Sekilas Tentang Maria Ulfah (Sarjana Hukum dan Menteri Perempuan Pertama Indonesia)

Damar Banten – Dalam perjalanan Indonesia menuju kesetaraan gender, serta keterlibatan perempuan di dalam pemajuan bangsa, ada sososk perempuan yang baktinya tercatat di dalam sejarah bangsa Indonesia. Maria Ulfah namanya, sosok yang merupakan perempuan Indonesia pertama yang bergelar Meester in de Rechten, alias Sarjana Hukum. Maria pula merupakan menteri perempuan pertama di Indonesia, bahkan satu-satunya perempuan yang perlu meminta izin terlebih dulu kepada negara agar bisa menikah.

Maria Ulfah, lahir di Serang, Banten, pada 18 Agustus 1911 Dirinya merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, kedua adiknya ialah Iwanah serta Hatnan. Ayahnya R.A.A. Mohammed Achmad, bekerja sebagai bupati Kuningan, setelah sebelumnya sempat bertugas sebagai Amtenar di Serang, Rangkasbitung serta selanjutnya menjadi Patih Meester di Batavia. Ibu kandung dari Maria Ulfah merupakan R.A. Chadidjah Djajadiningrat. Chadidjah merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara pasangan Raden Bagoes Djajawinata serta Ratu Salehah. Djajawinata pernah menjabat Wedana Kramatwatu dan pernah menjadi Bupati Serang.

Chadidjah merupakan perempuan beruntung yang dapat mengenyam bangku pendidikan formal kala itu, karena berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Kakak Chadidjah yang merupakan paman dari Maria, adalah Hoesein Djajadiningrat, seorang anak bangsa yang memperoleh gelar doktor sastra pertama di Indonesia, yang berhasil diraih dari lulusan Universiteit Leiden, Belanda. Dirinya menulis disertasi yang berjudul “Tinjauan Kritis atas Sejarah Banten”, di bawah langsung bimbingan ahli Islam terkemuka bernama Snouck Hurgronje. Paman Maria Ulfah yang lainnya dari keluarga ibunya merupakan Hassan Djajadiningrat, yang merupakan sosok yang pernah menjabat sebagai Ketua Sarekat Islam (SI). Selain itu ada pamannya yang lain bernama Loekman Djajadiningrat, yang ketika masa Perang Dunia ke-II pernah menjabat menjadi penasehat pemerintah pelarian Belanda, yang berkedudukan di London.

Selanjutnya Paman Maria yang lainnya merupakan R.A.A. Achmad Djajadiningrat, Achmad sempat menjabat sebagai Bupati Banten, bahkan anak sulung Achmad, yang merupakan sepupu dari Maria yang bernama Erna Djajadiningrat, merupakan sosok pendiri organisasi wanita Indonesia di wilayah Jakarta dan sekitarnya, yang bernama Organisasi Wani yang didirikan pada tahun 1945. Dalam bahasa Jawa, kata “Wani” memiliki arti “Pemberani”. Secara konkret Dapur Umum Wani tersebut merupakan yang menyediakan makanan nasi bungkus untuk ratusan orang dari kalangan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Polisi Umum, serta Jawatan Kereta Api.

Dapur Umum Wani tersebut bekerjasama dengan instansi pemerintahan Republik Indonesia seperti Wali Kota Jakarta Soewirjo, Kantor Penghubung Tentara (Mayor Oetaryo), Resimen Tangerang (Mayor TNI Kemal Idris), serta Resimen Cikampek (Letkol) TNI Mufraeni). Pasca dapur umum tersebut tidak lagi berfungsi dikarenakan agresi militer Belanda pertama pada 21 Juli 1947, Erna Djajadiningrat kemudian membuka usaha pada bidang lain. Berbarengan dengan Maria Ulfah serta Muhardjo, Erna getol membebaskan para pejuang
Indonesia yang ditahan oleh Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA)-Belanda di Jakarta. Atas jasanya yang luar biasa itulah, Erna kemudian menjadi perempuan pertama yang mendapatkan penghargaan berupa Bintang Gerilya pada saat Hari Ulang Tahun ke-4 Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 5 Oktober, 1949.

