Oleh: Siti Nadroh
Hari ini, 142 tahun yang lalu, Raden Ajeng Kartini lahir. Bulan April menjadi bulannya Kartini. 21 April adalah Kartini Day. Kisah perjuangannya menjadi topik yang hangat diperbincangkan dan didiskusikan dalam webinar-webinar, mulai di instansi pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi-organisasi perempuan yang ada. Komunitas-komunitas media sosial ramai mencuitkan ucapan-ucapan celebrasi Kartini Day. Meskipun pandemi Covid- 19 masih berlangsung kita tetap menyaksikan parade busana kebaya di sejumlah komunitas.
Mari kita menyegarkan pikiran, apa yang paling substansial dari semangat pikiran emansipasi yang ingin diperjuangkan oleh Kartini. Mengutip salah satu suratnya dalam buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ yang ditujukan kepada Prof. Anton:
“Kami memohon dengan sangat supaya di sini diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan. Bukankah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki, melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang mungkin datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh ibu Alam sendiri ke dalam tangannya agar menjadi ibu yang menjadi pendidik anak-anak mereka”.
Secara artifisial, perjuangan emansipasi R.A. Kartini sudah jauh melampaui harapannya. Bahkan, jika boleh meminjam istilah, sudah break even point. Konstitusi kita pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, menjelaskan adanya pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Prinsip persamaan ini menghapuskan diskriminasi, karenanya setiap warga negara mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, dan golongan. Secara yuridis juga sudah banyak dasar hukum bagi kesetaraan Gender di Indonesia diantaranya tertuang dalam UU No. 7 tahun 1984 tentang ratifikasi CEDAW. Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Perpres No. 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014. Permendagri No. 67 tahun 2010 tentang Pedoman Implementasi PUG di Daerah.
Dekade terakhir, kiprah perempuan di berbagai sektor semakin menunjukkan eksistensinya. Bisa kita lihat bagaimana perempuan secara aktif berpartsipasi di semua lini. Mulai dari bidang ekonomi, sosial, politik hingga keagamaan. Banyak perempuan yang telah menduduki posisi strategis, menduduki pusat-pusat kekuasaan politik, sosial, budaya, ekonomi, keagamaan dan agen-agen pembentuk opini publik. Anggapan perempuan makhluk inferior dan laki-laki sebagai superior telah runtuh. Perempuan telah menjadi mitra sejajar dalam berbagai hal. Hak setiap warga negara untuk menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai bidang. Dengan pencapaian yang meluas ini, apakah perjuangan perempuan sudah selesai?
Baca Selanjutnya : https://damarbanten.com/?p=3420
Penulis merupakan Dosen Relasi Gender dalam Agama-agama Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[…] Baca Sebelumnya : https://damarbanten.com/?p=3414 […]