Damar Banten – Eduard Douwes Dekker, yang juga dikenal sebagai Multatuli, merupakan seorang penulis Belanda yang terkenal dengan Novelnya yang berjudul “Max Havelaar” (1860). Nama Multatuli diambil dari bahasa Latin, multa yang berarti ‘banyak’, dan tuli yang berarti ‘menderita’, dengan kata lain Multatuli adalah “banyak yang aku sudah derita”. novel satiris tersebut berisikan mengenai kritik atas perlakuan buruk para penjajah, terhadap masyarakat pribumi di Hindia Belanda. Eduard sendiri memiliki saudara bernama Jan, yang merupakan kakek dari seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, yaitu Ernest Douwes Dekker. Ernest juga dikenal sebagai Danudirja Setiabudi.
Eduard Douwes Dekker merupakan peria kelahiran Amsterdam. Ayahnya merupakan seorang kapten kapal yang cukup besar saat itu, dengan penghasilan yang lumayan cukup sehingga keluargan tersebut termasuk keluarga mapan serta berpendidikan. Selanjutnya, Eduard disekolahkan di sekolah Latin yang kedepannya dapat meneruskan jenjang pendidikan ke universitas. Pada mulanya Eduard menempuh pendidikan dengan begitu lancar, karena Eduard adalah murid yang berprestasi serta dapat dibilang lumayan pandai. Akan tetapi, lambat laun dirinya merasa bosan sehingga prestasinya kian merosot. Hal demikian membuat sang ayah langsung mengeluarkannya dari sekolah, serta akhirnya Eduard ditempatkan pada sebuah kantor dagang.
Bagi Eduard, posisinya pada sebuah kantor dagang tersebut membuatnya merasa dijauhkan oleh pergaulan yang merupakan kawan-kawannya yang sesama keluarga berkecukupan—dirinya bahkan ditempatkan pada sebuah posisi yang dianggapnya sangat hina, yaitu sebagai pembantu pada sebuah kantor kecil perusahaan tekstil. Di situlah Eduard merasakan bagaimana hidup menjadi seorang yang miskin, serta berada pada kalangan masyarakat bawah. Pekerjaan tersebut dilakoninya selama empat tahun serta meninggalkan kesan yang amat mendalam bagi hidupnya. “Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh hingga hidup di kalangan masyarakat bawah, membuat saya mengetahui bahwa banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki pengaruh serta perlindungan apa-apa”.
akhirnya, ketika ayahnya baru pulang dari perjalanannya, ayahnya melihat sebuah perubahan pada kehidupan serta keadaan dalam diri Eduard. Hal tersebut memunculkan niatan pada benak ayahnya agar membawa Eduard pada sebuah perjalanan. Pada masa itu, di Hindia Belanda, terdapat sebuah kesempatan bagi siapa saja yang mencari kekayaan serta jabatan, yang bahkan bagi kalangan orang-orang Belanda yang tidak berpendidikan serta berpendidikan rendah. Akhirnya, di tahun 1838, Eduard ikut bersama ayahnya berangkat menuju pulau Jawa, serta pada 1839, dirinya tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Atas bantuan dari para relasi-relasi ayahnya tersebut, pada akhirnya tidak menunggu lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar), di kantor Pengawasan Keuangan Batavia.
Tiga tahun setelahnya, Eduard kemudian melamar pekerjaan sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatera Barat. Lamarannya tersebut akhirnya diterima, dan oleh Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels, dirinya dikirim ke kota Natal yang lokasinya sangat terpencil sebagai seorang kontrolir. Kehidupan di kota yang terpencil tersebut, bagi Eduard justru lebih menyenangkan. Sebagai seorang ambtenaar pemerintahan sipil yang posisinya cukup tinggi di sana, ditambah usianya yang saat itu masih cukup muda, Eduard merasa memiliki kekuasaan yang tinggi. Dalam jabatannya tersebut, Eduard mengemban tugas pemerintahan serta pengadilan, bahkan juga memiliki tugas keuangan dan administrasi.