Di tahun 1927, Chadidjah meninggal dunia, dan meninggalkan seorang suami serta tiga anaknya. Kala ditinggal oleh ibunya, Maria saat itu masih berusia 16 tahun. Sepeninggal ibunya, Maria diharuskan untuk berperan menggantikan sosok ibunya, serta merawat kedua adiknya yang masih kecil. Ayah Maria masih tetap memilih untuk tidak menikah lagi hingga akhir hayatnya. Mohammed sebagai sosok ayah dari Maria Ulfah, merupakan sosok penting dalam kehidupan Maria. Bagi Maria, ayahnya merupakan orang yang “Berpikiran maju”, karena mengizinkan dirinya untuk sekolah serta bebas memilih jalan hidupnya.

Menurut adiknya, Iwanah, dalam biografi mengenai Maria Ulfah, menyampaikan jika ayahnya ingin memiliki anak yang pandai berbicara seperti Mirabeau, seorang tokoh politik dari masa Revolusi Perancis. Keinginan tersebut kemudian terwujudkan pada sosok Maria Ulfah, yang sudah pandai berbicara di depan para tamu yang datang guna menggantikan peran ibunya sebagai tuan rumah. Melihat ayahnya yang merupakan seorang pegawai pemerintahan, disetiap ada tamu atau dalam suatu acara resmi, maka Maria Ulfah akan membantu ayahnya dalam menyambut para tamu dengan rasa penuh tanggung jawab.

Setelah kepulangannya dalam menyelesaikan kuliah di Belanda, Maria kembali ke Indonesia, dirinya mengawali perjalanannya dengan menjadi pekerja honorer di Kantor Kabupaten Cirebon, selama 6 bulan. Kemudian Maria mengajar pada Sekolah Muhammadiyah serta Sekolah Perguruan Rakyat. Di masa kedudukan Jepang, Pemerintah Jepang berupaya agar membangun mentalitas bangsa Indonesia. Yaitu dengan cara menanamkan Seiskin atau semangat, dan Bhusidoatau jalan kesatria yang berani mati, rela berkorban, serta menjunjung tinggi keperwiraan. Jepang akhirnya mendirikan banyak organisasi di Indonesia, yang bertujuan guna membantu Jepang dalam peperangan. Salah satunya merupakan Organisasi Fujinkai (perhimpunan perempuan).

Bagi Maria Ulfah sendiri, dirinya tidak tertarik untuk bergabung ke dalam organisasi Fujinkai, karena dirinya tidak tertarik dengan cara kepemimpinan Jepang di Indonesia. Maria tidak menyukai cara memerintah kaum militer Jepang yang dianggap begitu kasar. Kendati demikian, dilihat dari situasi di dunia kala itu, keberpihakannya terlihat lebih dekat kepada pihak yang melawan Jepang serta Jerman. Maria lebih memilih menerima tawaran Prof. Soepomo yang merupakan seorang ahli hukum di Indonesia, guna bekerja pada Departemen Kehakiman (Shihobu), bersama dengan Nani Soewondo, yang adalah ahli hukum lulusan Jakarta. Mereka berdua ditugaskan untuk menterjemahkan Undang-Undang serta peraturan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Inggris. Yang bertujuan agar dapat dimengerti oleh pihak Jepang.

Ketika Indonesia tengah mempersiapkan kemerdekaannya, Maria Ulfah turut berperan penting di dalamnya dengan menjadi salah satu anggota BPUPKI. Perannya bahkan terus berlanjut sampai pada masa Orde Baru, serta memberikan banyak kontribusi untuk bangsa Indonesia, terutama bagi kaum perempuan.

