Sekilas Tentang Abdul Ghofur Alias Snouck Hurgronje

Damar Banten – Christian Snouck Hurgronje merupakan ahli Islam kelahiran Oosterhout, Belanda, pada 8 Februari, 1857. Dirinya dapat dikatakan sebagai seorang orientalis (ahli ketimuran) berkebangsaan Belanda, ahli Bahasa Arab, ahli agama Islam, ahli bahasa, bahkan kebudayaan Indonesia, serta penasihat pemerintah Hindia Belanda dalam masalah keislaman. Snouck Hurgronje ialah anak keempat dari pasangan pendeta JJ. Snouck
Hurgronje dan Anna Maria, putri dari pendeta D. Christian de Visser. Snouck Hurgronje masuk sekolah lanjutan di H.B.S., Breda, guna mempelajari bahasa Latin serta Yunani (Greek).

Snouck Hurgronje kemudian masuk ke Universitas Leiden di tahun 1875, pada usianya yang ke 18 tahun. Pada awalnya, dirinya masuk Fakultas Teologi, akan tetapi kemudian pindah ke Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Arab. Pada 24 Nopember, tahun 1880. studinya di Leiden berakhir serta meraih gelar doctor sastra Arab, diselesaikan dengan predikat cumlaude dengan disertasi yang berjudul “Het Mekkaansche Feest” (Perayaan di Makkah).

Pasca menyelesaikan studinya, Snouck kemudian mengajar di pendidikan khusus calon pegawai untuk Hindia Belanda (Indologie), di Leiden. Pada tahun 1885, Snouck Kemudian pergi ke Makkah guna mendalami pengetahuan praktisnya mengenai bahasa Arab, selama hampir 6 bulan, dari Februari 1885 hingga Agustus 1885. Ketika di Makkah Snouck kemudian menyatakan diri untuk masuk Islam serta berganti nama menjadi Abdul Gaffar, pada 16 Januari 1885, di hadapan Qadi Jeddah dengan dua orang saksi.

Selanjutnya, Snouck kemudian pindah dan tinggal bersama-sama dengan Aboebakar Djajadiningrat, yang merupakan seorang tokoh rakyat Aceh yang saat itu kebetulan tinggal sementara di Makkah. Akan tetapi, pada surat yang dikirimkannya kepada seorang teman sekaligus gurunya yang juga merupakan ahli islamologi Jerman, bernama Theodor Noldeke, Snouck menuliskan jika dirinya hanya sebatas melakukan idhar al-islam, yaitu bersikap Islam secara lahiriah. Dalam suratnya juga, Snouck mengatakan jika semua tindakannya tersebut sebetulnya hanyalah sebatas guna menipu orang Indonesia agar mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya.

Dari hasil pengalamannya selama di Makkah, Snouck kemudian melihat sifat fanatik dari umat Islam yang berada di Hindia Belanda, terutama pada bangsa Aceh ketika melawan Belanda. Oleh sebab itu, niatnya untuk mengetahui Hindia Belanda semakin kuat. Sepulang dari Makkah, Snouck kemudian kembali mengajar di Leiden. Selanjutnya, di tahun 1887 dirinya menuliskan sepucuk surat kepada Pemerintah Belanda untuk diizinkan pergi ke Hindia Belanda, guna membantu Gubernur Jenderal Hindia Belanda serta lebih lanjut menelaah agama Islam. Akhirnya, pada tahun 1889, permohonannya tersebut dikabulkan oleh pemerintah Belanda.

Di tanggal 1 April 1889, Snouck Hurgronje akhirnya melakukan perjalanan menuju Indonesia. Tujuan pertamanya merupakan kota Penang, serta setelah dari Penang, Snouck bertujuan untuk menuju ke pedalaman Aceh, serta kemudian tiba di sekitaran Istana kesultanan Aceh, yang berada di Keumala. Hal tersebut dilakukan guna mengumpulkan informasi-informasi militer, serta strategi untuk membantu pelaksanaan perang di Aceh.
Akan tetapi, sesampainya Snouck di kota Penang, dirinya ditemui oleh seorang konsul pemerintah kolonial Belanda, serta diperintahkan agar melapor kepada Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.

Sayangnya, setelah melakukan laporan atas kedatangannya tersebut, ternyata pihak militer kolonial Belanda yang berada di Aceh tidak setuju dengan strateginya Snouck untuk menyusup sendirian, karena kekhawatiran atas keselamatannya. Snouck akhirnya menuju Batavia dan tiba di sana pada 11 Mei 1889. Lima hari setelah kedatangan tersebut, Snouck akhirnya mendapatkan beslit Gubernur Jenderal yang mengangkat jika Snouck Hurgronje, sebagai petugas peneliti Indonesia selama dua tahun, dengan gaji f.700,- sebulan.

