Damar Banten – Pemberontakan revolusi 1926 di Indonesia bukan hanya tentang aksi para pejuang di lapangan, tetapi juga melibatkan intrik dan dramatisasi politik di balik layar. Pemerintah kolonial Belanda tidak hanya menangkap dan menghukum para pejuang, tetapi juga mengambil tindakan drastis terhadap pejabat setempat yang dianggap terlibat atau tidak cukup tegas dalam menangani situasi tersebut.
Salah satu tokoh yang terlibat dalam drama politik ini adalah R.A.A. Kartadiningrat, bupati Pandeglang. Meskipun telah lama menjabat sebagai bupati, Kartadiningrat mendapati dirinya dipecat karena perbedaan sikapnya dengan Residen Banten, Putman Cramer, dalam menangani aktivitas revolusioner.
Pemecatan Kartadiningrat tidaklah datang begitu saja. Tuduhan terhadapnya meliputi ketidakpedulian terhadap aktivitas PKI dan kurangnya tindakan dalam menindaklanjuti laporan-laporan yang diterimanya. Bahkan, sikapnya yang hormat kepada ulama terkemuka seperti Syeikh Asnawi Caringin dianggap sebagai kejahatan oleh pemerintah kolonial.
Dalam sidang-sidang dan interogasi, Kartadiningrat mencoba membela diri. Namun, tuduhan terhadapnya terbukti cukup berat, termasuk terkait dengan ketidakpedulian terhadap peringatan-peringatan dari bawahannya yang kemudian berujung pada tragedi kematian mereka.
Pemecatan Kartadiningrat menjadi satu bagian dari rangkaian tindakan keras pemerintah kolonial untuk menekan dan menghancurkan pemberontakan yang terjadi. Namun, di balik keputusan itu, terdapat pula intrik politik dan pertarungan kekuasaan yang melibatkan berbagai pihak di dalam dan luar pemerintahan.
Kisah pemecatan Kartadiningrat memberikan gambaran tentang kompleksitas politik dan sosial di masa revolusi 1926, di mana loyalitas, pengkhianatan, dan pertarungan kepentingan menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan yang terjadi di Tanah Air.
Penulis : Ilham Aulia Japra