Dalam Kehidupan Pernikahannya, Maria Ulfah menikah pada masa penjajahan Belanda. Maria menikah dengan R. Santoso Wirodihardjo S.H. di Kuningan di tahun 1938. Setelah menikah, pasangan muda tersebut kembali ke Batavia serta tinggal di jalan Kramat VIII. Tidak lama setelah itu, dari hasil uang tabungan mereka berdua, kemudian membeli sebuah rumah kecil di jalan Guntur no. 49, serta membina rumahtangga di sana. Sayangnya, di tanggal 19 Desember 1948, Santoso bersama adik iparnya, Soejoto yang saat itu sedang menuju ke Solo, dihalau oleh patroli pasukan Belanda yang sedang mabuk, serta menembaki keduanya dengan senapan otomatis hingga keduanya tewas seketika. Pasca kejadian tersebut, Maria Ullfah menjanda selama 16 tahun, serta mendidik anak angkatnya yang bernama Darmawan Wiroreno seorang diri.

Pada tahun 1959, anak angkatnya telah melangsungkan pernikahan, Maria merasa telah bebas serta pemikiran untuk berumah tangga mulai muncul kembali. Hal tersebut terjadi pada awal tahun 1962, ketika Soebadio ditahan pemerintah Soekarno di Madiun bersama Mr. Moh. Roem, Prawoto Mangkusasmito, Mochtar Lubis, serta yang lainnya. Para tahanan kala itu sering dikunjungi oleh isteri serta keluarganya masing-masing. Akan tetapi Soebadio yang saat itu tidak memiliki isteri, tidak ada yang menjenguk. Akhirnya Maria pun sesekali mengunjunginya di tahanan.

“Keputusan menikah (dengan Soebadio) saya ambil kira-kira akhir tahun 1963, bulan Oktober atau November”

Atas izin dari Soekarno, Soebadio akhirnya mendapatkan izin untuk cuti selama 10 hari, Soebadio saat itu dikawal oleh Djoko Santoso, orang Badan Pusat Intelijen (BPI). Tanggal 8 Januari 1964 Soebadio tiba di Jakarta, pada tanggal 10, akad nikah dilangsungkan di rumah Maria, mereka berdua kemudian tinggal di sana hingga habis masa cuti. Setelah penantian selama beberapa tahun, mereka akhirnya bisa tinggal bersama setelah pemerintahan Soeharto, memerintahkan untuk semua tahanan politik pada masa pemerintahan Soekarno untuk dibebaskan, tepatnya di tanggal 5 Mei 1966.

Maria dan Soebadio pada akhirnya kembali dipisahkan di tahun 1974, akibat Soebadio ditahan dengan tuduhan terlibat dalam peristiwa Malari. kasus penangkapan Soebadio tersebut tidak pernah dibawa ke pengadilan, serta tidak termasuk ke dalam hukuman resmi. Akhirnya di tanggal 31 Maret 1976, Jaksa Agung Ali Said Kemudian mengeluarkan surat perintah yang berisi, pembebasan terhadap tujuh tahanan yang dituduh terlibat dalam peristiwa 15 Januari tersebut.

Ketika Maria menempuh pendidikan di Belanda, dirinya kerap mengunjungi wisma rakyat Belanda. Dirinya bersama Sjahrir amat tertarik dengan adanya wisma-wisma rakyat di Belanda. Di wisma tersebut, rakyat Belanda diberikan pelatihan guna mampu bekerja serta hidup secara mandiri. Maria melihat jika ada kesempatan yang besar bagi perempuan di Indonesia, untuk diberikan pelatihan yang sama. Kondisi tersebut mendorong Maria serta Sjahrir untuk menyusun rencana guna mendirikan wisma di Indonesia, yang sama dengan wisma yang berada di Belanda, supaya perempuan Indonesia dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

Semasa hidupnya, Maria Ulfah banyak menaruh perhatian besarnya terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia, terutama bagi kemajuan kaum perempuan Indonesia. Sikapnya yang teliti, tegas, serta tidak bisa melihat orang lain berada dalam kesulitan, membuat Maria terus aktif dalam berbagai kegiatan di masyarakat. Tentu saja pola pikir yang maju serta semangat perjuangan yang membara tersebut, hadir dari beberapa tokoh yang banyak mencuri perhatiannya bahkan mempengaruhinya. Dapat dikatakan bahwa tokoh-tokoh inspiratif bagi Maria Ulfah tersebut di antaranya merupakan ayahnya, bibinya, serta Sutan Sjahrir.