Penugasan Snouck kemudian juga diperkuat dengan beslit Raja. Snouck akhirnya menetap sementara di Batavia guna melakukan penelitian terhadap Islam di Jawa. Namum, setelah dua tahun yang diperkenankan itu selesai, Snouck kemudian mengirimkan sepucuk surat di bulan Mei, 1890, yang menyatakan harapannya untuk Pemerintah Hindia Belanda, Snouck mendesak agar dirinya secara tegas diberi ikatan dinas di Hindia Belanda. Sayangnya, perintah untuk penelitian baru diberikan pada Februari 1891, yaitu ketika Pemerintah menganggap penyelidikan mengenai keadaan religius-politik di Aceh, jauh lebih mendesak
dibandingkan dengan melanjutkan pekerjaan di Jawa.

Setelah itu, tepatnya pada 15 Maret 1891, Snouck kemudian diangkat sebagai Penasehat Bahasa-bahasa Timur, serta Hukum Islam; dan pada tahun itu juga, pada 9 Juli, Snouck kemudian berangkat menuju Aceh serta menetap di Kutaraja. Setelah hampir setahun berada di Aceh, pada 4 Februari 1892, Snouck kemudian kembali lagi ke Batavia. Di antara tahun 1898 hingga 1903 Snouck seringkali pergi ke Aceh guna membantu Van Heutsz untuk menaklukkan Aceh. Pada momen itulah Snouck akhirnya menjalankan misinya dengan cara bergabung pada operasi-operasi militer selama 33 bulan di Aceh. Dalam momentum tersebut, Snouck memanfaatkan jabatannya dengan memimpin suatu dinas intelijen. Hasilnya dalam tugas tersebut, Snouck Hurgronje akhirnya berhasil menawan 100 orang barisan perlawanan, di tanggal 5 September 1896, di Bouronce, pantai utara Aceh.

Akhirnya, sejak tanggal 11 Januari 1899, Snouck Hurgronje kemudian menjabat sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab. Dikarenakan ada perbedaan pandangan, maka dari itu usai lah kerjasama antara Van Heutsz dengan Snouck di tahun 1903. Selanjutnya, Snouck tidak kembali lagi ke Aceh, akan tetapi dirinya tetap bekerja untuk daerah itu, sekalipun tanpa mengunjunginya.

Pada 12 Maret 1906, Snouck melakukan cuti setahun dan pulang ke Belanda, setelah hampir tujuh belas tahun dirinya tinggal di Hindia Belanda dan melakukan kegiatannya. Ketika mengambil cuti tersebut, Snouck kemudian diangkat menjadi guru besar di Universitas Leiden, serta pada 23 Januari 1907, menerima peresmian pengangkatan sebagai guru besar, sekaligus juga merangkap sebagai Penasehat Menteri Jajahan. Jabatannya tersebut dijalankannya hingga meninggal dunia pada Juli 1936, pada usianya yang ke 79 tahun.

Perjalanan Karir seorang Snouck Hurgronje memang lah sangat mengagumkan. Tidak saja kepandaiannya dalam bidang politik, dimana dari pengalamannya ketika di Aceh, Snouck merumuskan apa yang kemudian dikenal dengan “politik Islam”. Bahkan pada bidang akademik sekalipun, pemikiran seorang Snouck sangat berpengaruh, terbukti dari beberapa karyanya yang digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai panduan wajib guna menentukan kebijakan-kebijakan yang akan diberlakukan di Hindia Belanda.

Dengan begitu, tidaklah mengherankan jika sosok Snouck Hurgronje yang merupakan seorang ilmuwan orientalistik, serta politikus kolonialis yang produktif, yang begitu diandalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal tersebut terlihat ketika gelar guru besarnya di Leiden ditawarkan kepadanya, yang oleh dirinya baru diterima baik ketika Pemerintah mengabulkan syarat yang dikemukakannya. Syaratnya berbunyi agar supaya Snouck bisa tetap diperbolehkan untuk menjalankan jabatannya sebagai penasehat, dalam urusan-urusan yang menyangkut kepentingan golongan pribumi, serta golongan Arab.