Namun, ternyata Eduard tidak menyukai tugas-tugasnya tersebut, sehingga kemudian dirinya meninggalkan pekerjaannya tersebut. Atasannya yang kemudian mengadakan pemeriksaan, menemukan jika ada kerugian yang lumayan besar pada kas pemerintahannya. Akibat dari sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya tersebut, serta adanya kerugian pada kas pemerintahan, Eduard akhirnya diberhentikan sementara dari jabatannya tersebut, oleh Gubernur Sumatera Barat yaitu Jendral Michiels. Pada akhirnya, selama setahun Eduard tinggal di Padang tanpa penghasilan apapun. Kemudian pada September 1844, dirinya mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia. Pada saat itulah dirinya direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan ‘uang tunggu’.
Belajar atas pengalaman yang buruk ketika bertugas di Natal, Eduard kemudian bekerja sangat baik sebagai ambtenaar pemerintah, sehingga pada tahun 1846, dirinya berhasil diangkat menjadi pegawai tetap. Pangkatnya selanjutnya dinaikkan menjadi komis pada kantor residen Purworejo. Atas prestasinya tersebut membuat dirinya diangkat oleh residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt, menjadi sekretaris residen menggantikan pejabat sebelumnya. Akan tetapi, karena Eduard tidak mempunyai diploma guna menjadi syarat atas ditempatkannya sebagai pejabat tinggi pemerintahan tersebut, akhirnya Eduard tidak mendapatkan kenaikan pangkat yang sesungguhnya.
Akan tetapi, Gubernur Jenderal bisa memberikan pengakuan diploma terhadap soal-soal yang dianggapnya istimewa, dengan syarat yaitu mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan baik. Eduard kemudian mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal, serta akhirnya berhasil mendapatkan posisi tersebut karena prestasi kerjanya. Keputusan atas posisinya yang baru, diterima oleh Eduard dari atasannya, yaitu Residen Purworejo. Karena kegagalan ketika bertugas di Natal sebelumnya, dianggap sebagai sebuah kesalahan dari pegawai muda yang dapat dimaafkan.
Pada perjalanan karier seorang Eduard, dirinya kemudian diangkat menjadi sekretaris residen di Manado pada April 1849, yang adalah masa-masa puncak karier terbaiknya. Eduard merasa jika dirinya sangat cocok dengan residen Scherius, yang merupakan atasannya tersebut, sehingga dirinya mendapat perhatian dari para pejabat yang ada Bogor, hal tersebut karena pendapatnya yang dianggap progresif tentang rancangan peraturan atas perubahan dalam sistem hukum kolonial. Karirnya terus meningkat menjadi asisten residen, yang adalah karier nomor dua paling tinggi pada kalangan ambtenaar Hindia Belanda. Eduard menerima jabatan tersebut serta ditugaskan di Ambon pada Februari 1851.
Sayangnya, sekalipun telah mendapatkan jabatan yang lumayan tinggi pada kalangan ambtenaar di Hindia Belanda, Eduard merasa jika dirinya tidak cocok dengan Gubernur Maluku, yang mempunyai kekuasaan tersendiri, yang membuat ambtenaar-ambtenaar yang berada di bawahannya tidak bisa menunjukkan inisiatifnya.
Eduard kemudian mengajukan cuti dengan alasan kesehatan, atas pengajuannya tersebut Eduard mendapatkan izin untuk cuti ke negeri Belanda. Serta pada hari Natal 1852, dirinya bersama istrinya tiba di pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam. Selama Eduard cuti di Belanda, dirinya ternyata tidak mampu dalam mengatur keuangannya dengan baik—hutangnya kemudian terus menumpuk di mana-mana, bahkan Eduard sering mengalami kekalahan di meja judi. Sekalipun telah mengajukan perpanjangan cuti di Belanda, Eduard bersama istrinya, akhirnya kembali menuju Batavia pada 10 September 1855. Setelah kedatangannya kembali, pada akhirnya Eduard diangkat menjadi asisten residen Lebak, yang berada di sebelah selatan karesidenan Banten, yang bertempat di Rangkasbitung pada Januari 1856.
