerima sejumlah 832 juta florins (f) yang itu membuat pendapatan dan perekonomian Pemerintah Belanda menjadi sangat stabil. Namum di sisi lain, peraturan yang dibentuk oleh para Bupati beserta pegawai pemerintahan guna mengusahakan produk tanaman wajib, justru telah banyak mendatangkan ketidakpuasan yang mengakibatkan rakyat semakin bergejolak, serta memberikan perlawanan sebagai jalan keluar atas segala penderitaan yang dirasakan para petani.
Di Banten sendiri, tanah-tanah partikelir justru tidak diwajibkan untuk menanam komoditas seperti Gula, Kopi, serta Nila, atau hanya dilakukan pada jumlah yang terbatas, hal demikian disebabkan karena masyarakat di tanah-tanah partikelir tersebut tidak terbiasa untuk menanam tanaman komoditas tersebut. Kendati demikian, tanah-tanah partikelir itu justru dialihkan oleh pemerintah kolonial Belanda agar menjadi pemasok tanaman pangan, yang itu sesuai dengan jenis tanaman yang ditanam oleh para masyarakat, seperti jagung, padi, palawija, serta singkong. Di tahun awal penerapan sistem cultuurstelsel tersebut, eksploitasi agraris dimaksimalkan oleh pemerintah kolonial Belanda guna menutupi defisit anggaran mereka, hal tersebut dikarenakan pengeluaran atas biaya pada saat peristiwa Perang Jawa terjadi, yang mengakibatkan pemborosan pada kas negara pemerintah kolonial Belanda.
Sekalipun Banten tidak terkena aturan atas sistem tanam paksa, akan tetapi masyarakat di Cikande masih diharuskan untuk memaksimalkan produktivitas tanah, dengan tanaman niaga agar dapat diperjual belikan dengan harga yang sudah diatur oleh pemerintahan kolonial Belanda. Kebijakan atas sistem kerja wajib serta tanam paksa yang berlebihan, dan penyetoran atas produksi hasil tanaman, telah sangat membebani para petani, terlebih pada komoditas tanaman ekspor kopi yang tidak dapat dirasakan hasilnya dalam jangka waktu dekat, hal tersebut justru menjadi sumber keluhan pada kalangan masyarakat Banten, sehingga menyebabkan berbagai keresahan di kalangan para petani. Selain itu, pajak yang perlu dibayarkan dalam bentuk 1/5 hasil panen, telah dianggap sangat memberatkan bagi para petani, terlebih lagi para petani diharus untuk membawa sendiri produk tanaman ekspor tersebut, dari tanah partikelir menuju gudang pemerintah yang berada di Tangerang dan juga sebagai tempat transaksi pembayaran terjadi.
Pada kondisi tersebut, telah menjadi awal dari tumbuhnya rasa ketidakpuasan di kalangan para petani, para petani sebetulnya sudah menyadari jika bukan hanya di tanah partikelir Cikande saja kondisi penindasan itu terjadi, akan tetapi juga berlangsung di berbagai daerah yang juga sama mengalami kondisi serupa akibat penekanan serta kebijakan pemerintah kolonial. Hal demikian justru menjadi peluang bagi para elite pribumi yang telah tersingkir dari struktur pemerintahan, guna melancarkan provokasi terhadap rakyat serta akhirnya dapat memulihkan kembali posisi mereka pada struktur lama, dengan menggunakan ide-ide milenarisme dan memanfaatkan kondisi ketidakpuasan rakyat agar bisa mencapai tujuan politiknya, guna kembali menguasai wilayah Banten.
Di tanggal 16 Agustus, tahun 1836, muncul sesosok perempuan bernama Saliah yang berasal dari Kampung Melayu yang kala itu tiba di Balaraja, Tangerang. Pada saat berada di situ, Saliah mengaku sebagai seorang yang mempunyai ilmu mistik, yang diperkuat dengan penampilannya yang menggunakan gampar, alhasil sosok tersebut lebih dikenal dengan Nyai Gamparan. Sekalipun belum dapat diketahui dengan pasti mengenai asal-usulnya, Saliah atau Nyai Gamparan dapat disebut sebagai sosok yang mempunyai keahlian dalam menyakinkan para masyarakat, mengenai kesaktian serta kewibawaan dirinya. Hal tersebut bisa dilihat dari banyaknya elite lokal yang justru terpengaruh oleh sebuah janji-janji keagamaan, mengenai akan tibanya kehidupan yang lebih baik serta sejahtera jika mampu mengusir orang-orang kafir, hingga sampai mengubah pemerintahan kembali pada kejayaan kesultanan Banten.
Gagasan mengenai milenarisme tersebut justru mendapatkan respon yang baik pada kalangan masyarakat, yang selama ini telah banyak merasakan kesengsaraan serta ketertindasan yang itu diakibat oleh kebijakan tanam paksa, disertai pemberlakuan pajak yang tinggi. Hal demikian telah banyak mempersulit perekonomian penduduk, sehingga para penduduk sekitar bersedia untuk mengikuti Nyai Gamparan guna melakukan pemberontakan. Nyai Gamparan bersama kekuatan para pengikutnya yang terdiri dari para Tuan tanah, petani, serta bandit, yang kala itu membawa senjata tajam seperti klewang untuk bergerak menuju ke kantor polisi, yang kala itu sudah dianggap oleh masyarakat sebagai sebuah simbol penindasan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda, terhadap masyarakat serta kekuatan yang dimiliki oleh rezim kafir yang wajib dilawan agar terbebas dari penderitaan.
