Kita teriak dengan lantang, lawan oligarkhi!. Sebab oligarkhi itu telah menguasai hidup kita!. Tapi kita tidak tahu, bagaimana cara melawannya.
Sebagian kita melawan dengan demonstrasi di jalanan. Selebihnya lagi berteriak di sosial media. Lalu sebagian lagi menunggu dan berharap harap perubahan akan tiba.
Begitulah paradoks paling mengelikan era demokrasi banal miskin substansi saat ini.
Awalnya, darimana oligarkhi itu lahir?. Dia lahir dari rahim kebebasan. Kebebasan yang diagungkan sebagai hak privat.
Kebebasan nir tanggungjawab terhadap hidup bersama. Kebebasan yang ultra liberal, yang melahap anaknya sendiri, kepentingan bersama, bonnum commune.
Orang bebas mencangkul dan mengais rejeki di manapun juga. Bebas bergerak, dan bebas bertindak, itulah matranya. Lu, ekonomi, urusan rumah tangga, berubah jadi pengejaran kekayaan. Persaingan adalah matranya.
Hidup tak lagi penting pikirkan kepentingan bersama,
sebangsa sedunia. Mereka, segelintir yang menang adalah syah menurut hukumnya.
Pertumbuhan kekayaan para elit pemenang itu melampui pertumbuhan ekonomi seluruhnya. Kalau ekonomi bangsa itu tumbuh 5 persen rata rata, maka kekayaan elit kaya itu tumbuh berlipat lipat. Bukan 10 persen saja, bahkan ada yang ratusan dan ribuan kali lipatnya.
Lalu apa yang terjadi, ketimpanganlah sebagai akibatnya. Segelintir mereka itu menjadi kaya raya, dan rakyat banyak miskin tak terperi.
Mereka itu bebas mengakumulasi kekayaan dan bahkan membangun konsentrasi. Hingga pada akhirnya masuk ke tahap monopoli.
Elit kaya raya itu lalu membuat hukum. Keputusan ekonomi, dan juga perusahaan tempat orang bekerja mengais rejeki itu dasarnya adalah seberapa besar kekayaan mereka. Semakin kaya mereka itulah yang berkuasa.
Keputusan ekonomi sehari hari diatur sedemikian adanya. Gaji, jabatan di korporasi diatur oleh pemilik saham terbanyaknya.
Elit kaya itu tahu, temuan manusia yang bernama negara itu berbahaya. Sebab negara itu punya misi untuk menjaga kepentingan bersama.
Lalu elit kaya itu mereka-reka. Bagaimana caranya agar dapat mengatur negara, bahkan menjadikanya sebagai alat untuk meningkatkan berlipat lipat kekayaanya.
Demokrasi politik didorong!. Semua slogan tentang hak politik ditinggikan. Apa yang jadi kemuliaan Konstitusi dimanipulasi. Hak politik digembar gemborkan sehabis habisnya. Tapi hak hak ekonominya dibuang di buritan.
Atas nama keadilan politik maka setiap warga negara dijamin punya hak suara. Bebas merdeka berbicara. Tapi tidak dalam keadilan ekonominya.
Hak setara untuk menentukan keputusan ekonomi dan perusahaan sehari hari tetap harus ada di tangan mereka, elit kaya.
Parlemen dan pemerintah akhirnya dibuat seperti boneka saja. Berjalin kelindan dengan kepentingan elit kaya global, rakyat cukup diberi janji. Apa yang dikatakan adalah bukan apa yang dikerjakan.
Pemimpin pemimpin negara yang dipilih adalah mereka yang taat pada kepentingan mereka. Biaya iklan untuk tinggikan pencitraan pemimpin dikeluarkan. Anak bangsa yang serius bekerja membela kepentingan bersama ditenggelamkan.
Oligarkhi berdiri, mereka tak tertandingi. Kalau ada teriakan keadilan, demokratisasi ekonomi, mereka harus segera dikebiri. Usaha usaha kecil bersatu harus dicerah berai dengan doktrin persaingan.
Kalau ada ekonomi komunitas mandiri mereka harus segera digencet dengan berbagai rupa cara. Lewat peraturan dan kebijakan.
Oligarkhi itu hidup, dia dihidupi terus oleh jelata yang telah tak lagi punya urat nadi untuk berdiri. Mereka yang selalu mendoa dan melafal mantra : persaingan adalah keniscayaan! Kerjasama adalah kesia-siaan.
Jakarta, 18 Juni 2021
Suroto