Momen Sejarah Marsinah (3)

Dan kemarin, seorang Yudi Latif menuliskan risalah politik: perusakan Pencapaian. Analisanya memperlihatkan gambaran di atas, berikut ini ringkasan cuplikan tulisannya di kompas

Tibalah kita pada momen sejarah yang memilukan: menghancurkan kembali apa yang telah susah payah diperjuangkan. Betapa cepat kita mendaur ulang kekeliruan masa lalu. Kita perjuangkan reformasi dengan misi besar membasmi korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN. Sekarang, begitu tega kita lumpuhkan kembali Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dengan berbagai modus dan kita hidupkan kembali watak negara patrimonial, dengan tendensi kolusi dan nepotisme yang pekat, hingga kemunculan arogansi politik yang menempatkan negara seolah milik orang per orang yang bisa diatur dan dikuasai sesuka hati.

Kepada siapa rakyat percaya kala politik berhenti sebagai pariwara. Janji-janji dijulurkan lidah sedepa, tetapi realisasi terhenti sebatas rencana. Para pemimpin datang dengan niat mulia, tetapi berakhir dengan membuat kecewa; mulai mengemudi dengan menyalakan lampu sein ke kiri, tetapi di persimpangan berbelok ke kanan. Penguasa silih berganti, tetapi politik di negeri ini hanya punya satu rencana: rencana berkhianat. Segala cara dilakukan asal dapat merebut dan mempertahankan kuasa. Elite politik tak pernah mau belajar. Mereka boleh berdusta sekali waktu bagi sebagian orang, tetapi tak bisa sepanjang waktu bagi semua orang. Akan selalu ada arus balik gelombang pasang karena tidak semua orang mau bersekutu dengan kejahatan.

Sudah cukup lama demokrasi reformasi berlangsung di tempat kita, tentang kita, tetapi tanpa kita. Kata demokrasi jadi mantra.

Gelombang pasang dalam bentuk penguatan dinasti politik di Indonesia saat ini sebagian merupakan cerminan dari lemahnya penerapan prinsip demokrasi. Sebagian lain dapat dipandang sebagai ”puncak gunung es” dari meluasnya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Bahwa perkembangan demokratisasi politik selama ini tidak diikuti oleh proses demokratisasi di bidang ekonomi.

…, ini pertanda bahwa demokrasi yang kita kembangkan hanyalah sebatas fashion pencitraan

Apa pun alasannya demokrasi yang dirayakan dengan korupsi dan nepotisme buta merupakan jalan sesat menuju state manqué, suatu negara yang tak kunjung menemukan bentuk politik yang tepat dan terperangkap mengulang kesalahan yang sama. Untuk keluar dari jalan sesat itu, kita memerlukan ketakziman pada kearifan tradisional: ”raja adil, raja disembah; raja zalim, raja disanggah”.

Kembali ke hari ini, mengenang Marsinah, mungkin banyak yang belum tahu runtutan dan rentetan peristiwanya.

Penulis : Hamidah

Baca Selanjutnya : Marsinah dan Perjuangannya (4)

Baca Sebelumnya : “Dongeng Marsinah” (2)

BERITA TERKAIT

2 KOMENTAR

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Tulis Namamu Disini

- Advertisement -spot_img

PALING SERING DIBACA

- Advertisement -spot_img

Terkini