Pertemuan pertama Maria dengan Sjahrir adalah ketika Sjahrir masih menjadi mahasiswa hukum di kota Amsterdam. Perkenalan pertama tersebut terjadi di rumahnya keluarga Dr. Djoehana dalam sebuah undangan. Akhirnya sejak saat itu, Sjahrir sering datang ke Leiden untuk menemui Maria. Pertemuan Maria dengan Sjahrir tergambar pada sebuah wawancara;

“Sjahrir tinggal dengan kakaknya, karena sedang belajar di Fakultas Hukum di Amsterdam. Setelah perkenalan di Amsterdam, Sjahrir datang ke Leiden dan singgah di rumah saya. Rupanya Sjahrir hendak mengetahui bagaimana pandangan hidup saya. Ini ternyata dari pembicaraan kemudian. “Bagaimana perasaan kau sebagai anak gadis Indonesia belajar di negeri Belanda?”, saya jawab bahwa, “Saya merasa bersyukur diberi kesempatan oleh ayah belajar di negeri Belanda yang merupakan negara merdeka. Berlainan sekali suasana di negara yang merdeka. Saya tertarik pada usaha-usaha untuk memajukan rakyat, misalnya kaum buruh. Saya juga ingin sekembali di tanah air menyumbangkan tenaga dan pikiran saya untuk memajukan rakyat kita. khususnya kaum wanita yang masih amat kurag pendidikannya”.

Pada pertemuan yang lain antara Maria dengan Sjahrir, Sjahrir sempat meminjamkan buku
kepada Maria, yakni buku karangan seorang gadis Tionghoa pengikut Mao Tse Toeng, serta pidato pembelaan Sjahrir yang berjudul “Indonesia Menggugat”, begitu besar pengaruh tulisan tersebut terhadap diri Maria. Maria acapkali sering menghadiri berbagai pertemuan politik bersama Sjahrir, salah satunya merupa kan pertemuan “Liga Anti Kolonialisme” yang diselenggarakan di gedung bioskop di Hooge Woerd, Leiden. lewat bacaan Maria mengenai buku-buku politik dari berbagai ideologi, serta pengalamannya menghadiri pertemuan anti kolonialisme, membuat Maria menyadari betul betapa pentingnya arti kemerdekaan bagi sebuah negara. Karena negara yang merdeka tentu dapat maju tanpa perlu ada tekanan dari negara lain, dan masyarakat dapat hidup sejahtera serta bebas berekspresi.

Sementara itu, corak pemikiran Maria pada hal keagamaan menunjukkan bahwa dirinya merupakan seorang muslimah modernis. Maria tidak begitu fanatik terhadap persoalan keagamaan, serta lebih toleransi terhadap pelanggaran-pelanggaran agama yang sifatnya tidak menggangu kepentingan umum. Menurut keponakannya, Maria tidak pernah mengikuti acara pengajian atau kegiatan keagamaaan, serta tidak dapat diketahui apakah Maria mampu membaca Al-Qur’an atau tidak. Akan tetapi, kewajiban sholat lima waktu serta berpuasa pada bulan Ramadhan tidak pernah ditinggalkan olehnya.

Keseharian dari seorang Maria Ulfah lebih terfokus terhadap kegiatan sosial, dibandingkan dengan kegiatan keagamaan, karena itu banyak dipengaruhi oleh pendidikannya semasa di Belanda. Akan tetapi bukan berarti Maria melupakan nilai-nilai keagamaan pada kesehariannya, serta pemikirannya, sebab latar belakang dari keluarga ayah serta ibunya merupakan pemeluk Islam yang taat.

Penulis : Ilham Aulia Japra

BERITA TERKAIT

Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Tulis Namamu Disini

- Advertisement -spot_img

PALING SERING DIBACA

- Advertisement -spot_img

Terkini