Penyerbuan tersebut dilakukan oleh para pemberontak secara mendadak, yang akhirnya membuat para aparat kepolisian berlarian tunggang langgang, akibat jumlah pasukan militer yang tidak seimbang dengan jumlah para pemberontak yang telah mengepung Kantor polisi Balaraja. Sementara itu, Letnan Latjor yang didampingi oleh seorang petugas partikelir dari Balaraja kemudian mencoba untuk menghentikan para pemberontak. Akan tetapi, upaya perlawanan dari kedua orang tersebut terasa sia-sia akibat jumlah penduduk yang terlalu banyak, sekalipun beberapa kali telah meluncurkan serangan tembakan dari senjata api miliknya, sayangnya Letnan Latjor harus terbunuh pada serangan yang dilakukan oleh para pemberontak.
Di samping itu, Nyai Gamparan kemudian melakukan pergerakan bersama 40 pengikutnya menuju tanah partikelir di Cikande Udik serta Cikande Hilir, karena di wilayah tersebut masih banyak masyarakat yang mengalami penderitaan akibat eksploitasi oleh para tuan tanah. Ketika akan melakukan pergerakan, Nyai Gamparan dengan pengikutnya akan membaca doa-doa yang diperkuat dengan ayat suci al-Qur’an, serta beberapa jampi-jampi yang diyakini dapat menambah kesaktian para pasukan pemberontak.
Nyai Gamparan beserta para pengikutnya kemudian mulai melelakukan penyerangan pada pos polisi Cikande Udik, serta kemudian membakar tempat pesanggrahan Tuan tanah yang dianggap sering melakukan pemerasan kepada para petani. Serangan yang dilakukan secara tiba-tiba itu membuat para penjaga tidak dapat melakukan perlawanan, bahkan lebih memilih melarikan diri. Selanjutnya, pasukan kemudian bergerak menuju Cikande Hilir serta menyerang para pemilik tanah, dengan pasukan yang terus bertambah banyak hingga mencapai lebih dari 200 orang. Pasukan Nyai Gamparan terus bertambah banyak setelah para penduduk Cikande Udik bergabung ke dalam pasukan, guna melakukan pemberontakan kepada Tuan tanah serta pemerintah kolonial Belanda. Para petani kala itu telah lama mengharapkan kebebasan dan kesejahteraan, yang itu pernah mereka rasakan pada saat kekuasaan kesultanan Banten.
Serangan demi serangan yang terus dilakukan oleh para pemberontak tidak dapat dibendung oleh para petugas keamanan, yang kala itu sedang berada di daerah Cikande, dengan begitu telah membuat pasukan Nyai Gamparan akhirnya berhasil dengan mudah untuk menguasai daerah Cikande Hilir. Pasukan dari Nyai Gamparan yang kemudian berhasil menguasai dua tempat dari tanah partikelir tersebut, semakin masif untuk memperkuat pengaruhnya di kalangan masyarakat Cikande serta berhasil menambah jumlah pengikutnya dari setiap daerah yang dilewati, seperti di Rangkasbitung, Sajira, Rawayan, serta Balangungang. Nyai Gamparan juga akan melakukan ziarah terhadap makam suci atau tokoh lokal yang dimakamkan di setiap lokasi yang dilewatinya, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju Serang.
Nyai Gamparan kemudian terus bergerak menuju Serang guna melakukan serangan serta membentuk struktur pemerintahan yang baru pada 23 Agustus 1836, serta akan mengangkat salah seorang keturunan sultan Banten bernama Pangeran Tambak, supaya naik tahta menjadi Sultanan Banten yang baru. Sementara itu, Residen Banten yang bernama H. Cornets de Groot sudah mengetahui mengenai pergerakan Nyai Gamparan, serta kemudian memerintahkan kesatuan Jayengsekar di Serang agar berangkat menuju Gemuru dengan tujuan menangkap para pemberontak. Serangan dari pasukan Jayengsekar yang menggunakan senjata api akhirnya berhasil memukul mundur para pemberontak dan berhasil membunuh beberapa orang dari pasukan pemberontak, serta sisanya melarikan diri termasuk Nyai Gamparan, yang kala itu berhasil melarikan diri menuju hutan di daerah Lebak menuju Tangerang bersama beberapa orang pemimpin pasukan lainnya.
Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda memerintahkan Raden Tumenggung Kartanata Negara yang kala itu menjadi Demang di Jasinga, supaya menangkap Nyai Gamparan beserta pasukannya dengan imbalan akan diangkat menjadi Bupati di Lebak. Pasukan Tumenggung Kartanata Negara kemudian segera melakukan penyerangan terhadap sisa-sisa pasukan Nyai Gamparan yang ada di Tangerang. Pada peristiwa peperangan tersebut, pasukan Tumenggung Kartanata Negara akhirnya berhasil dalam menangkap Nyai Gamparan beserta para pengikutnya, serta kemudian mereka ditahan di Serang. Para tahanan selanjutnya dihadapkan di depan pengadilan setempat atau landraad, atas tuduhan sudah melakukan perlawanan dan pembunuhan beberapa orang di tanah Cikande Udik dan Cikande Hilir, Nyai Gamparan kala itu mendapatkan vonis hukuman mati dalam persidangan.
Pemerintah kolonial Belanda pada saat itu melihat gerakan perlawanan yang dilakukan oleh Nyai Gamparan, dianggap sebagai bentuk ancaman yang cukup serius dan upaya atas penangkapannya pun dianggap sebagai bentuk usaha yang sama seriusnya, dari para aparat serta Tumenggung Kartanata Negara. Dengan begitu, membuat Residen Banten kemudian memberikan penghargaan disertai dengan mengangkat gaji para aparat Pangreh Praja , sementara Damang Tumenggung Kartanata Negara diangkat menjadi Bupati Lebak dengan gelar Raden Adipati atas jasanya yang telah berhasil menangkap Nyai Gamparan dan para pemberontak.
Penulis: Ilham Aulia Japra