Dalam menjalankan tugasnya, Eduard melakukannya dengan cukup baik serta penuh rasa tanggung jawab. Di samping itu, ternyata dirinya melihat kondisi dari Lebak yang saat itu kondisinya sangat buruk, bahkan jauh lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya. Bupati Lebak yang pada masa itu diangkat menjadi kepala pemerintahan bumiputra, menurut sistem kolonial Hindia Belanda, dengan sistem hak waris, telah memegang kekuasaan di Lebak selama 30 tahun. Ternyata pada kondisi kesulitan keuangan yang cukup parah, akibat pengeluaran rumah tangganya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh dari jabatannya. Akhirnya, bupati Lebak mengandalkan pemasukan tambahannya dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya.
Eduard mendapati sebuah fakta jika kerja rodi yang dibebankan terhadap rakyat distrik, telah melampaui batasan, bahkan menemukan praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak serta para pejabatnya, dengan cara meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya. Sekalipun dengan membelinya, itupun dengan harga yang sangat murah.
Ketika Eduard belum genap satu bulan bertugas di Lebak, dirinya menulis surat kepada atasannya, Residen C.P. Brest van Kempen, dengan penuh rasa emosi atas fenomena yang terjadi di wilayahnya. Eduard kemudian meminta agar bupati serta putra-putranya untuk ditahan, dan meminta agar situasi yang tidak beres itu untuk diselidiki. Atas desakan dari Eduard tersebut, muncullah sebuah rumor jika pejabat sebelumnya yang digantikannya itu meninggal akibat diracun. Hal demikian membuat Eduard merasa jika dirinya beserta keluarganya terancam. Ditambah, adanya berita mengenai kunjungan bupati Cianjur ke Lebak, yang ternyata masih keponakan dari bupati Lebak, yang kemudian membuat Eduard mengambil kesimpulan, bahwa hal tersebut malah akan menimbulkan banyak pemerasan kepada rakyat Lebak.
Brest van Kempen sebagai atasan Eduard sangat terkejut atas berita yang dikirimkannya tersebut, sehingga langsung mengadakan pemeriksaan di tempat, akan tetapi terjadi penolakan atas permintaan Eduard. Dengan begitu, Eduard meminta untuk perkara tersebut ditembuskan kepada Gubernur Jendral A.J. Duymaer van Twist, yang terkenal beraliran liberal. Soalnya, sekalipun maksuda kemudian terlaksana, Eduard malah mendapati peringatan yang cukup keras. Karena kecewa, Eduard kemudian mengajukan permintaan pengunduran diri, serta permohonannya tersebut dikabulkan oleh atasannya.
Terulang kembali, Eduard akhirnya kehilangan pekerjaannya yang disebabkan oleh bentrokan dengan atasannya itu. Usahanya guna mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan. Malahan, saudaranya yang sukses dalam berbisnis tembakau justru meminjamkan uang untuknya pulang ke Eropa agar bekerja di sana. Akhirnya, Istri beserta anaknya sementara ditinggalkan di Batavia.
Di Eropa, Eduard kemudian bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia. Sayangnya, Eduard tidak lama bekerja di situ dan kemudian dirinya memutuskan untuk keluar. Selanjutnya, usaha Eduard untuk mendapatkan pekerjaan sebagai juru bahasa di Konsulat Perancis di Nagasaki, juga mengalami kegagalan. Sialnya, usahanya agar menjadi kaya di atas meja judi justru menyebabkan dirinya menjadi semakin melarat.
Beruntungnya, cita-citanya yang lain untuk menjadi seorang pengarang, berhasil diwujudkannya. Saat dirinya kembali dari Hindia Belanda, Eduard membawa berbagai manuskrip, salah satunya adalah sebuah tulisan naskah sandiwara serta salinan surat-surat ketika dirinya menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pada September 1859, saat istrinya didesak agar mengajukan cerai, Eduard akhirnya mengurung diri pada sebuah kamar hotel di Brussel, kemudian menulis sebuah buku berjudul Max Havelaar yang kemudian menjadi sangat terkenal.
