Damar Banten – Genosida Rwanda, yang terjadi pada tahun 1994, adalah salah satu tragedi kemanusiaan paling mengerikan dalam sejarah modern. Dalam kurun waktu sekitar 100 hari, diperkirakan 800.000 hingga 1.000.000 orang, terutama dari kelompok etnis Tutsi, dibantai oleh ekstremis Hutu. Peristiwa ini tidak hanya meninggalkan luka mendalam pada masyarakat Rwanda, tetapi juga mengejutkan dunia internasional.
Rwanda, sebuah negara kecil di Afrika Tengah, memiliki sejarah panjang ketegangan etnis antara dua kelompok utama, Hutu dan Tutsi. Meskipun kedua kelompok ini berbagi bahasa dan budaya yang sama, kolonialisme Belanda dan Jerman memperparah perbedaan etnis dengan menerapkan kebijakan “divide and rule”. Kolonial Belanda memberi kekuasaan politik kepada minoritas Tutsi, yang meningkatkan ketegangan dengan mayoritas Hutu.
Pada tahun 1959, menjelang kemerdekaan Rwanda dari Belgia, kekerasan etnis pecah, dan banyak Tutsi melarikan diri ke negara-negara tetangga. Ketegangan ini terus membara, dan pada tahun 1990, Front Patriotik Rwanda (RPF), kelompok pemberontak yang sebagian besar terdiri dari pengungsi Tutsi, memulai serangan terhadap pemerintah Rwanda yang dikuasai Hutu.
Genosida Rwanda dipicu oleh penembakan pesawat yang membawa Presiden Rwanda, Juvénal Habyarimana, seorang Hutu, pada 6 April 1994. Insiden ini menyebabkan kematian presiden dan langsung memicu kekacauan di seluruh negeri. Ekstremis Hutu, yang sudah lama merencanakan pembersihan etnis, segera memanfaatkan situasi ini untuk melancarkan genosida yang terorganisir.
Dalam 100 hari berikutnya, kelompok milisi Hutu yang dikenal sebagai Interahamwe dan Impuzamugambi, bersama dengan militer dan warga sipil Hutu, melakukan pembantaian sistematis terhadap orang-orang Tutsi dan Hutu moderat yang dianggap berkolaborasi dengan Tutsi. Genosida ini dilakukan dengan cara yang sangat brutal, menggunakan senjata sederhana seperti parang dan pentungan.
Pemerintah sementara yang dikuasai ekstremis Hutu mengarahkan serangan ini dengan menggunakan media massa, terutama Radio Télévision Libre des Mille Collines (RTLM), untuk menyebarkan propaganda kebencian dan mengoordinasikan tindakan genosida. Pesan-pesan yang disiarkan secara terus-menerus mendorong warga Hutu untuk membunuh tetangga mereka yang Tutsi.
Tragedi ini terjadi di depan mata dunia, tetapi tanggapan internasional sangat lambat dan tidak memadai. Meskipun ada laporan dan bukti yang jelas tentang genosida, negara-negara besar dan PBB gagal bertindak cepat untuk menghentikan kekerasan. Pasukan penjaga perdamaian PBB yang ada di Rwanda, di bawah mandat yang terbatas, tidak mampu mencegah pembantaian. Bahkan, ketika situasi memburuk, banyak negara malah menarik personel mereka dari Rwanda.
Kegagalan komunitas internasional untuk segera bertindak meninggalkan luka mendalam dan menjadi pelajaran penting tentang perlunya respon cepat terhadap situasi darurat kemanusiaan.
Genosida berakhir ketika Front Patriotik Rwanda (RPF) yang dipimpin oleh Paul Kagame berhasil merebut kendali negara pada Juli 1994. Kemenangan RPF memaksa pemerintah Hutu dan para ekstremis melarikan diri ke negara-negara tetangga, seperti Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo), membawa serta jutaan pengungsi.
Setelah genosida, Rwanda menghadapi tantangan besar dalam membangun kembali negara dan masyarakat yang hancur. Proses rekonsiliasi dan keadilan diupayakan melalui Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR) dan sistem peradilan tradisional Gacaca. Pemerintah Rwanda, di bawah kepemimpinan Paul Kagame, juga meluncurkan berbagai program untuk mempromosikan kesatuan nasional dan pembangunan ekonomi.
Namun, proses rekonsiliasi ini tidak mudah dan penuh dengan tantangan. Trauma yang dialami oleh korban dan pelaku masih dirasakan hingga saat ini. Upaya rekonstruksi dan penyembuhan sosial terus berlangsung, dengan fokus pada pendidikan, pembangunan ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat.
Genosida Rwanda merupakan salah satu peristiwa paling mengerikan dalam sejarah kemanusiaan yang mengingatkan kita akan bahaya kebencian etnis dan ekstremisme. Tragedi ini menekankan pentingnya tindakan cepat dan tegas dari komunitas internasional untuk mencegah kekerasan massal dan melindungi hak asasi manusia. Meskipun Rwanda telah membuat kemajuan signifikan dalam membangun kembali negara mereka, ingatan akan genosida tetap hidup sebagai pelajaran berharga bagi seluruh dunia.
Penulis: Ilham Aulia Japra