Oleh: Siti Nadroh
Upaya yang dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan substansial yang mampu mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan yang setinggi-tingginya harus didasari oleh pandangan dasar tentang substansi nilai manusia. Dalam Islam, misalnya, pada hakikatnya, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama sebagai hamba Allah SWT dan keduanya memiliki tujuan serta amanah yang sama, sebagai khalifah fil ardhi. Perempuan dan laki-laki adalah manusia dan nilai keduanya tidak ditentukan oleh jenis kelamin, suku, dan bangsa melainkan oleh ketaqwaan.
Pandangan dasar lainya untuk mewujudkan kesetaraan substansial tidak menjadikan kelompok yang dominan sebagai standar keadilan. Kesetaraan yang hanya menekankan persamaan hanya akan berhenti pada kesetaraan formal. Kesetaraan formal menempatkan persaingan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan menuntut untuk memperoleh hak yang sama dengan laki-laki. Sehingga perempuan seolah-olah berhadap-hadapan dengan laki-laki. Terjadi upaya ‘maskulinisasi’ perempuan’. Tidak jarang, perempuan-perempuan yang memilih menjadi perempuan karier, aktif berpartisipasi dalam proses developmentalisme, berpandangan bahwa kesetaraan adalah lepasnya dominasi laki-laki dan sejajarnya hak perempuan dan laki-laki secara ‘absolut’. Kesetaraan dijadikan wahana ‘balas dendam’, termasuk dengan cara mengeksploitasi, bahkan menindas kaum perempuan sendiri.
Kartini dengan tegas menyatakan;” Bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki, melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang mungkin datang dari kaum perempuan”.
Karenanya, kontekstualisasi pemikiran emansipasi Kartini dalam memperjuangakan kesetaraan tidak sedang berhadapan dengan laki-laki (sebagaimana yang dipikirkan banyak kalangan). Jika kita meneladani dan mengagungkan Kartini sebagai ‘ikon’ pejuang kesetaraan, maka memasyarakatkan gender (PUG) bukan berhenti pada kesetaraan formal, yang berhenti pada equality tetapi harus mendorong bagi terwujudnya equity, kesetaraan substansial.
Kartini-Kartini masa kini, juga didukung oleh semua jenis kelamin,–manusia, bersama-sama sepakat bahwa disamping ada persamaan juga ada perbedaan. Perbedaan biologis dan pengalaman biologis disadari sebagai bagian dari kemanusiannya masing-masing. Maka perlakuan kepada keduanya harus sesuai dengan sisi-sisi kemanusiaanya tersebut. Maka itulah kesetaraan substansial.
Baca Sebelumnya : https://damarbanten.com/?p=3420
Penulis merupakan Dosen Relasi Gender dalam Agama-agama Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta