Damar Banten - VOC merupakan perusahaan dagang yang didirikan untuk memonopoli aktivitas perdagangan di jalur lintas Asia. Karena pada masa lalu bangsa Belanda datang sebagai penjajah, mereka mengambil berbagai macam sumber daya alam yang ada di Nusantara—lalu menjualnya untuk mendapat keuntungan besar.
Berikut 10 Fakta tentang VOC :
- GOLD DAN GLORY Tidak seperti Portugis dan Spanyol yang mengemban misi gold, glory, serta gospel (kekayaan, kejayaan, dan penyebaran agama), VOC hanya berfokus pada gold dan glory. VOC mengekang ketat para pendeta protestan yang berjumlah kurang dari seribu pendeta di seluruh wilayah VOC di Asia. Pelayanan rohani mereka dibatasi hanya kepada komunitas Eropa yang kecil dan komunitas-komunitas yang telah dikristenkan oleh Portugis, seperti Ambon, Minahasa, dan Malaka. Dengan memperlihatkan sikap masa bodoh, menurut sejarawan Denys Lombard, para pedagang Belanda sekadar mengikuti kebiasaan para pedagang Asia, yang sejak berabad- abad melakukan perdagangan, dan sama sekali tidak bermaksud menyiarkan agama mereka. “Selain tidak terpikir untuk mengekspor agama mereka,”, “orang- orang Belanda juga sama sekali tidak berusaha menyebarluaskan bahasa meraka”.
- HAK OCTROOI VOC dapat dikatakan sebagai negara di dalam negara, karena mendapat hak-hak istimewa (octrooi) dari Kerajaan Belanda. Hak-hak tersebut di antaranya yaitu monopoli perdagangan, dapat memiliki mata uang sendiri, mewakili pemerintah Belanda di Asia, mengadakan pemerintahan sendiri, mengadakan perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal, menjalankan kekuasaan kehakiman, memungut pajak, memiliki angkatan perang, serta menyatakan perang.
- 17 KUNCI HEEREEN SEVENTIEN Di dalam ruang sidang Heereen Seventien yang berada di Amsterdam, terdapat lemari besar tempat untuk menyimpan seluruh dokumen serta surat-surat milik VOC. Lemari tersebut hanya bisa dibuka dengan 17 kunci yang dipegang oleh 17 anggota Heereen Seventien. Hal tersebut memperlihatkan dewan tertinggi sangat menjaga kerahasiaan bisnis dagang VOC.
- PEGAWAI VOC INTERNASIONAL Penerimaan terhadap pegawai VOC pada kenyataannya bersifat internasional, Kompeni menjadi semacam “legiun asing”. Pada 1622, di garnisun Batavia terdapat 143 tentara: 17 orang Vlaams atau Wallon, 60 Jerman, Swiss, Inggris, Skotlandia, Irlandia, atau Denmark; 9 orang tak jelas asal usulnya; serta hanya 57 orang yang betul-betul kelahiran Belanda. Pegawai dari Jerman pada setiap waktu jumlahnya selalu besar. Banyak yang menjadi tentara, akan tetapi ada juga yang bekerja sebagai tenaga ahli, semisal ahli bedah atau insinyur
pertambangan. - MONOPOLI KETAT VOC, VOC melakukan monopoli perdagangan dengan sangat ketat. Mereka tidak akan pernah memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk melakukan perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya secara perorangan, baik dengan Eropa maupun negeri-negeri Asia lainnya. Perdagangan gelap hanya dapat dilakukan hanya dengan risiko yang sangat besar. Orang-orang Eropa yang tidak lagi menjadi pegawai VOC (compagniesdienaren) dan menjadi warga bebas (vrijburgers), hanya punya peluang berusaha di sektor-sektor yang kurang menguntungkan, seperti pertanian, perdagangan bahan pangan, rumah makan, dan rentenir. Akan tetapi di sektor ini mereka harus bersaing dengan para pedagang dari Tionghoa.
