Damar Banten – Sekali waktu saya diundang menghadiri acara koperasi di Tangerang, di perjalanan menuju acara, saya dijemput oleh dua orang anak muda, keduanya mengenakan batik resmi. Selayaknya pertemuan pertama, kami bersalaman dan “say hallo” sambil senyum-senyum dikit. Sampai di sini cerita aman saja, namun selanjutnya, soal kesan pertemuan membuat setiap orang melayang-layang dalam dunia terka.
Terus terang saya tak bisa membendung isi benak yang seluruhnya terpatri pada kesan tampilan, bahkan sialnya isi kepala terus menerka bahasa yang diproduksi oleh kedua muda-mudi yang ciamik ini. Barang kali hal serupa pun terjadi dalam benak mereka. Entahlah. Jika terjadi pun, itu hal menarik dan mengukuhkan bahwa setiap pertemuan membawa kisah saling terka.
Omong-omong kesan pertemuan pertama, sebagian orang mungkin akan menganggap biasa aja, tak begitu penting, hanya angin lalu, tak perlu ada saling terka, jadi B-aja, ngobrol seperlunya. Atau sebaliknya justru upaya saling terka dianggap sebagian orang menyalahi adab sopan-santun. Pendeknya tipe kedua ini beranggapan “kenapa pula tak dijadikan momen udar rasa melalui obrolan”. Berbeda dengan tipe ke tiga, menaham dulu obrolan dan membiarkan alam pikiran mengurai apa-apa yang ada di depannya. Kalian termasuk tipe yang mana? Saya termasuk tipe ke tiga.
Dalam praktiknya saya meluaskan jangkauan untuk menerka dengan tools Bordieu bahwa “selera merepresentasikan habitus subjek” bahwa perangai dan produksi bahasa terikat dengan sistem pengetahuan yang didulangnya. Alih-alih terhindar dari labeling netizen +62 “semua konten adalah sumber komen” atau komentar SJW yang yahut itu.
Kembali pada soal batik dan produksi bahasa, saya pun akhirnya snorkling dalam perkara batik. Sependek napas pengetahuan saya, batik memilki makna yang tidak hanya menyangkut pakaian resmi belaka. Dalam alam primordial urang Jawa, batik menyangkut sistem kosmologi yang terbawa dalam setiap motifnya. Jakob Sumardjo kerap mengurai perkara motif batik dengan tools estetika paradoks yang diciptakannya. Bahwa motif tertentu tidak patut dipakai dalam acara A, cocok dalam acara B, atau si Anu cocoknya pakai motif AB karena bergelar “Nganu” dst. Cara menengok alam primordial semacam ini mungkin bisa jadi penghubung yang “aseloley” bagi pemakainya, terlebih ia mampu memperluas jangkauan pemaknaan batik yang sudah menampilkan kesan baik.
Lantas bagaimana, kesan mereka pada seorang yang berprofesi sebagai pembaca puisi? Mungkin karena pekerjaan pembaca puisi tak tercatat di KTP atau tak akan diakui sebagai profesi. Bisa jadi penuh pertanyaan: Kok bisa dan seterusnya?!
Perjalanan Bandara Soeta ke Tangerang ditempuh kurang lebih 2 jam, agak lama, sudah biasa, karena kala sore telah tiba jalan tol dan jalan utama di kota-kota padat kendaraan yang baru pulang kerja. Lantas terjadi dialog yang saya mulai dengan pertanyaan: apa yang dimaknai koperasi atas kebutuhan kota? Kenapa Bank lebih signifikan untuk kota, dan koperasi seolah bergerak di pinggiran kota saja? Dua pertanyaan ini rupanya menjadi penghapus untuk keruetan jalan dan haha hihi saling terka berlanjut dalam produksi bahasa yang kita gunakan sependek dua jam.
Penulis : Peri Sandi Huizche