Alhasil, selain menjabat sebagai guru besar, Snouck juga menjabat sebagai Penasihat Menteri Jajahan. Di samping aktivitas ilmiahnya, karya-karyanya yang berupa tulisan yang tak terhitung jumlahnya itu, memberikan pemahaman mengenai kemampuan serta daya kerja dari seorang Snouck yang sangat luar biasa. Hal demikian tersebut terbukti tampak pada karya-karyanya yang merupakan hasil dari pemikiran-pemikiran serta pengalaman-pengalamannya, di antara karyanya adalah:

  1. Het Mekkaansche Feest, Leiden: E.J. Brill, 1880; edisi Bahasa Indonesia, Perayaan Makkah, terj. Supardi, Jakarta: INIS, 1980, merupakan disertasi dari Snouck.
  2. De Beteekenis van den Islam voor Zijne Belijders in Qoost-Indie, (Arti Islam bagi Penganutnya di Hindia Timur), Leiden: 1883.
  3. Mekka, 2 jilid, I: “Die Stadt undi ihre Herren” (Kota dan Para tuan Penguasanya); II: “Aus dem Heutigen Leben” (Dari Kehidupan Dewasa ini), “Leipzig-Den Haag: 1888-1889” dengan lampiran berjudul Bilderatlas zu Mekka (Atlas Gambar Makkah). Edisi bahasa Inggris dari jilid II, Mekka in the letter Paert of the 19th Century, terj. J.H. Monahan, Leiden: E.J. Brill, 1931.
  4. De Atjehers (orang-orang Aceh), 2 jilid, “Batavia-Leiden”, Landsdrukkerij, 1893-1894: edisi terjemahan bahasa Indonesia oleh Ng. Singaribuan, dkk., Aceh di Mata Kolonialis, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985.
  5. Arabie en Oost-Indie, Rede bij de Aanvarding van het hogleeraarsambt aan de Rejks-universiteit te Leiden, (Negeri Arab dan Hindia Timur. Pidato pada penerimaan jabatan Guru Besar pada universitas di Leiden). Leiden, 1907.
  6. Nederland en de Islam (Negeri Belanda dan Islam). Leiden, 1915, cetakan kedua yang diperluas.
  7. Het Gayoland en zijne Bewoners (Tanah Gayo dan Penduduknya), Batavia-Leiden: 1903.
  8. Colijn over Indie (Colijn tentang Hindia), Amsterdam: 1928.
  9. Verspriede Geschriften van C. Snouck Hurgronje (Karangan C. Snouck Hurgronje), 7 jilid. Diterbitkan dan diberi daftar pustaka serta indeks oleh A.J. Wensinck, Bonn dan Leipzig/Leiden, 1923-1927; Jilid 1 tentang Islamdan sejarahnya; Jilid II tentang hukum Islam; Jilid III tentang Arab dan Turki; Jilid IV (dua jilid) tentang Islam dan Hindia Belanda; Jilid V membahas tentang kesusastraan Islam.
  10. Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889-1936; kumpulan aneka saran kepeagawaiannya yang dihimpun oleh E. Gobee dan C. Adriaanse, tiga jilid, 2228 halaman, terbit tahun 1957, 1959, dan 1965.

Pada karya-karya tersebut, nampak jelas pemikiran dari seorang Snouck Hurgronje yang telah merefleksikan pandangan akademisnya yang amat gemilang. Tidak saja itu, karya-karya dari Snouck telah banyak menjadi inspirasi bagi pemerintah Belanda dalam membangun kekuasaannya di Indonesia. Realitas tersebut dapat dilihat dari beberapa karya Snouck yang menjadi rujukan politik pemerintah Hindia Belanda, ketika menekan gerakan politik Islam yang dalam pandangan Snouck terlanjur berwajah garang serta menakutkan. Kendati demikian, ada sebuah karya dari Snouck yang terpeting serta menjadi semacam ‘kitab suci’ dari pemerintah kolonial Belanda, ketika akan mengalahkan kekuatan dari politik Islam di Indonesia, merupakan, “Ambtelijke Adviesen van C. Snouck Hurgronje”, 1889-1936.

Karya tersebut merupakan nasehat-nasehat dari Snouck Hurgronje untuk Pemerintah kolonial Belanda, yang merupakan hasil dari penelitiannya di Hindia Belanda, dalam menjawab berbagai persoalan mengenai fenomena Islam yang acapkali dipandang oleh Snouck dalam dua aspek yakni Islam pada konteks ibadah yang harus ‘dilestarikan’ serta Islam dalam konteks politik yang harus ‘dimandulkan’.

Tidak saja itu, pada karyanya yang juga sangat dianggap penting oleh pemerintah kolonial
Belanda, serta dianggap sebagai karya yang ‘monumental’ yaitu, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje. Karya tersebut merupakan karangan Snouck Hurgronje yang dirinya susun berkat hasil perjalanannya mempelajari Islam ketika di Makkah. Karyanya tersebut berjumlah tujuh jilid, yang semuanya membicarkan tentang diskursus Islam, termasuk didalamnya merupakan pembahasan mengenai Islam di Hindia Belanda, yang kemudian menjadi bagian dari landasan teori politik Snouck, ketika meredamkan gerakan politik Islam di Indonesia

Penulis : Ilham Aulia Japra

BERITA TERKAIT

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Tulis Namamu Disini

- Advertisement -spot_img

PALING SERING DIBACA

- Advertisement -spot_img

Terkini