- LARANGAN MEMBAWA PEREMPUAN Sekalipun Hindia dikenal sebagai sorga, kebijakan VOC yang keras nyaris tidak mengizinkan perempuan turut serta dalam pelayaran. Ini menjadi alasan kuat sehingga seorang perempuan harus menyaru laki-laki (transvestisme). Sementara itu pemerintah Belanda tidak permisif kepada para perempuan yang ketahuan menyamar menjadi laki-laki. Hukum Belanda, yang antara lain bersumber pada hukum adat dan Injil, melarang transvestisme. Perempuan tak diperkenankan berpenampilan seperti laki-laki, juga sebaliknya. Transvestisme adalah tindakan kriminal. Namun biasanya tuduhan itu dikenakan untuk memperberat tindakan kriminal lainnya. Menurut Rudolf M. Dekker dan Lotte C.van de Pol, ada berbagai motif perempuan menyaru laki-laki: cinta, patriotisme, lari dari tuduhan kriminal, dan perbaikan kondisi ekonomi. Oleh karena itu, menurut Denys Lombard, orang-orang Belanda yang baru tiba di Hindia bersedia mengawini gadis-gadis Indo yang berayah Portugis. Sebagian besar dari perempuannya, berasal dari Makassar dan Bali, tapi mereka merupakan keturunan dari perkawinan campuran terdahulu. Makassar dan Bali, melalui perempuannya, berperan besar terhadap perkembangan penduduk Batavia.
- ORANG BELANDA PANTANG MENETAP Kendati orang-orang Portugis memang banyak berniat menetap serta beranak-pinak, berbeda dengan orang Belanda ketika tiba di Asia, mereka selalu mengatakan, “bila masa dinas enam tahun yang harus kujalani telah selesai, aku akan kembali ke Eropa.” Orang-orang Belanda selalu ingin pulang ke negerinya jika masa tugas usai. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk di Batavia yang tak didominasi orang Eropa. Dalam tahun 1674, jumlah mereka kurang dari sepersepuluh penduduk Batavia.
“Keterikatan para kolonis Belanda pada tanah airnya merupakan ciri hakiki mentalitas, yang menentukan perilaku mereka jauh sampai ke abad 20,” tulis Denys Lombard. Ada beberapa alasan mengapa Belanda tidak ingin menetap: tujuan mereka hanya ingin mencari kekayaan, VOC tidak memberi kelonggaran kepada prakarsa perorangan, tiadanya sarana untuk memperkenalkan serta menyesuaikan kebudayaannya, faktor cuaca dan ketidakberdayaan para dokter menyebabkan Batavia dianggap sebagai “kuburan orang Eropa”.
8. PEMBENTUKAN KAMPUNG Guna membangun Batavia yang dikuasai sejak 1691, VOC mendatangkan orang-orang dari berbagai daerah di Nusantara. Menurut Parakitri T. Simbolon, selama VOC berkuasa telah menghimpun lebih dari 40 kelompok masyarakat yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara dan dunia. Jumlahnya sekira 128.000 jiwa dan hanya sekira 600 orang Eropa. VOC menyediakan lahan untuk mereka membangun perkampungan berdasarkan latar belakang suku masing-masing. Kampung tertua adalah Kampung Banda hasil migrasi yang dilakukan gubernur jenderal Jan Pieterszoon Coen pada 1621. Hingga kini, jejak kampung- kampung di Batavia dan sekitarnya masih bisa ditemukan sesuai nama etnisnya: Kampung Melayu, Kampung Bali, dan Kampung Ambon, dan lain sebagainya.
9. KOMODITAS SELAIN REMPAH-REMPAH
Ketika harga rempah- rempah turun dan tidak lagi menjadi komoditas primadona lagi, VOC tak kehilangan akal. Untuk tetap bertahan melakukan perdagangan, VOC kemudian memperdagangkan berbagai komoditas. Menurut sejarawan Mona Lohanda, dalam kargo-kargonya VOC mengangkut dan menjual ragam komoditas khas negeri tropis, seperti ayam, beras, kuda, bahkan budak.
- BUDAK, Budak merupakan komoditas ke-17, Heereen Seventien sampai kewalahan menangani soal budak yang dibawa orang Belanda yang pulang dari Nusantara. Markas VOC di Amsterdam direpotkan mengurusi perawatan budak yang ditinggalkan pemiliknya dan disibukan pula oleh para budak yang minta dipulangkan ke negeri asalnya. Oleh karena itu, menurut Harry A. Poeze, VOC akhirnya mengeluarkan aturan untuk membatasi budak yang boleh dibawa ke negeri Belanda. Budak- budak itu banyak didatangkan dari Sulawesi dan Bali. Bukan hanya dibutuh- kan sebagai tenaga kerja, budak pun dibutuhkan sebagai simbol status sosial. Tak heran jika budak akan dirawat sebaik mungkin, meski nyatanya banyak terjadi penindasan. Meskipun setelah VOC runtuh perbuda- kan masih terjadi di Hindia Belanda.
Penulis : Ilham Aulia Japra