Buku itu akhirnya diterbitkan pada tahun 1860, dalam versi yang telah diedit oleh seorang penerbit tanpa sepengetahuan dari Eduard. Sekalipun begitu, buku tersebut tetap saja menimbulkan kegemparan pada kalangan masyarakat, khususnya di Belanda. Pada tahun 1875, buku tersebut terbit kembali dengan teks hasil revisinya. Akhirnya, nama Eduard Douwes Dekker sebagai seorang pengarang telah mendapatkan pengakuan, yang itu berarti Eduard bisa mengharapkan penghasilan dari penerbitan karyanya tersebut.
Pada saat menerbitkan novel Max Havelaar, dirinya memakai nama pena ‘Multatuli’. Nama tersebut berasal dari bahasa Latin yang berarti “Aku sudah menderita cukup banyak” atau “Aku sudah banyak menderita”—di sini, aku dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah karyanya tersebut terjual di seluruh Eropa, pada akhirnya, terbukalah semua kenyataan kelam yang terjadi di Hindia Belanda, sekalipun beberapa pihak menyebut jika penggambaran dari Eduard Dekker sebagai berlebih-lebihan.
Pada tahun 1862 hingga 1877, Eduard menerbitkan Ideën ‘Gagasan-gagasan’, yang isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya tentang politik, etika, filsafat, karangan-karangan satir, bahkan impian-impiannya. Cerita sandiwara yang ditulis oleh Eduard di antaranya adalah Vorstenschool (Sekolah para Raja), yang kemudian dipentaskan dengan sukses.
Meskipun kualitas dari literatur seorang Multatuli diperdebatkan, dirinya justru disukai oleh Carel Vosmaer, seorang penyair terkenal Belanda. Eduard terus melanjutkan aktivitas menulisnya, serta menerbitkan buku-buku berjudul ‘Ideen’, yang terdiri dari atas tujuh bagian pada tahun 1862-1877, dan juga novelnya Woutertje Pieterse, serta Minnebrieven, di tahun tahun 1861, yang sekalipun judulnya nampak tidak berbahaya, akan tetapi isi dari karyanya tersebut adalah satir yang amat keras.
Pad akhirnya, Eduard merasa bosan tinggal di Belanda. Di akhir hayatnya, Eduard kemudian tinggal di Jerman, bersama dengan seorang anak Jerman yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Eduard tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana dirinya mencoba dalam menulis naskah drama. Salah satu karya dramanya adalah ‘Vorstenschool’, yang diterbitkan di 1875, dalam volume Ideën keempat.
Eduard menyatakan sikapnya sebagai orang yang tidak berpegang pada satu aliran politik, masyarakat, serta agama. Di dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidak melakukan aktivitas mengarangnya, tetapi hanya menulis berbagai surat-surat. Pad akhirnya, Eduard kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein, dekat Sungai Rhein, di situlah Eduard kemudian menghabiskan sisa umurnya, hingga akhirnya meninggal pada 19 Februari 1887.
Seorang Multatuli telah mengilhami karya sastra di Indonesia, bahkan kelompok Angkatan Pujangga Baru, bahkan dirinya juga telah menggubah semangat kebangsaan di Indonesia. Semangat kebangsaan tersebut bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme serta eksploitasi ekonomi Hindia Belanda, akan tetapi juga kepada adat, kekuasaan, bahkan feodalisme yang tak ada habisnya menindas rakyat jelata.
Seorang Multatuli dalam Max Havelaar bisa dikatakan telah mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis serta akhirnya frustrasi, akan tetapi tida bagi seseorang Muhammad Yamin, dirinya lebih terfokus pada si kaum terjajah, misalnya saja pada puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda, pada sisi filosofis frustrasi yang dihadapi Max, serta Saidjah dan Adinda merupakan sama pada hakekatnya—keduanya putus asa bahkan terbelenggu pada rantai sistem yang hanya dapat terputuskan dengan jalan revolusi.
Penulis : Ilham Aulia Japra